“Wanita
adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah istri yang solehah”
Kalimat itu begitu terkenal
dalam masyarakat, terutama masyarakat muslim karena kalimat itu adalah petikan
salah satu ayat Al-Qur’an. Tanpa sadar jutaan manusia terhegemoni atas nama
pensucian agama sehingga menafsirkan bahwa perempuan memanglah benar-benar
perhiasan yang menghiasi setiap rumah-rumah suaminya.
Artinya? Perempuan tanpa sadar
semakin disudutkan sebagai objek yang tak bergerak sesuai keinginannya, menjadi
benda kepemilikan suaminya, dan lebih parahnya lagi perhiasan haruslah indah. Oleh
karena itu sering saya dengar di pengajian-pengajian bahwa adalah wajib bagi
seorang istri berdandan secantik-cantiknya untuk menyenangkan hati suaminya.
Sementara laki-laki? setelah
saya bolak-balik halaman Al-Qur’an memang tak ada satu ayatpun yang
menjelaskan, atau setidaknya menyiratkan, agar mereka harus merawat diri untuk
membuat istrinya senang. Malah sebaliknya, kewajiban merawat tubuh lelaki
dilimpahkan pada perempuan mulai dari mencuci baju hingga menyediakan pilihan
makanan yang bagus untuk kesehatan laki-laki.
Terus terang saya jadi sedikit
meragukan keotentikan kitab suci agama saya tersebut, terlebih setelah melihat
ayat-ayat lain yang berisi ijin poligami, pemukulan terhadap istri, dan hal-hal
kodrati yang katanya berpotensi menyeret perempuan ke dalam neraka. Misalnya
saja karena perempuan memiliki tubuh yang bisa memancing syahwat laki-laki,
maka perempuanlah yang paling ditekan untuk menundukkan pandangan, seolah tubuh
perempuanlah yang paling disalahkan.
Jadi apakah sesungguhnya kitab
suci yang diyakini kebenarannya oleh sekitar 1,5 milyar manusia di planet bumi
ini mengandung bias gender? Atau memang begitulah cara yang paling adil menurut
tuhan? Atau jangan-jangan tuhan dan ayat-ayat dalam kitab suci tersebut
hanyalah konspirasi para lelaki berkedudukan kuat yang hidup di jaman dahulu
kemudian menuliskan hukum-hukum secara sangat subjektif dan menjadi sesuatu
yang taken for granted hingga kini?
Nobody knows.
Nah, disini saya melihat, betapa
timpangnya kedudukan antara perempuan dan laki-laki, terutama pada masyarakat
tradisional dengan nilai-nilai teologis yang masih sangat kental. Sebagai
contoh adalah Desa Sekarpuro, tempat kelahiran saya yang nilai-nilai Islamnya
cukup kuat. Ayat sesederhana ini tak ayal bukan hanya akan berlaku dalam
kehidupan rumah tangga, tapi juga merembet pada kehidupan bermasyarakat.
Imbasnya, perempuan menjadi tak
bisa berkembang. Bisa saja mereka mendapat ijin dari suaminya untuk bekerja,
tapi tidak akan maksimal karena mereka sendiri menganggap pekerjaan mereka
bukanlah untuk aktualisasi diri, berprestasi, menguasai pasar, dan lain-lain. Kebanyakan
dari mereka hanya mau menjadi penyokong ekonomi sampingan belaka. Ditambah lagi
interpretasi tentang kewajiban perempuan untuk melayani suami, saat perempuan
sedang malas, maka kekerasan dalam rumah tangga oleh suami sangat mungkin
terjadi, dan ini semakin memperparah kesenjangan gender.
Atau bisa saja mereka mendapat
ijin bersekolah, tapi pendidikan untuk perempuan di desa tersebut saya rasa
sangatlah diskriminatif. Pernah suatu hari saat saya berkunjung, ada seseorang
yang berkata “Lapo sekolah duwur-duwur
nduk, arek wedok ae kok ujung-ujunge yo ndek pawon”. (Untuk apa sekolah
tinggi-tinggi, ujung-ujungnya juga di dapur).
Perempuan tidak akan
disekolahkan lebih tinggi daripada laki-laki, meskipun kemampuan intelektualnya
lebih baik. Hal paling penting bagi masyarakat patriarki yang tradisional dan
teologis seperti itu adalah menjalankan ajaran-ajaran kitab sucinya sesuai
interpretasi pada umumnya. Tapi jika sejarah mencatat bahwa interpretasi kitab
selalu dilakukan oleh laki-laki, bukankah itu sebuah pertanyaan besar?
Selain itu, budaya di kalangan pemuda
pun saya rasa masih demikian, tanpa sadar perempuan muda mengubur
kehebatan-kehebatan potensi dirinya sendiri dengan mengatakan “Kalau suatu hari
menikah, saya tidak ingin gaji saya lebih tinggi dari suami saya”. Mereka
menganggap bahwa memiliki gaji yang lebih tinggi dari suami adalah hal yang
tabu. Artinya, mereka merasa tak ingin mengalahkan laki-laki beserta
patriarkinya itu, meskipun menurut saya memang tujuan dari kesetaraan gender
bukanlah untuk mengalahkan satu sama lain, tapi setidaknya ucapan-ucapan semacam
itu secara implisit tentu akan mengabadikan struktur patriarki.
Seperti halnya teori feminis
marxis, yang berkuasa adalah yang memiliki modal, yang memegang kendali adalah
yang bekerja di sektor publik serta dibayar, dan pemilik modal cenderung akan
mengeksploitasi pihak yang tidak memiliki modal. Maka untuk mencapai
kesetaraan, langkah awal yang perlu dilakukan adalah membuat perempuan sadar
dengan posisi domestiknya yang identik dengan proletar. Timbulnya kesadaran
akan posisi perempuan sebagai pihak yang ditindas tersebut diharapkan oleh
feminis marxis dapat membangkitkan perlawanan terhadap laki-laki yang identik
dengan kaum borjuis, sehingga sistem patriarki dapat diruntuhkan.
Saya jadi berpikir lebih lanjut,
apakah misalnya saja setelah sistem patriarki yang menomorsatukan laki-laki
bisa dihancurkan akan menjamin terciptanya kesetaraan gender? Mengingat tujuan
utama feminis marxis adalah untuk menciptakan keadilan gender, bukan
ketimpangan. Saya rasa segala kemungkinan bisa terjadi, mungkin keadilan gender
akan tercipta, mungkin juga perempuan malah akan menggantikan posisi dan
berganti mengeksploitasi laki-laki, atau bahkan mungkin tidak sama sekali,
seperti halnya sejarah yang mencatat bahwa tak pernah ada kelas proletar yang
berhasil mengubah struktur kapitalis menjadi sosialis.
Tapi bagi saya, setidaknya
menyadarkan perempuan terhadap posisinya adalah sangat penting. Selanjutnya
perempuan bisa memilih untuk berjuang memiliki kebebasan seperti laki-laki. Saya
pribadi tak ingin melihat banyak perempuan secara tak sadar tertindas dan
terjebak oleh nilai-nilai patriarki hingga tak bisa keluar darinya, seperti
halnya gadis-gadis lugu di Desa Sekarpuro, tak ubahnya bagai batu giok yang
berharga dan dihargai tetapi tak punya pilihan dalam menentukan arah hidup.