Senin, 14 Oktober 2013

Kasta Makanan, Kasta Peradaban


Mulai banyak yang berbicara soal kambing kurban..

Aku melihatnya sebagai suatu pelarian irrasional berdasarkan konstruksi yang tercipta dalam masyarakat. Akan ku mulai ini dari Jawa tengah, disana ratusan warga mengantri berjubel dan rela berdesak-desakan hanya untuk mendapatkan kupon daging kurban, bahkan ada anak perempuan berusia sekitar 11 tahun hampir pingsan karena berdesakan di tengah-tengah orang dewasa yang nampaknya jarang sekali makan daging kambing itu.
Lantas saya tertegun memandangi layar kaca televisi seolah makhluk-makhluk yang ingin mendapatkan kupon daging kurban tersebut telah terhipnotis dan lupa akan makna hari rayanya sendiri. Jika dirunut dari sisi mereka maka tuhan memang memerintahkan manusia untuk berkurban di hari raya idul adha. Berdasarkan mitos yang sering terdengar, hal itu adalah untuk memperingati terjadinya penyembelihan nabi Ibrahim terhadap anaknya yang kemudian dibatalkan Allah karena semata Ia hanya menguji, dan juga untuk menebus setiap diri muslim dari gadai agar garis keturunannya kelak diakui di akhirat (tujuan aqiqah). Tapi yang terjadi dalam realita seperti di Jawa Tengah, rebutan kupon daging gratis. What for?
Masyarakat kini benar-benar terdogma, terhegemoni dan terkonstruksi untuk meyakini bahwa daging adalah makanan lezat yang biasa dimakan mulut para elitis. Sama halnya dengan beragama, manusia yang lahir di lingkungan Hindu cenderung akan menjadi seorang Hindu, yang lahir diantara keluarga zoroaster juga kemungkinan besar akan tumbuh menjadi seorang penganut zoroaster. Demikian pula, kambing yang terdefinisi sebagai “makanan enak” adalah hasil konstruksi, menyebalkan sekali melihat manusia seolah menempatkan daging dalam kasta teratas makanan sehingga mereka berusaha mengejar-ngejar makanan di kasta tertinggi itu. Padahal untuk menikmati makanan lezat, lidah yang pada dasarnya memiliki subjektifitasnya masing-masing ini tidak berpihak pada keharusan memilih daging untuk dimakan. Jamur atau salad bisa menjadi makanan yang lezat jika kita benar-benar mau menyingkirkan pendapat umum tentang makanan yang dari kecil sudah didefinisikan sebagai makanan lezat dan tentu saja mahal.
Selanjutnya saya jadi berpikir apakah ini tanda sebuah kerakusan? Memang jika masih berpijak pada hasil konstruksi yang menghasilkan kasta makanan, maka seolah-olah banyak masyarakat berlomba untuk menikmati makanan dengan kasta tertinggi. Ckckckc ditambah lagi iklan-iklan politik semacam: “Berbagi daging untuk sesama” nampaknya bijaksana, manusiawi dan menceritakan seorang miskin yang wajahnya begitu bersinar-sinar dan bahagia setelah menerima santunan daging kurban. Holy shit! Apa yang dilakukan petinggi-petinggi parpol itu, mereka meracuni rakyatku, saudara-saudaraku dengan tersirat melegitimasi bahwa kebenaran kasta tertinggi dalam makanan adalah daging. Efek buruknya adalah kemiskinan mental, mereka yang mengantri berjejal dan berdesakan hingga berebut dan menyingkirkan sesamanya demi mendapatkan kupon daging adalah bentuk kemiskinan mental yang kumaksud.
Beralih ke Jawa Timur, tempat dimana aku tinggal saat ini. Tradisi yang sering terlihat disini khususnya Kabupaten Malang, adalah panitia bersama-sama memanggang sate di sisi masjid setelah kambing disembelih, lengkap dengan nasi hangat, saus kacang, acar mentimun dan taburan bawangnya. Lebih mirip seperti pesta daripada essensinya, berbagi pada sesama bukan?
Pernah juga kudengar bahwa menyembelih dan memakan daging kurban pada dasarnya adalah penyimbolan untuk membunuh sifat-sifat kebinatangan dalam diri muslim serta diharuskan untuk selalu  bersyukur karena telah menikmati daging yang disediakan tuhan. Tapi betapa ganjilnya antara realita dan dogma, karena daging kambing yang dimakan manusia akan meningkatkan  tekanan darah dan justru meningkatkan libido, emosi dan temperamen yang moody, kalau sudah begini lantas sifat kebinatangan mana yang mau dibunuh??
Ditambah lagi daging yang dibakar dengan arang (sate) mengandung unsur karsinogenik, sebuah senyawa yang memicu tumbuhnya kanker. Lalu atas dasar apa manusia diperintahkan bersyukur setelah mengkonsumsi daging kurban? Merasakan kenikmatan sesaat karena berhasil memakan makanan borjuis? Terdengar begitu kekanak-kanakan.
Ada lagi cerita dari daerah Jakarta Selatan, seorang nenek tua yang bekerja sebagai pengumpul plastik bekas rela menabung selama tujuh tahun untuk membeli seekor kambing kurban seharga 2 juta rupiah. Usahanya patut diacungi jempol karena dia menyisihkan Rp 1000 perhari dari penghasilannya yang hanya berkisar antara Rp 5000- Rp 12.000, ada-ada saja pikirku dalam hati. Hal ini menunjukkan betapa  kuatnya pengaruh iklan-iklan politik abal-abal yang kukatakan di atas dengan cepat menyulap motivasi masyarakat, penduduk yang lemah secara ekonomi pun akan berusaha keras untuk dapat berkurban.
Hal lain yang ingin aku kemukakan dari betapa besarnya semangat masyarakat melakukan kurban adalah betapa besarnya pula kerusakan lingkungan. Sesuai hukum pasar, jika suatu komoditi banyak diminati maka permintaan akan naik dan produsen akan berusaha memenuhi permintaan pasar. Nah permintaan hewan kurban yang membludak tentulah akan membuat produsen dengan berbagai macam caranya  meningkatkan produktivitas. Bisa dibayangkan, sapi, kambing, kerbau adalah binatang seperti manusia yang menghasilkan banyak karbondioksida setiap menitnya, jika semakin banyak sapi-sapi, kambing-kambing, kerbau dan onta yang dilahirkan maka semakin banyak pula karbondioksida yang dihasilkan untuk bumi. Padahal seluruh dunia juga tahu adanya kerusakan hutan dan penyusutan oksigen di bagian sana-sini di setiap belahan bumi.
Belum lagi kotoran yang dihasilkan ternak-ternak tersebut mengandung amoniak, metana serta dinitrogen oksida yang mengganggu keseimbangan alam. Kekuatan metana yang dihasilkan oleh peternakan adalah 100 kali lipat lebih kuat daripada karbondioksida, sedangkan dinitrogen oksida potensinya adalah 300 kali lipat lebih panas dari karbondioksida dan hingga saat ini peternakan adalah penyumbang  terbesar untuk mempercepat proses pemanasan global beserta pencairan es di kutub. Berdasarkan penelitian PBB emisi peternakan lebih tinggi dibandingkan emisi transportasi yang digabungkan dari seluruh kendaraan di dunia.
Begitu juga dengan penggunaan air, untuk memproduksi 1 kilogram daging diperlukan sekitar 200.000 liter air, sementara untuk memproduksi 1 kilogram kedelai hanya butuh 2.000 liter, 900 untuk menghasilkan gandum, dan 650 liter untuk menghasilkan jagung. Industri peternakan adalah industri yang sama sekali tidak hemat energi dan merusak lingkungan. Oleh karena itu rasanya tidak berlebihan jika saya mengatakan bahwa para pengonsumsi daging adalah kelompok yang paling pantas dipersalahkan atas terjadinya kerusakan lingkungan dan percepatan pemanasan global.
Jika saya seorang theis sejati mungkin saya sudah berdoa kepada tuhan agar menaikkan harga-harga daging per kilogramnya seharga 10 kali mobil BMW keluaran terbaru agar harganya tidak terjangkau oleh kebanyakan rakyat dunia. Karena harga itu cukup pantas untuk mengganti kerusakan dan pencemaran lingkungan yang terjadi akibat pola pengkonsumsian daging. Tapi itu hanya sebuah ide, yang paling penting adalah bagaimana kita mulai belajar hidup sebagai vegetarian.
Mulailah dari hal kecil yang bisa kita lakukan, misalnya saja jika dalam sehari anda mengkonsumsi 200 gram daging maka turunkan angkanya secara bertahap mengkonsumsi 200 gram daging setiap dua hari sekali, tiga hari sekali, empat hari sekali, sampai anda benar-benar jarang memakan daging, kemudian ajaklah orang-orang disekitar untuk sadar betapa sehatnya sayur dan buah. Jika sudah melakukan hal tersebut, anda layak untuk disebut sebagai penyelamat kehidupan di bumi.
Kembali pada idul adha dan tradisi aqiqah, mungkin anda yang muslim akan bersikukuh untuk melaksanakan ritual kurban. Saya dapat memahaminya karena konstruksi yang tercipta memang begitu kuat, hingga kebanyakan masyarakat tidak akan bisa melepaskan diri dari jerat konstruksi. Tapi coba bayangkan apa yang akan terjadi 50 tahun ke depan jika kita tetap menjadi seekor omnivora dan cenderung karnivora, anak cucu kita? Mungkin mereka tidak akan berkesempatan lagi untuk melihat lucunya pinguin di kutub, karena kutubnya telah mencair dan menggenangi daratan. Oksigen juga semakin menyusut jika setiap satu orang bersikukuh mengorbankan seekor kambing tak bersalah atas nama tuhan. Jika sudah terjadi kerusakan alam akibat pola konsumsi daging, itukah tujuannya?
Kita hidup di bumi yang sama, kebersihan hati dan pensucian diri dari sifat-sifat kebinatangan terdapat dalam perilaku kita sendiri, kalaupun penyembelihan hewan kurban hanyalah simbol untuk membunuh sifat kebinatangan agar kita menjadi lebih beradab, apakah pembunuhan itu sendiri adalah perilaku yang beradab? Betapa kontrasnya antara simbol dan tujuan yang ingin dicapai. karena penyimbolannya saja sudah bertentangan dengan tujuan yang hendak dicapai. Sebagian dari kita akan mengatakan bahwa kambing itu turut berbahagia karena mereka mati atas syariat tuhan, nampaknya itu hanya jebakan betmen dari penafsiran-penafsiran egois yang ingin mencari-cari pembenaran atas tindakan yang secara kasat mata adalah sadis.
Binatang tentu memiliki syaraf pusat yang bisa mempersepsikan rasa sakit, berbeda dengan tanaman yang tidak memiliki syaraf serupa sehingga tanaman tidak akan merasa kesakitan, itulah yang sejauh ini diketahui oleh ilmu pengetahuan yang kebenarannya dapat diverifikasi. Masalah apakah kambing-kambing kurban akan bahagia (meski merasa sakit) sama saja dengan pertanyaan apakah akhirat benar-benar ada. Sebuah pertanyaan yang tidak akan bisa terjawab setidaknya saat ini, dan manusia selalu megandalkan tebakan-tebakan idealis laksana undian berhadiah demi menjustifikasi ide yang secara empiris sama sekali tidak menguntungkan bagi pihak lain. Jadi apakah kita yang beradab akan tega menyakiti sesama yang bernyawa hanya untuk sebuah kepuasan diatas piring makan atau hanya demi sebuah simbol kosong yang jauh dari esensi kehidupan beradab? Yang kita ketahui secara pasti hingga detik ini hanyalah: binatang merasakan sakit yang luar biasa ketika disembelih, titik.