Senin, 15 Juni 2015

Mari Hancurkan Lingkungan dengan Megengan dan Selamatan!

Sedih adalah ketika kau membuang-buang makanan sementara orang lain sangat membutuhkannya" (sebuah suara dalam hatiku, di sebuah sore, meja makan yang penuh dengan makanan)


Ada sebuah tradisi di tempat asalku, di desa, tradisi itu bernama "megengan". Orang-orang islam yang ada akan memberikan makanan kepada tetangga-tetangga dan kerabat. Nasi, lengkap dengan lauk pauknya, dan yang tentu tak ketinggalan adalah apem, pisang, dan beberapa kue lainnya. Ketika ku tanyakan pada ibuku " Sebenarnya apa fungsi megengan?". Beliau menjawab "Untuk menyambut kedatangan bulan suci ramadhan, menunjukkan bahwa kita begembira karena kedatangan bulan ini".


Kau tau, jika masing-masing orang di desa saling memberikan makanan kepada tiap rumah tetangganya, berapa jumlah makanan yang terkumpul dalam satu rumah? Katakanlah, satu orang rata-rata biasanya akan memberikan makanan pada 15 orang (rumah tangga). Jika ke 15 nya melakukan megengan, maka akan ada 15 makanan dari orang berbeda yg terkumpul. Sementara itu, dalam rumah misal hanya ada 4 orang saja. Kemana makanan ini akan bermuara? Pada hari-hari seperti ini tidak akan ada orang kelaparan. Justru makanan berlimpah ruah tak ada yang memakannya. Dan akhirnya terbuang!


Hal yang sama juga terjadi ketika aku tak lagi tinggal di desa. Sebuah wilayah perumahan dengan pembangunan infrastuktur besar-besaran yang orang-orangnya melakukan megengan tidak dengan kadar yang se ekstrim orang-orang desaku. Namun menghabiskan sumber daya yang lebih besar, dan tentu saja sampah.


Di desa, orang akan dicibir atau kurang mendapat penghormatan normalitas jika tak melakukan megengan, namun di tempat tinggalku menggelar megengan atau tidak itu biasa saja, karena tempat ini multikultural, dengan ragam agama dan kesukuan. Tapi seperti yang ku bilang, sumber daya yang dibuang bisa jadi lebih besar di tempat ini. Orang-orang perumahan akan memberikan hantaran makanan terbaiknya, ayam bakar yang ukurannya selalu besar, dan mereka selalu memakai kardus dan mika yang paling bagus, benar-benar pemborosan. Namun hal yang masih agak bagus di lingkungan ini adalah:megengan tak dilakukan berbarengan dalam satu hari sehingga potensi terbuangnya makanan karena tak ada yang memakan jadi lebih kecil dari pada di desa.


Ada sisi positif yang lebih banyak di kota, tentang megengan. Setidaknya aku bisa berharap bahwa tradisi ini lambat laun akan disadari oleh masyaakat sebagai tradisi pemborosan. Namun baik desa maupun kota, satu hal yang aku tangkap adalah: megengan adalah tradisi kultural-religi yang tidak ramah lingkungan. Sekarang mari kita melakukan kalkulasi. Ini adalah makanan yang biasa dihantarkan di sekitar rumahku saat ini.


Ayam (Rp 7000)

Nasi (2000)

Telur matang (1000)

Capjay (2000)

Mi (1500)

Kardus (600)

Kue (6000)


Itu adalah yang paling standar, katakanlah setiap rumah tangga akan mengeluarkan biaya Rp 20.000 untuk 15 rumah tangga lain, maka Rp. 20.000 x 15 =300.000, tiga ratus ribu untuk sekali megengan per rumah tangga, jika ada 15 rumah tangga melakukan megengan maka 300.000 x 15 = 4.500.000. Setidaknya sejumlah Rp 4.500.000 per kampung, padahal di banyak daerah dan kebiasaan serta pola-pola yang tersisa, Wagir misalnya (wilayah Malang Kabupaten), dan sebagian wilayah Batu, megengan tidak hanya dihantarkan pada orang sekampung, tapi juga pada saudara-saudara dan kerabat-kerabat di wilayah lain yang juga sama-sama menggelar megengan. Dan yang selalu kutekankan, makanan itu selalu ada yang tak termakan lalu esoknya dibuang begitu saja, tidakkah ajaran agama jarang memerintah orang megengan, namun selalu memerintah orang menjauhkan diri dari yang mubadzir?


Aku selalu menemuinya, hampir di setiap budaya selamatan. Megengan, maleman, maulid nabi, besaran, dimana banyak potongan ayam goreng/bakar/rendang yang terkumpul, tak ada mulut yang bisa memakan karena saking bosannya, dan akhirnya dibuang!


Yang pertama kali ku pikirkan adalah masalah pemborosan energi, yang kedua adalah kerusakan lingkungan, dimana petrernakan aktif meningkatkan produksinya karena ada tradisi megengan dan sejenisnya dan orang-orang tak akan meluputkan ayam dan daging-daging dari hantarannya.


Yang ketiga adalah soal moralitas, ayam-ayam yang lahir, hidup, kemudian mati, mereka merasakan sakit hanya untuk kemudian dibuang (tanpa dimakan oleh manusia). Mereka merasakan sakit yang tak ada gunanya. Gampangnya, percuma merasakan sakit tetapi manusia tak memakannya. Bukankah itu penganiayaan?


Hal yang sama juga terjadi pada apem, jumlahnya banyak, dan kmudian berakhir di kranjang sampah. Petani sudah bekerja keras untuk menanam beras sebagai bahan baku apem, demikian pula buruh-buruh pabrik sudah bercucuran keringat untuk mengolah beras menjadi tepung beras, belum lagi petani tebu, buruh pabrik gula, buruh pabrik tepung terigu, buruh vanili, buruh pemanjat pohon kelapa yang menyediakan bahan-bahan untuk pembuatan apem, belum lagi tenaga yang dipakai untuk membuat apem, kompor dan LPG nya ini baru apem, belum kue yang lain. 


Bisa dipahami, apem ortodox memang sudah sangat membosankan, seharusnya apem tampil dengan wajah kekinian agar lebih cocok dengan lidah dan selera anak muda (maksudku biar apem tak hanya menjadi sasaran orang tua atau anak muda yang iseng memakannya). Namun kalaupun tak bisa, sebaiknya memang apem ditiadakan saja daripada membuang-buang sumber daya. Daripada memaksakan apem selalu hadir, maka lebih baik bunuh saja apem dari tradisi selamatan!


Namun ini bukan berarti melenyapkan apem dari dunia dan berjanji tak akan menciptakannya lagi, yang ku amati justru apem menjadi membosankan karena massifikasinya di setiap acara-acara selamatan sebagai syarat memenuhi tradisi, seharusnya ketika apem itu bukan suatu hal yang massif dan terlihat sangat banyak, sejujurnya ia adalah makanan yang cocok di lidah banyak anak muda (warung serabi dan apem dalam berbagai rasa dan kombinasi, ya, Homi Bhaba menyebutnya hibriditas, dan Edward Said pernah menyebutnya sebagai mimikri kuliner) Maka aku harap apem yang sering terbuang bisa diarahkan untuk menempuh jalan seperti apa yang dialami oleh nagasari atau bugis yang ber-evolusi (dievolusikan) menjadi kue tog.