Minggu, 12 Januari 2014

Antara Perempuan dan Batu Giok


“Wanita adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah istri yang solehah”

Kalimat itu begitu terkenal dalam masyarakat, terutama masyarakat muslim karena kalimat itu adalah petikan salah satu ayat Al-Qur’an. Tanpa sadar jutaan manusia terhegemoni atas nama pensucian agama sehingga menafsirkan bahwa perempuan memanglah benar-benar perhiasan yang menghiasi setiap rumah-rumah suaminya.
Artinya? Perempuan tanpa sadar semakin disudutkan sebagai objek yang tak bergerak sesuai keinginannya, menjadi benda kepemilikan suaminya, dan lebih parahnya lagi perhiasan haruslah indah. Oleh karena itu sering saya dengar di pengajian-pengajian bahwa adalah wajib bagi seorang istri berdandan secantik-cantiknya untuk menyenangkan hati suaminya.
Sementara laki-laki? setelah saya bolak-balik halaman Al-Qur’an memang tak ada satu ayatpun yang menjelaskan, atau setidaknya menyiratkan, agar mereka harus merawat diri untuk membuat istrinya senang. Malah sebaliknya, kewajiban merawat tubuh lelaki dilimpahkan pada perempuan mulai dari mencuci baju hingga menyediakan pilihan makanan yang bagus untuk kesehatan laki-laki.
Terus terang saya jadi sedikit meragukan keotentikan kitab suci agama saya tersebut, terlebih setelah melihat ayat-ayat lain yang berisi ijin poligami, pemukulan terhadap istri, dan hal-hal kodrati yang katanya berpotensi menyeret perempuan ke dalam neraka. Misalnya saja karena perempuan memiliki tubuh yang bisa memancing syahwat laki-laki, maka perempuanlah yang paling ditekan untuk menundukkan pandangan, seolah tubuh perempuanlah yang paling disalahkan.
Jadi apakah sesungguhnya kitab suci yang diyakini kebenarannya oleh sekitar 1,5 milyar manusia di planet bumi ini mengandung bias gender? Atau memang begitulah cara yang paling adil menurut tuhan? Atau jangan-jangan tuhan dan ayat-ayat dalam kitab suci tersebut hanyalah konspirasi para lelaki berkedudukan kuat yang hidup di jaman dahulu kemudian menuliskan hukum-hukum secara sangat subjektif dan menjadi sesuatu yang taken for granted hingga kini? Nobody knows.
Nah, disini saya melihat, betapa timpangnya kedudukan antara perempuan dan laki-laki, terutama pada masyarakat tradisional dengan nilai-nilai teologis yang masih sangat kental. Sebagai contoh adalah Desa Sekarpuro, tempat kelahiran saya yang nilai-nilai Islamnya cukup kuat. Ayat sesederhana ini tak ayal bukan hanya akan berlaku dalam kehidupan rumah tangga, tapi juga merembet pada kehidupan bermasyarakat.
Imbasnya, perempuan menjadi tak bisa berkembang. Bisa saja mereka mendapat ijin dari suaminya untuk bekerja, tapi tidak akan maksimal karena mereka sendiri menganggap pekerjaan mereka bukanlah untuk aktualisasi diri, berprestasi, menguasai pasar, dan lain-lain. Kebanyakan dari mereka hanya mau menjadi penyokong ekonomi sampingan belaka. Ditambah lagi interpretasi tentang kewajiban perempuan untuk melayani suami, saat perempuan sedang malas, maka kekerasan dalam rumah tangga oleh suami sangat mungkin terjadi, dan ini semakin memperparah kesenjangan gender.
Atau bisa saja mereka mendapat ijin bersekolah, tapi pendidikan untuk perempuan di desa tersebut saya rasa sangatlah diskriminatif. Pernah suatu hari saat saya berkunjung, ada seseorang yang berkata “Lapo sekolah duwur-duwur nduk, arek wedok ae kok ujung-ujunge yo ndek pawon”. (Untuk apa sekolah tinggi-tinggi, ujung-ujungnya juga di dapur).
Perempuan tidak akan disekolahkan lebih tinggi daripada laki-laki, meskipun kemampuan intelektualnya lebih baik. Hal paling penting bagi masyarakat patriarki yang tradisional dan teologis seperti itu adalah menjalankan ajaran-ajaran kitab sucinya sesuai interpretasi pada umumnya. Tapi jika sejarah mencatat bahwa interpretasi kitab selalu dilakukan oleh laki-laki, bukankah itu sebuah pertanyaan besar?
Selain itu, budaya di kalangan pemuda pun saya rasa masih demikian, tanpa sadar perempuan muda mengubur kehebatan-kehebatan potensi dirinya sendiri dengan mengatakan “Kalau suatu hari menikah, saya tidak ingin gaji saya lebih tinggi dari suami saya”. Mereka menganggap bahwa memiliki gaji yang lebih tinggi dari suami adalah hal yang tabu. Artinya, mereka merasa tak ingin mengalahkan laki-laki beserta patriarkinya itu, meskipun menurut saya memang tujuan dari kesetaraan gender bukanlah untuk mengalahkan satu sama lain, tapi setidaknya ucapan-ucapan semacam itu secara implisit tentu akan mengabadikan struktur patriarki.
Seperti halnya teori feminis marxis, yang berkuasa adalah yang memiliki modal, yang memegang kendali adalah yang bekerja di sektor publik serta dibayar, dan pemilik modal cenderung akan mengeksploitasi pihak yang tidak memiliki modal. Maka untuk mencapai kesetaraan, langkah awal yang perlu dilakukan adalah membuat perempuan sadar dengan posisi domestiknya yang identik dengan proletar. Timbulnya kesadaran akan posisi perempuan sebagai pihak yang ditindas tersebut diharapkan oleh feminis marxis dapat membangkitkan perlawanan terhadap laki-laki yang identik dengan kaum borjuis, sehingga sistem patriarki dapat diruntuhkan.
Saya jadi berpikir lebih lanjut, apakah misalnya saja setelah sistem patriarki yang menomorsatukan laki-laki bisa dihancurkan akan menjamin terciptanya kesetaraan gender? Mengingat tujuan utama feminis marxis adalah untuk menciptakan keadilan gender, bukan ketimpangan. Saya rasa segala kemungkinan bisa terjadi, mungkin keadilan gender akan tercipta, mungkin juga perempuan malah akan menggantikan posisi dan berganti mengeksploitasi laki-laki, atau bahkan mungkin tidak sama sekali, seperti halnya sejarah yang mencatat bahwa tak pernah ada kelas proletar yang berhasil mengubah struktur kapitalis menjadi sosialis.
Tapi bagi saya, setidaknya menyadarkan perempuan terhadap posisinya adalah sangat penting. Selanjutnya perempuan bisa memilih untuk berjuang memiliki kebebasan seperti laki-laki. Saya pribadi tak ingin melihat banyak perempuan secara tak sadar tertindas dan terjebak oleh nilai-nilai patriarki hingga tak bisa keluar darinya, seperti halnya gadis-gadis lugu di Desa Sekarpuro, tak ubahnya bagai batu giok yang berharga dan dihargai tetapi tak punya pilihan dalam menentukan arah hidup.