tag:blogger.com,1999:blog-35181762733107295782024-02-20T10:52:37.333-08:00Mengamati MasyarakatDunia yang penuh perubahan, agresi, pertarungan pengaruh, lalu jeritan kekalahan, tawa kemenangan, teriakan, dan tangis. Namun seringkali juga masih diwarnai senyuman tulus, keinginan berbagi, saling menguatkan dan menjaga harmoni.
Manusia, seperti aku, kau, dan mereka.Zakiah Fitrihttp://www.blogger.com/profile/03664271286630168563noreply@blogger.comBlogger25125tag:blogger.com,1999:blog-3518176273310729578.post-70266244825310347512018-09-10T01:25:00.000-07:002018-09-10T01:25:44.589-07:00Straw<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiYu2TLeRl5KGfMydyBVP7HvVgZSzDsq53555o-RzOwMybhsI7295GfDY2Wz4uocSeYUTY5kdGJsS6LEtTZ82cn-rfUJZHGDmwR2zaxJF9ljp4OtKazWGirgsvAXGfx1d-RzumsxNGXVnQ/s1600/cover-buku.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="315" data-original-width="234" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiYu2TLeRl5KGfMydyBVP7HvVgZSzDsq53555o-RzOwMybhsI7295GfDY2Wz4uocSeYUTY5kdGJsS6LEtTZ82cn-rfUJZHGDmwR2zaxJF9ljp4OtKazWGirgsvAXGfx1d-RzumsxNGXVnQ/s200/cover-buku.jpg" width="148" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ini adalah sebuah novel <i>psycho-thriller</i> dari Noorca M. Massardi. Untuk ukuran novel Indonesia, novel ini cukup memberikan warna bagi keberagaman novel di Indonesia. Berkisah tentang kematian orang-orang ternama di indonesia (utamanya para akademisi) yang dalam pemeriksaan medis penyebab kematiannya adalah stroke dan serangan jantung, hal itu dianggap wajar selama beberapa waktu. Hingga kemunculan seorang tokoh bernama Banyan, seorang wartawan muda yang curiga bahwa ada yang tidak beres dengan kematian tokoh-tokoh terkenal itu. Dengan dukungan dari pimpinannya, Banyan kemudian mulai menelusuri penyebab kematian para tokoh itu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Suatu hari, kasus serupa terjadi di Lombok dan Bali, Banyan melakukan pengejaran mati-matian dan itu bukan hal yang mudah, karena si pembunuh yang diketahui bernama Basung, adalah orang sudah sangat terlatih dalam praktik tersebut. Basung selalu lolos dalam setiap aksinya. Hingga ketika suatu kasus meninggalkan jejak tipis yang memancing pengungkapan kasus tersebut.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Saya pikir, ide cerita novel ini menarik. Basung sebagai seorang pembunuh, digambarkan membunuh para korbannya dan menyedot cairan otak mereka, kemudian memakannya. Dengan cara tersebut, Basung dapat merasakan apa yang dirasakan oleh korbannya, serta memperoleh memori dan ilmu pengetahuan seperti yang dimiliki oleh para korbannya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Alur dalam cerita ini juga lugas, tidak bertele-tele, jelas, tidak membingungkan dan nyaman untuk dibaca karena selalu memancing rasa penasaran pembaca untuk melanjutkan pembacaan terhadap cerita tersebut, hal ini mungkin tidak lepas dari pengalaman Noorca M. Massardi yang memang seorang penulis senior dan berpengalaman di bidang kepenulisan. Bisa saya akui, alurnya bagus dan dan ide ceritanya sangat menarik, terlepas dari apakah cerita tersebut terinspirasi oleh cerita-cerita science fiction atau cerita lain yang sudah pernah dipublikasikan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Namun seperti halnya karya-karya lain, ada beberapa hal yang saya sayangkan dari karya ini. Pertama adalah, penggambaran tokoh oleh penulis yang dalam beberapa kesempatan terkesan.. Mm... Apa ya..Sang penulis terkesan terlalu mengagung-agungkan kehebatan tokoh sehingga bagi saya hal itu terkesan agak memuakkan. Misalnya ketika Basung digambarkan sebagai pemuda yang sangat hebat, tampan, sempurna, trendy, keren tiada tara, dan tiada cela sedikitpun dalam dirinya selain kejahatan yang dia lakukan. dan hanya dengan satu tatapan mata, atau lirikan saja, dia bisa menaklukkan siapapun yang dia mau.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="white-space: pre;"> </span>Bagi saya, penggambaran tokoh yang terlalu sempurna seperti ini adalah bagian dari rezim mainstream yang seolah mengatakan bahwa jika kita ingin menjadi orang yang sangat berpengaruh, maka kita harus menarik secara fisik, mental, intelektual. Padahal, andai saja Noorman M. Massardi mau menyelipkan sedikit saja "cela" pada tokoh Basung (katakanlah misal Basung digambarkan sebagai tokoh yang tidak memiliki jari kelingking tetapi ia memiliki sorot mata yang kharismatik, saya rasa itu justru makin menarik), maka secara tidak langsung hal tersebut dapat mempengaruhi perspektif para pembaca, bahwa kekurangan dalam suatu hal bukanlah penghambat untuk menjadi manusia yang berpengaruh.</div>
Zakiah Fitrihttp://www.blogger.com/profile/03664271286630168563noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3518176273310729578.post-75236877623652790272018-08-30T01:27:00.000-07:002019-02-23T17:30:44.428-08:00Misteri Soliter<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiF-IwDDs300pdz0squYiNZ6uIRv5jICgIZmWJlkbu85gOaMugeEaIM-BhTf-xfnxSDORRqn0m7750e_pUlzVxyBRcRAXST380iWDBcI90uyUvTnuFQ4x3F6wUTl5dPp-NoS13jA9MgiKg/s1600/8865934.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="475" data-original-width="302" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiF-IwDDs300pdz0squYiNZ6uIRv5jICgIZmWJlkbu85gOaMugeEaIM-BhTf-xfnxSDORRqn0m7750e_pUlzVxyBRcRAXST380iWDBcI90uyUvTnuFQ4x3F6wUTl5dPp-NoS13jA9MgiKg/s200/8865934.jpg" width="126" /></a></div>
Nama Jostein Gaarder sudah cukup familiar, aku mengenalnya sebagai penulis novel filsafat Duinia Sophie meskipun aku belum pernah membacanya. Pikirku barangkali dia adalah orang yang berusaha membawa filsafat agar lebih membumi dan tidak terkesan angker bagi orang-orang pada umumnya. Baiklah, aku baru saja selesai membaca buku berjudul Misteri Soliter ini. Kesanku secara keseluruhan untuk buku setebal 300 halaman lebih ini adalah buku ini eksotis.<br />
<br />
Sebelum membacanya aku memang sempat membaca beberapa resensi tentangnya, dan itu cukup membuatku tertarik hingga akhirnya kuputuskan untuk membacanya sampai selesai. Oke baiklah, novel ini berkisah tentang seorang bocah bernama Hans Thomas dari Norwegia yang melakukan perjalanan bersama ayahnya ke Athena untuk menemukan ibunya yang sudah beberapa tahun ini pergi meninggalkan mereka. Jika kalian membayangkan dua orang yang melakukan perjalanan ini kasihan karena ditinggalkan oleh seorang ibu dan istri, aku rasa tidak juga. Ayah Hans Thomas memang bukan orang kaya, tapi mereka punya perspektif dan kacamata sendiri dalam menjalani kehidupan dan aku rasa itu adalah kemewahan yang tidak bisa dirasakan oleh sembarangan orang.<br />
<span style="white-space: pre;"><br /></span>
<span style="white-space: pre;"> </span>Ibu Hans Thomas yang pergi ke Athena dan menjadi model terkenal disana, digambarkan sebagai seseorang yang kehilangan jati dirinya, itulah kenapa ia pergi meninggalkan suami dan anak-anaknya. Salah satu kalimat yang cukup bagus dalam buku ini adalah "Semakin cantik seseorang, semakin sulit ia menemukan dirinya sendiri". bagiku kalimat itu bermakna sangat dalam. melihat sosial media yang dipenuhi dengan orang-orang yang menonjolkan rupa dan bentuk fisik, aku jadi berpikir kembali bahwa memang tak ada hal lain dalam diri mereka yang bisa dibanggakan, sehingga mengekspos fisik adalah hal yang harus dilakukan untuk menaikkan derajat dan martabat mereka. Ya, meskipun itu sangat semu.<br />
<span style="white-space: pre;"> </span><br />
Oke baiklah, kembali lagi pada buku ini. Sebenarnya tidak ada yang spesial dengan ide ceritanya, hanya berkisar pada seorang anak dan suami yang ditinggalkan oleh istrinya, penambahan unsur fantasi seperti kartu-kartu remi yang kemudian hidup dan bernyawa serta berinteraksi juga semakin menambah kesan aneh dan ganjil pada jalan cerita. Mm... Ya, untuk ukuran orang umum yang tidak tertarik dengan filsafat, bacaan ini munghkin akan terkesan sangat aneh, dan pembaca sangat mungkin untuk merasa bosan saat tengah-tengah membaca. Namun, jika kita mampu menangkap kepiawaian Gaarder dalam menyuguhkan filsafat melalui cara yang sederhana, kita akan mampu menemukan banyak hal memukau dalam novel ini.<br />
<span style="white-space: pre;"> </span><br />
Pertanyaan-pertanyaan mendasar yang seringkali membawa kita menjadi manusia yang 'dalam' seperti, "Darimana kita berasal?", "Kemana kita akan menuju?" diberi jawaban dan alternatif-alternatif kemungkinan oleh si filsuf Gaarder, dan ini sangat menarik. Misalnya saja cara Gaarder dalam menganalogikan bahwa manusia ini ibarat kartu-kartu soliter, dimana manusia sedang terlibat dalam permainan agung yang sedang dimainkan oleh-Nya. Selain itu cara Gaarder dalam menggambarkan bagaimana kartu-kartu dapat hidup, bergerak, berbicara dan menjadi manusia juga akan memancing otak kita untuk berpikir tentang beragam kemungkinan baru tentang penciptaan.<br />
<span style="white-space: pre;"><br /></span>
<span style="white-space: pre;"> </span>Dalam buku itu juga dikisahkan bahwa kakek moyang Hans Thomas bernama Frode yang merupakan seorang pelaut, terdampar di suatu pulau terpencil sendirian, kapalnya telah karam. Setiap hari Frode terus bermain soliter dan merasakan kesepian yang luar biasa dalam waktu yang sangat lama, kartu-kartu yang menemani hari-harinya sepanjang waktu akhirnya mengisi hati dan pikiran Frode, kartu-kartu itupun menjadi teman terdekatnya, masuk ke dalam mimpi-mimpinya hingga suatu hari kartu-kartu itu memanjat sesuatu yang disebut sebagai "tangga kesadaran" oleh Gaarder.<br />
<span style="white-space: pre;"> </span><br />
Apakah tangga kesadaran semacam itu ada?, apakah manusia dari ketiadaan menjadi ada, telah melewati sesuatu yang semacam itu? Bagaimana kesadaran manusia bisa muncul dan ada seperti sekarang? Apakah dunia ini memang ibarat permainan tentang kartu-kartu?. Sekali lagi, Gaarder telah mengaduk antara filsafat, fantasi dan kenyataan menjadi satu dalam novel menarik berjudul Misteri Soliter.Zakiah Fitrihttp://www.blogger.com/profile/03664271286630168563noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3518176273310729578.post-24707715574526892472016-07-25T21:32:00.004-07:002016-08-05T00:21:20.002-07:00Lintang Kemukus Dini hari<div style="text-align: justify;">
<!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:View>Normal</w:View>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:TrackMoves/>
<w:TrackFormatting/>
<w:PunctuationKerning/>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:DoNotPromoteQF/>
<w:LidThemeOther>IN</w:LidThemeOther>
<w:LidThemeAsian>X-NONE</w:LidThemeAsian>
<w:LidThemeComplexScript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:SnapToGridInCell/>
<w:WrapTextWithPunct/>
<w:UseAsianBreakRules/>
<w:DontGrowAutofit/>
<w:SplitPgBreakAndParaMark/>
<w:DontVertAlignCellWithSp/>
<w:DontBreakConstrainedForcedTables/>
<w:DontVertAlignInTxbx/>
<w:Word11KerningPairs/>
<w:CachedColBalance/>
</w:Compatibility>
<w:BrowserLevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel>
<m:mathPr>
<m:mathFont m:val="Cambria Math"/>
<m:brkBin m:val="before"/>
<m:brkBinSub m:val="--"/>
<m:smallFrac m:val="off"/>
<m:dispDef/>
<m:lMargin m:val="0"/>
<m:rMargin m:val="0"/>
<m:defJc m:val="centerGroup"/>
<m:wrapIndent m:val="1440"/>
<m:intLim m:val="subSup"/>
<m:naryLim m:val="undOvr"/>
</m:mathPr></w:WordDocument>
</xml><![endif]--></div>
<div style="text-align: justify;">
<!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="true"
DefSemiHidden="true" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="267">
<w:LsdException Locked="false" Priority="0" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Normal"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="heading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="35" QFormat="true" Name="caption"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="10" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" Name="Default Paragraph Font"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="11" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtitle"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="22" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Strong"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="20" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="59" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Table Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Placeholder Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="No Spacing"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Revision"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="34" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="List Paragraph"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="29" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="30" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="19" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="21" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="31" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="32" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="33" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Book Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="37" Name="Bibliography"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" QFormat="true" Name="TOC Heading"/>
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin:0cm;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";}
</style>
<![endif]-->
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjPjT94PbeH9voQbgXV5oL0_pEcQQjH7Zk4Z_Rzq0NOnun93HCIYYmvyO2Vx2d-yj_fRYpZRSc8sSCVu5lqFW1SYE9QkRcMu1zyyQM3Eo6ZFyea3eSGfCc0nwaVhLmTbmamuk4W7oa_r_I/s1600/Lintang+Kemukus+Dini+Hari.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjPjT94PbeH9voQbgXV5oL0_pEcQQjH7Zk4Z_Rzq0NOnun93HCIYYmvyO2Vx2d-yj_fRYpZRSc8sSCVu5lqFW1SYE9QkRcMu1zyyQM3Eo6ZFyea3eSGfCc0nwaVhLmTbmamuk4W7oa_r_I/s1600/Lintang+Kemukus+Dini+Hari.jpg" /></a></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
1. Lintang Kemukus Dini hari</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
2. Ronggeng Dukuh Paruk</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
3. Jantera Bianglala </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Buku ini sebenarnya adalah trilogi, dengan seri
masing-masing seperti yang ku tulis di atas. Aku pertama kali membacanya ketika
kelas 2 SMP, membaca bagian pertamanya saja “Lintang Kemukus Dini Hari”. Aku
sempat mencari bagian ke dua dan ketiga namun tak menemukannya. Akhirnya pada
saat SMA, aku menemukan tiga novel ini sudah terjilid dalam satu buku berjudul
“Ronggeng Dukuh Paruk”.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Sejak SMP, nama Ahmad Tohari cukup mengena di telingaku, karena
darinyalah aku belajar bagaimana cara menulis dengan metode etnografi (meski
waktu itu aku sama sekali tak mengerti etnografi itu apa), tutur bahasanya
benar-benar rinci, deskriptif dan indah! itulah yang membekas di benakku ketika
pertama kali membaca karyanya. Gara-gara novel ini juga, aku jadi penasaran
dengan karya-karyanya yang lain. Yah, aku menyukai gaya Ahmad Tohari karena
mengalami sebuah ketidaksengajaan, tidak sengaja menemukan bukunya, dan awalnya
hanya iseng membaca karyanya,</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Baiklah, langsung saja. Buku ini berkisah tentang kehidupan
di desa terpencil yang memiliki nilai-nilai, norma, dan standar moralitasnya
sendiri, standar yang cukup berbeda dari moralitas pada umumnya, tempat itu
bernama Dukuh Paruk.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Seorang gadis cantik, Srintil namanya, dia menjadi ronggeng
yang diceritakan oleh Ahmad Tohari di Dukuh Paruk dalam novel ini. Sudah sekian
lama di dukuh ini tidak muncul seorang ronggeng pun, (dan ini adalah semacam
kemuraman bagi orang-orang desa). Ronggeng sebenarnya adalah penari bayaran,
dan mereka harus melayani laki-laki yang ingin “tidur” dengan mereka dan tentu
saja harus membayar dengan sejumlah harta. Ronggeng memiliki semacam “pengasuh”
dan digambarkan bahwa pengasuhnya inilah yang punya otoritas lelaki mana yang
boleh memerawani ronggeng untuk pertama kali, dan meniduri ronggeng itu di hari
berikutnya, berikutnya, dan seterusnya, semacam mucikari begitu lah, namun
posisi mucikari itu dibalut atas nama adat-tradisi.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Srintil, sejak sangat belia sebenarnya telah “jatuh cinta”
pada seorang teman sebayanya bernama Rasus, kepadanya lah Srintil menyerahkan
keperawanannya tanpa diketahui oleh Kartareja (mucikari ronggeng). Hingga
dewasa dan matang, Srintil tetap seorang ronggeng, tapi ia diam-diam tetap
mencintai Rasus, terpikir olehnya untuk menjadi istri dan memiliki anak,
membangun rumah tangga dengannya, namun jatuh cinta adalah pantangan bagi
seorang ronggeng, karena ronggeng adalah milik bersama, tidak boleh dimiliki
atau diperistri oleh siapapun. Tubuhnya hanya boleh ditiduri secara bergilir
oleh lelaki yang mampu membayarnya.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Ronggeng dalam konteks setting Dukuh Paruk, bukanlah
pekerjaan hina, justru ronggeng adalah simbol spiritualitas dan kehidupan di
Dukuh tersebut. Seorang istri yang memiliki suami, dan suaminya tidur dengan ronggeng,
bukan sebuah dosa atau pengkhianatan, tapi justru istri-istri di Dukuh Paruk
akan sangat bangga karena suaminya dianggap memiliki kejantanan dan harta yang
cukup untuk dapat menyetubuhi ronggeng. Para istri hanya akan berkata “Eh
suamiku nanti malam akan tidur dengan Srintil loh, suamimu kapan mau
menidurinya??” dengan ekspresi gembira.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Suatu hari, pada puncaknya, Srintil sangat lelah, ia
benar-benar ingin mengakhiri ke-ronggengannya dan ingin menjadi istri Rasus.
Mereka pernah “tidur” bersama untuk kedua kalinya, Srintil merasakan hal yang
berbeda dengan Rasus, tak seperti laki-laki lainnya. Namun Srintil pun bersedih
karena Rasus pada pagi buta telah pergi dari kamar, meninggalkan beberapa uang
di bawah bantal. “Aku tak butuh uangmu Rasus” begitu kira-kira kata Srintil di pagi buta itu, hatinya patah.
Rasus pun sejak semula sebenarnya sudah menaruh hati pada Srintil, namun ia diam saja karena
tak mungkin baginya bisa menikahi seorang ronggeng.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Srintil mengalami dilema, dia banyak menjadi buah bibir
karena keinginannya sudah banyak tersebar di kampung, padahal ronggeng tidak boleh memiliki keinginan untuk berumah tangga. Hingga
pada akhir cerita nanti, Srintil menderita kegilaan karena menunggui cinta Rasus namun ia tak pernah datang, selain itu Srintil juga mengalami penderitaan psikis dan fisik, namun kemudian dalam keadaan gila ia diselamatkan oleh
Rasus. Banyak penggambaran lain yang coba dilukiskan oleh Ahmad Tohari, seperti
gejolak PKI dan politik yang turut mempengaruhi jalannya cerita. </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Hal yang paling banyak aku pelajari dari novel ini adalah
pembunuhan standar moralitas universal, melihat sudut moralitas dari mereka
yang sama sekali bertentangan dengan standar moralitas bagi masyarakat
kebanyakan. Kita bisa belajar betapa relatifnya arti sebuah moralitas bagi
setiap masyarakat. Selain itu, novel ini juga menggambarkan bagaimana posisi
laki-laki perempuan dalam masyarakat, bagaimana politik tubuh pun telah berlaku
bukan hanya pada masa belakangan setelah terjadinya era banjir informasi, tapi semenjak
jaman dahulu, di sebuah desa terpencil, mereka melakukan politik tubuh bahkan
dalam arti yang jauh lebih mengerikan bagi masyarakat mainstream perempuan kekinian.</div>
Zakiah Fitrihttp://www.blogger.com/profile/03664271286630168563noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3518176273310729578.post-35391182441879982462016-07-25T21:27:00.001-07:002016-07-25T21:27:11.204-07:00Atheis<!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:View>Normal</w:View>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:TrackMoves/>
<w:TrackFormatting/>
<w:PunctuationKerning/>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:DoNotPromoteQF/>
<w:LidThemeOther>IN</w:LidThemeOther>
<w:LidThemeAsian>X-NONE</w:LidThemeAsian>
<w:LidThemeComplexScript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:SnapToGridInCell/>
<w:WrapTextWithPunct/>
<w:UseAsianBreakRules/>
<w:DontGrowAutofit/>
<w:SplitPgBreakAndParaMark/>
<w:DontVertAlignCellWithSp/>
<w:DontBreakConstrainedForcedTables/>
<w:DontVertAlignInTxbx/>
<w:Word11KerningPairs/>
<w:CachedColBalance/>
</w:Compatibility>
<w:BrowserLevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel>
<m:mathPr>
<m:mathFont m:val="Cambria Math"/>
<m:brkBin m:val="before"/>
<m:brkBinSub m:val="--"/>
<m:smallFrac m:val="off"/>
<m:dispDef/>
<m:lMargin m:val="0"/>
<m:rMargin m:val="0"/>
<m:defJc m:val="centerGroup"/>
<m:wrapIndent m:val="1440"/>
<m:intLim m:val="subSup"/>
<m:naryLim m:val="undOvr"/>
</m:mathPr></w:WordDocument>
</xml><![endif]--><br />
<!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="true"
DefSemiHidden="true" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="267">
<w:LsdException Locked="false" Priority="0" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Normal"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="heading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="35" QFormat="true" Name="caption"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="10" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" Name="Default Paragraph Font"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="11" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtitle"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="22" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Strong"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="20" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="59" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Table Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Placeholder Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="No Spacing"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Revision"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="34" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="List Paragraph"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="29" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="30" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="19" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="21" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="31" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="32" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="33" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Book Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="37" Name="Bibliography"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" QFormat="true" Name="TOC Heading"/>
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin:0cm;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";}
</style>
<![endif]-->
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgjAYTxyr09H66iz9_jgvXY2zFdPdj_lnYKphEaDUIjVI1udBS2aCHxLiW8SuNkWctB0ilmvM7fZWix-mOio3p-rQAQqApUEx4SoxQCK7beQ9g32a_LwZcGgeOCkQ0TauwUVCrUf36CcGQ/s1600/Ateis_cover.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgjAYTxyr09H66iz9_jgvXY2zFdPdj_lnYKphEaDUIjVI1udBS2aCHxLiW8SuNkWctB0ilmvM7fZWix-mOio3p-rQAQqApUEx4SoxQCK7beQ9g32a_LwZcGgeOCkQ0TauwUVCrUf36CcGQ/s320/Ateis_cover.jpg" width="209" /></a></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Buku ini berlabel “karya sastra
klasik” ketika aku baru saja menemukannya. Aku cukup antusias untuk membacanya
karena sudah cukup lama aku mengetahui judul novel ini, namun lupa hingga
beberapa tahun kemudian ketika menemukannya langsung saja ku sambar. Penulis
novel ini, Achdiat K. Mihardja sempat diintrogasi gara-gara karya ini. Ia
dituduh berupaya menyebarkan ateisme, meskipun sebenarnya Achdiat K. Mihardja
mengatakan bahwa dirinya adalah seorang Muslim. Karya ini sempat dicekal
peredarannya sehingga menghilang dari pasaran.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Baiklah, langsung saja, sesuai
judulnya buku ini mengisahkan perjalanan spiritual seorang tokoh bernama Hasan
yang berasal dari keluarga muslim religius dan taat, dia pun sempat menjalani
kehidupan di pesantren dan menjadi salah satu siswa yang cukup kaffah dalam
menunaikan ritual serta ajaran-ajaran agama Islam. Kemudian ketika semakin
dewasa, ia dipertemukan kembali dengan teman lamanya bernama Rusli<span style="background: yellow; mso-highlight: yellow;"></span>,<span style="mso-spacerun: yes;">
</span>yang membawa Hasan pada teman-teman lainnya yang cenderung memiliki
pandangan hidup sekuler dan Marxis, mungkin berkat novel ini pula, asumsi bahwa
ateis = komunis jadi mendapatkan legitimasi yang lebih kuat.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Iman Islam Hasan sebagai tokoh
utama sangat terguncang, ketika secara perlahan-lahan ia diperkenalkan dengan
dunia teman-temannya yang intelek, ia juga sering mengikuti diskusi yang
digelar oleh teman-temannya, terlebih lagi ketika ia berkenalan dan menjadi
dekat dengan seorang perempuan bernama Kartini yang juga sekuler dan dengan
cepat merebut serta mengubah haluan hidup Hasan. Semakin lama, ia semakin tidak
percaya lagi pada keberadaan tuhan, puncaknya, ketika ia kembali ke kampung
untuk menjenguk orang tuanya, ditemani dengan Anwar (salah satu teman Hasan
yang telah lama menjadi ateis dan turut mempengaruhi pikiran Hasan). </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Dalam situasi ketika bertemu
dengan orang tuanya, pada awalnya Hasan berusaha menutupi ke-ateisannya demi
menjaga perasaan bapak-ibunya, namun karena merasa disepelekan oleh Anwar
sebagai “ateis munafik”, maka Hasan pun dengan berani mengungkapkan
ketidakpercayaannya terhadap keberadaan tuhan. Orang tuanya pun sontak kaget
dan sangat terpukul, hingga memutuskan hubungan dengan Hasan. Dalam kondisi
demikian, Hasan kembali ke Jakarta, ia telah kehilangan hubungan baik dengan
orang tuanya, setelah kejadian itu pun Hasan menjadi uring-uringan, hubungan
suami-istri dengan Kartini juga semakin memburuk, Hasan mengalami depresi. Pada
suatu hari kemudian ia mencoba untuk meminta maaf kepada orang tuanya, kembali
ke kampung. </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Namun ayahnya yang menderita sakit keras belum juga memaafkan
Hasan, dan justru ayah Hasan meminta Hasan pergi agar tidak mengganggu
perjalanan menuju kematiannya yang dirasa telah dekat. Hasan pun kembali sangat
terpukul, seolah seluruh segi hidupnya hancur berantakan.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Kira-kira seperti itulah garis
besar isinya. Nah, karena novel ini berlabel “karya sastra klasik” tentu saja
butuh sedikit usaha untuk memahami dialog dalam kalimat-kalimat yang dituturkan
Achdiat K. Mihardja lewat tokoh-tokohnya, karena dialog orang-orang di masa
lalu dan hari ini sudah cukup berbeda, namun soal ejaan, aku mendapati buku ini
sudah memiliki ejaan yang disempurnakan, bukan “edjaan tjang disempoernakan”, hehehe.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Menurutku, isinya cukup bagus dan masih memiliki relevansi dengan kondisi
ateis-ateis yang saat ini ada di banyak tempat. secara langsung aku ingin
berkata, bahwa karya ini menyiratkan pelajaran tentang apa yang kira-kira akan
terjadi ketika seorang ateis/ seseorang yang secara sembunyi-sembunyi memilih
keyakinan yang berbeda dengan orang tuanya memilih <i style="mso-bidi-font-style: normal;">coming out</i> dengan keyakinannya yang berbeda.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Apakah kejujuran memang harus
selalu diungkapkan? untuk apa diungkapkan jika baik diri kita maupun
orang-orang yang kita sayangi harus menanggung beban?</div>
Zakiah Fitrihttp://www.blogger.com/profile/03664271286630168563noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3518176273310729578.post-86191577659320419302016-07-25T21:13:00.002-07:002016-08-05T00:27:09.878-07:00Spiritualitas Tanpa Tuhan<div class="Bt Pm" style="max-height: none; text-align: justify;">
<div class="Ct">
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgfQJ6vAFuXyq9WtsUQ2efzsEzEZPhfnBGmr9OXRH6KbaXk1nfKQmVmpY2o9AEwAbGMceRouEvnNZ0S5mk20cvadJFEbhyphenhyphendsB6OkgGf5k1Lc44bCl5zZ1QdMwms7VicruYd_kUW_qN0ytI/s1600/spiritualitas-tanpa-tuhan.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgfQJ6vAFuXyq9WtsUQ2efzsEzEZPhfnBGmr9OXRH6KbaXk1nfKQmVmpY2o9AEwAbGMceRouEvnNZ0S5mk20cvadJFEbhyphenhyphendsB6OkgGf5k1Lc44bCl5zZ1QdMwms7VicruYd_kUW_qN0ytI/s400/spiritualitas-tanpa-tuhan.jpg" width="251" /></a></div>
Ateisme
memang banyak menjadi polemik. Beragam jenis ateisme, kategori,
klasifikasi, dan pengskalaan dilakukan oleh banyak penulis dan peneliti
mulai dari William L Rowe, Dawkins yang mengemukakan 6 skala keateisan,
ada juga yang menulis tentang ateisme kuat dan lemah. Dalam epilog buku
yang lain saya juga sempat menemukan tulisan Nurcholis Majid tentang
ateis polemik dan ateis terselubung.<br />
<br />
Berbeda dengan buku Russel
"Bertuhan Tanpa Agama" justru dalam buku ini, yang cukup "ganjil"
menurut saya adalah, Sponville mencoba memberi kategori yang nampaknya
belum disentuh oleh para penulis dan peneliti pendahulunya, dia
mencetuskan adanya "Ateis katolik", "Ateis Kristen" dan tentu saja
dengan sendirinya membuat saya berkata "Ateis muslim". Asumsi dasar dari
posisi ini adalah ketidakpercayaan terhadap eksistensi tuhan tetapi
masih terintegrasi dengan kelompok dalam agama.<br />
<br />
Dengan begitu,
nampaknya agama abrahamik akan memiliki pengkayaan varietas ajaran, atau
ateis lah yang mengalami pengkayaan pengkategorian. <br />
<br />
Namun
selain itu, banyak wacana lain yang disuarakan oleh Sponville, seperti
peluang fanatisme (baik teis maupun ateis), kemudian pluralitas, dan
yang tak ketinggalan adalah tema besar buku ini, yakni spiritualitas.
Tapi bukan itu yang menarik, wacana tentang spiritualitas sudah
sedemikian semarak dalam pasar buku dan cenderung memiliki pandangan
yang parsial, tidak jauh berbeda dengan buku-buku syariat.<br />
<br />
Oh ya,
hal lain yang disampaikan Sponville adalah, dia melihat bahwa ateis
banyak mengalami "angoisse", anomi dan sejenis kehampaan secara psikis
karena tidak ada lagi sosok imajiner yang disembah-sembah. Hal ini
didukung oleh beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa ateis memang
rentan mengalami stress.<br />
<br />
Latar belakang itulah yang membuatnya
mencetuskan "ateis beragama" sebagai jalan keluar dari permasalahan yang
sering dihadapi oleh ateis.<br />
<br />
Upaya religiusasi ateis memang
nampak seperti mengembalikan ateisme pada jurang metafisika. Saya jadi
teringat para pengkritik Comte, bahwa bagaimanapun kondisi spiritual
manusia tidaklah berjalan linear dari teologis menuju positivis. Namun
bisa jadi siklus tersebut berlangsung dalam siklus daur ulang atau bahkan arbitrer.<br />
<br />
Namun
bukan berarti saya ingin mengatakan bahwa buku ini telah melegitimasi
ketidaklogisan ateis. Positivisme, saintifik, dan terukur adalah corak
yang tetap sangat kental dalam wacana ateisme kekinian. Namun, kebutuhan
integrasi dalam suatu kelompok adalah hal lain yang berada di luar
pertanyaan logis-tak logis, saintifik-non saintifik, bahkan
rasional-irrasional.<br />
<br />
Saya rasa buku ini cukup menarik dibaca jika sebelumnya telah membaca para pendahulu Sponville yang menulis tema serupa
agar tak terjadi kebingungan. Sebelum membaca buku ini, pastikan
setidaknya telah membaca wacana-wacana ateisme dan latar belakang
kemunculannya. Karena jika tidak, maka bersiap-siaplah untuk tersesat di
tengah-tengah, lalu bosan dan berhenti membaca buku ini.<br />
</div>
</div>
Zakiah Fitrihttp://www.blogger.com/profile/03664271286630168563noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3518176273310729578.post-11343646137794571442016-07-25T21:11:00.001-07:002016-07-25T21:11:08.794-07:00Epistemologi Kiri<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgBvSRb8gUvQl0uk45PL8ngtOCXNwIZB670Q0LK7quVciTqAGNDG6HGj2Ko4yipJoT0yvn0hN9bjcI5T2oDZX6GV6O7q3OGEEW82-XIL1XGNzZNsE1mUN2T8zmP_gRKhB-DitC3hsHrjpM/s1600/IMG_20160130_114436_scaled.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgBvSRb8gUvQl0uk45PL8ngtOCXNwIZB670Q0LK7quVciTqAGNDG6HGj2Ko4yipJoT0yvn0hN9bjcI5T2oDZX6GV6O7q3OGEEW82-XIL1XGNzZNsE1mUN2T8zmP_gRKhB-DitC3hsHrjpM/s200/IMG_20160130_114436_scaled.jpg" width="143" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam buku berjudul "Epistemologi Kiri" yang ditulis secara kolektif oleh para akademisi dan isinya tak seseram sampulnya ini, dikemukakan
bahwa kiri seringkali ditempatkan sebagai hal yang nyleneh, aneh,
liyan, radikal dan bahaya. Kiri berisi orang-orang yang melawan arus,
menjungkir balikkan sudut pandang mapan, dan dianggap destruktif, hidup
dalam idealisme yang sangat mewah. Buku yang cukup "netral" untuk
kategori buku yang ngomongin soal kiri.<br /><br />Ketika SD anak-anak
diajarkan bahwa PKI itu jahat, sesat, pembantai masyarakat yang tak
kenal ampun, dan celakanya, sejak SD anak-anak diajarkan untuk bersyukur
karena para "pahlawan" atau sesuatu yang mereka sebut sebagai pahlawan
berhasil membumi hanguskan orang-orang PKI dengan cara yang juga sama
sadisnya.<br /><br />Berbagai teori konspirasi muncul, mulai dari PKI
hanyalah alat Soeharto untuk menumbangkan rezim Soekarno, hingga
Soekarno lah PKI yang sesungguhnya. Apapun itu, tak lagi penting, baik
orang PKI, nasionalis, anti-PKI, anti-nasionalis, bahkan apatis,
semuanya adalah manusia. Dengan menyoraki kekalahan PKI berpuluh tahun
lalu sambil mengenang jasa "pahlawan" yang dengan biadabnya saling
bantai satu sama lain, lalu apa bedanya antara pahlawan dan penjajah?<br /><br />Penyebutan
"pahlawan" dan "penjajah" hanyalah soal sudut pandang. Penjajah bagi
kita adalah pahlawan bagi mereka, dan pahlawan bagi kita adalah penjajah
bagi mereka. Aku ingat sebuah riwayat sumpah: Sira Gajahmada lamun
huwus kalah Nuswantara, ingsun amukti Palapa. Gajahmada, yang namanya
seringkali dipuji orang Indonesia, bahkan dijadikan nama Universitas,
dia mungkin pahlawan bagi orang sini, tapi penjajah bagi orang sana yang
ia kuasai.<br /><br />Sayang, guru-guru sejak SD sudah memasang kacamata
kuda di mata anak-anaknya sehingga tak bisa melihat sudut lain dalam
sejarah. PKI, bagaimanapun adalah tindakan paling berani di Indonesia
yang mencoba merealisasikan gagasan Marx, kelompok yang mengutuk
ketimpangan dan dan ketidakmerataan sumber daya. Tentu saja ideologi
dasarnya dimaksudkan untuk kebaikan rakyat.<br /><br />Apakah dunia sudah terjungkir?<br />Aku
melihat kiri dan komunis berangkat dari Ide belas kasih, baru
merealisasikannya. Sementara liberalisme dan berbagai peranakannya
merealisasikan dulu, baru mengidealkan realitasnya. Ibaratnya, kadang
liberalisme dengan slogan kebebasan bagi individu adalah sebuah
justifikasi moral untuk terus menerus melakukan monopoli dan pengerukan
sumber daya alam dengan dalih "hak individu untuk berjuang".<br /><br />Bisa
jadi inilah bentuk bucailisme yang paling agung, menilapkan kesadaran
manusia hingga tak bisa membedakan mana rayuan, mana kesungguhan. <br /><br />Bucailisme
adalah konsep pencocok-cocokan demi mendapat pembenaran (bukan
kebenaran). Jika di ranah agama ada Harun Yahya yang kerap dibully
sebagai icon bucailism, maka boleh saja kan kalau dalam ranah ekonomi,
Bakrie cs, Hary Tanoe, dan konglomerat pengusung konsep "kebebasan
individu" ditempatkan sebagai icon bucailisme politik?</div>
Zakiah Fitrihttp://www.blogger.com/profile/03664271286630168563noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3518176273310729578.post-10525714542866802902016-07-25T21:01:00.002-07:002016-07-25T21:01:19.092-07:00Incest<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<i><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEikrG-7NBpXFpbY6vch0E-9u0BSKhyphenhyphenIrR7h7LTVFSdiyI2IdpwCZerK432U6pCat_RhgDUB2nNxU2CyUJVLDyz7fcosAelwgscnrtgNS94cP6PcHc9jc9p-aoNY_2wXo14Wetf6HOSdlsk/s1600/Incest-001-250x397.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEikrG-7NBpXFpbY6vch0E-9u0BSKhyphenhyphenIrR7h7LTVFSdiyI2IdpwCZerK432U6pCat_RhgDUB2nNxU2CyUJVLDyz7fcosAelwgscnrtgNS94cP6PcHc9jc9p-aoNY_2wXo14Wetf6HOSdlsk/s320/Incest-001-250x397.jpg" width="200" /></a></i></div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
<i>"Ini adalah hukum kuno yang maha berat, warisan lama ketika desa-desa di
Bali terisolasi satu sama lain"</i> (sebuah kutipan pada paragraf-paragraf
pembuka oleh I Wayan Artika)</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />Pertama kali membaca judul novel
ini, yang terlintas di kepalaku adalah hubungan percintaan antara
ayah-anak atau ibu-anak, atau hubungan saudara sedarah yang disadari
sejak awal namun tetap diperjuangkan. Aku tertarik membacanya karena
berharap bisa memahami bagaimana dunia pemikiran dan perasaan
subjek-subjek yang terlibat di dalamnya.<br /><br />Namun, ketika ku baca
sedikit sinopsis pada halaman-halaman pertama. Ternyata dugaanku salah
besar. Novel yang ditulis oleh I wayan Artika ini memang menceritakan hubungan cinta saudara sedarah yang
terjalin antara Gek Bulan Armani dan Putu Geo Antara, mereka anak-anak
yang lahir dari masyarakat berdarah Bali, dan mereka adalah sepasang
kembar buncing. Tapi, incest yang terjadi bukanlah hal yang mereka
sadari sejak awal. Konstruk kultural lah yang memiliki peran besar
terkait kejadian tersebut.<br /><br />Kembar buncing adalah sepasang bayi
kembar yang jenis kelaminnya berlainan, Gek Bulan sebagai bayi
perempuan, dan Putu Geo sebagai bayi laki-laki. Bagi masyarakat
Jelungkap (latar tempat desa dalam novel) kembar buncing adalah suatu
aib dan kesalahan yang memalukan dan orangtua kandungnya (Nyoman Sika
dan Ketut Artini sebagai orang tua bulan dan geo) harus melakukan
upacara pengasingan selama 40 hari di dekat kuburan, disusul dengan
ritual-ritual lainnya. Kemudian kembar buncing harus dipisahkan, agar
keduanya tidak saling kenal sehingga kelak ketika dewasa keduanya bisa
dinikahkan.<br /><br />Orang-orang Jelungkap percaya bahwa kembar buncing
adalah sepasang kekasih bahkan sejak masih berada dalam kandungan,
sehingga bagaimanapun keduanya harus disatukan kembali dalam sebuah
ikatan perkawinan. Bulan dirawat oleh orang tua kandungnya, sedangkan
Geo dirawat oleh teman ayahnya. Namun ketika dewasa, setelah menempuh
pendidikan tinggi di Jawa Tengah keduanya bertemu dan saling jatuh
cinta. Orang Jelungkap tetap tutup mulut dengan hal tersebut hingga
rahasia tersebut terbongkar. Sebagian orang yang tidak percaya pada
tradisi tersebut berusaha mencegah hubungan Bulan dan Geo, namun
keduanya terlanjur jatuh cinta.<br /><br />Novel ini pada awalnya
memenangkan lomba cerita bersambung di koran Bali post. Tak lama
kemudian cerita bersambung yang dimuat koran ini membuat I Wayan Artika
diasingkan dari kampungnya dan dilarang kembali selama bertahun-tahun.
Ia diinterogasi oleh tetua adat karena dianggap telah mencemarkan nama
Jelungkap (nama Jelungkap ini pun sebenarnya adalah nama samaran dari
Desa aslinya, penulis pada penerbitan novel ini mengganti nama tersebut
karena sadar akan sensitifitas orang-orang di desa X tersebut. Ya, jadi
ingat Achdiat K Mihardja yang pernah mengalami peristiwa serupa.<br /><br />I
Wayan Artika mengaku menuliskan novel ini dengan metode etnografi.
Sehingga kesalahpahaman yang terjadi, yakni masyarakat adat Jelungkap
menempatkan karya ini sebagai fakta, bukan sebagai karya sastra. Di
sinilah titik kesalah pahaman tersebut meski sudah diluruskan,
penulisnya tetap diusir dari kampung.<br /><br />Novel ini menurutku cukup
bagus untuk menggambarkan masyarakat adat Bali (bagi yang berminat
mempelajari Bali). Sedangkan bagi orang sepertiku yang buta dengan adat
Bali, novel ini pun cukup mudah dipahami. Meski dalam beberapa titik
kemudian akan muncul kebosanan-kebosanan karena banyak dialog yang
terlalu bertele-tele, sehingga beberapa kali membuatku melompati
halaman-halaman yang seperti itu.</div>
Zakiah Fitrihttp://www.blogger.com/profile/03664271286630168563noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3518176273310729578.post-28861692416877582352016-07-25T20:55:00.002-07:002016-08-05T00:30:27.504-07:00Meruntuhkan Benteng Ateisme Modern<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Judul: Meruntuhkan Benteng Ateisme Modern<br />
Penulis: B.E Matindas<br />
Penerbit: ANDI<br />
Tebal: 240 halaman</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiNqPmTa176_jxcKBUEmf9cFjwBs-nN8wyRTWhUtH6ExDYIA6wGgIWRsoXvXjDRM2LI-7hz8K7_egB1qldbnAkYSE4qd-wRv6Ha6Gz3a15VBh9X58G6xbhhMjaJGdjraMidB-TZB-om5ss/s1600/200189254_xl.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiNqPmTa176_jxcKBUEmf9cFjwBs-nN8wyRTWhUtH6ExDYIA6wGgIWRsoXvXjDRM2LI-7hz8K7_egB1qldbnAkYSE4qd-wRv6Ha6Gz3a15VBh9X58G6xbhhMjaJGdjraMidB-TZB-om5ss/s320/200189254_xl.jpg" width="200" /></a>Ini adalah buku yang baru saja selesai saya baca beberapa detik yang lalu. Isinya adalah penjelasan tentang ateisme dari para tokoh seperti
Hume, Kant, Nietzsche, E.B Taylor, Frazer, Wittgenstein, dan tentu saja
Marx, Comte, Feuerbach, dan tidak ketinggalan juga ada pembahasan
ateisme Sartre.<br />
<br />
Dari judul bukunya saja terlihat jelas ada
tendensi tertentu. Yap, ini adalah buku kritik terhadap ateisme. Awalnya
saya cukup antusias untuk membacanya, barangkali dalam buku ini bisa
saya temui polemik baru tentang ateisme, atau barangkali saya bisa lebih
dalam memahami persepsi orang beragama terhadap ateisme, dan tentu saja
dengan kacamata "tulisan serius" bukan sekedar ledakan emosional
seperti teis yang banyak saya temui di jejaring-jejaring sosial.<br />
<br />
Di
lembar-lembar awal, penulis mencoba memetakan berbagai jenis ateisme
dan urgensinya dalam penulisan buku ini. Kemudian selanjutnya Matindas
(sebagai penulis) langsung masuk ke dalam pemikiran tokoh-tokoh ateis,
menjabarkan pemikiran tokohnya secara umum, kemudian menjelaskan dimana
letak filsafat ateismenya, dan di bagian belakang langsung diberi
kritikan pada sertiap tokoh. Tak lupa dicantumkan pula foto-foto tokoh
ateis tersebut di akhir setiap bab, satu bab pembahasan berisi satu
tokoh beserta kritik Matindas terhadapnya.<br />
<br />
Buku ini jelas ditulis
dalam rangka apologetika iman Kristen, ya saya paham itu, buku ini
semacam "upaya membentengi umat kristen dari hantaman ateisme jaman
ini". Mungkin bagi orang-orang kristen buku ini benar-benar memberikan
pencerahan, betapa ateisme adalah pemikiran yang bisa dihalau, karena
bagaimanapun, sekuat dan se-intelektual, se-logis apapun penjelasannya
bisa dikritik oleh Matindas selaku agamawan.<br />
<br />
Tapi ketika saya
tempatkan diri sebagai seorang muslim, buku ini non sense, hanya terbaca
seperti kotbah ajaran umat kristen yang tidak ingin saya campur-urusi.
Begitu pula ketika saya coba menempatkan diri sebagai agnostik, sangat
terbaca adanya keberpihakan pada agama kristen yang nampak dari
penyudutan karakter pemikiran tokoh-tokoh ateis yang menurut saya tidak
perlu di lakukan.<br />
<br />
Argumen-argumen kritik pun terkesan sangat
tergesa-gesa. Bagaimana bisa sederet filsuf yang menulis begitu banyak
buku, lantas hanya dikritik dengan beberapa lembar halaman saja?.
Rasanya tidak cukup memadai. Namun bagi yang ingin belajar singkat
tentang ateisme dari beberapa tokoh ini dengan bahasa yang ringan, saya
rasa buku ini perlu untuk dibaca.<br />
<br />
Dan satu lagi, saya agak heran
kenapa pemikir sekaliber Darwin tidak dicantumkan di buku ini?. Yuri
Gagarin dan sederet fisikawan ateis tak pernah dibahas, begitu pula
Stephen Hawking juga tidak disentuh sedikitpun. Padahal pengaruhnya
sangat besar bagi filsafat ateis kekinian dan perkembangannya jika
dibandingkan dengan misalnya Wittgenstein yang ajarannya tidak terlalu
mendarah daging pada konsep ateisme kebanyakan.</div>
Zakiah Fitrihttp://www.blogger.com/profile/03664271286630168563noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3518176273310729578.post-40712084474424991802016-07-24T20:43:00.001-07:002016-07-25T20:49:55.029-07:00Agama Marxis<div style="text-align: justify;">
<!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:View>Normal</w:View>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:TrackMoves/>
<w:TrackFormatting/>
<w:PunctuationKerning/>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:DoNotPromoteQF/>
<w:LidThemeOther>EN-US</w:LidThemeOther>
<w:LidThemeAsian>X-NONE</w:LidThemeAsian>
<w:LidThemeComplexScript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:SnapToGridInCell/>
<w:WrapTextWithPunct/>
<w:UseAsianBreakRules/>
<w:DontGrowAutofit/>
<w:SplitPgBreakAndParaMark/>
<w:DontVertAlignCellWithSp/>
<w:DontBreakConstrainedForcedTables/>
<w:DontVertAlignInTxbx/>
<w:Word11KerningPairs/>
<w:CachedColBalance/>
</w:Compatibility>
<w:BrowserLevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel>
<m:mathPr>
<m:mathFont m:val="Cambria Math"/>
<m:brkBin m:val="before"/>
<m:brkBinSub m:val="--"/>
<m:smallFrac m:val="off"/>
<m:dispDef/>
<m:lMargin m:val="0"/>
<m:rMargin m:val="0"/>
<m:defJc m:val="centerGroup"/>
<m:wrapIndent m:val="1440"/>
<m:intLim m:val="subSup"/>
<m:naryLim m:val="undOvr"/>
</m:mathPr></w:WordDocument>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="true"
DefSemiHidden="true" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="267">
<w:LsdException Locked="false" Priority="0" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Normal"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="heading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="35" QFormat="true" Name="caption"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="10" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" Name="Default Paragraph Font"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="11" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtitle"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="22" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Strong"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="20" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="59" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Table Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Placeholder Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="No Spacing"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Revision"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="34" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="List Paragraph"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="29" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="30" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="19" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="21" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="31" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="32" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="33" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Book Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="37" Name="Bibliography"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" QFormat="true" Name="TOC Heading"/>
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin:0cm;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";}
</style>
<![endif]-->
</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN">Pertama kali melihat buku yang ditulis Omar Hashem ini, aku pikir
isinya bakalan ngomongin soal ateisme ala Marx, turunannya, dan sejarahnya di
masa lalu serta nyrempet-nyrempet ke arah ideologi utopis yang diimpikan marx.
Namun membaca lembar-demi lembar, isinya tidak demikian. Banyak tulisan tentang
kekristenan, memang sejarah ateisme dipaparkan dalam beberapa titik, namun
kerangka tulisannya banyak menyentuh aspek historis ateis dalam bingkai
masyarakat kristen. Bahkan sejarah singkat injil/bibel , aliran-alirannya diurai
cukup padat, ringkas namun cukup memberi gambaran ateisme dari kerangka
kekristenan. Ya, mungkin memang perlu dijelaskan, karena apa yang selalu
disebut orang sebagai “dedengkot ateis” kurang lebih sebagian besar tidak bisa
dilepaskan dari aspek kultural-historis dinamika masyarakat eropa.</span></div>
<div>
</div>
<div style="text-align: center;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br />
<span lang="IN">Bagi orang sepertiku, yang sama sekali awam
dengan kekristenan, aliran-aliran dan sekte di dalamnya, apa lagi aspek
historisnya, tentu saja ini adalah pengetahuan baru. Namun saya sarankan
setidaknya sebelum membaca buku ini, milikilah sedikit saja wawasan tentang
kekristenan, itu akan cukup membantu mempercepat tempo membaca.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi2IQ05H8O5t6gjavBkTCjVirCcJeIn8w7koEZW1MR2FN9sfnEdIc3Ck3kuwpdD1EkYDFMZQ9xQnfZj3E66lA1QuK3UMcZyz8zBHAIM5N7EHBA7C7f9GgeczB_N75KkNN4jROX_BE5zziY/s1600/index.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi2IQ05H8O5t6gjavBkTCjVirCcJeIn8w7koEZW1MR2FN9sfnEdIc3Ck3kuwpdD1EkYDFMZQ9xQnfZj3E66lA1QuK3UMcZyz8zBHAIM5N7EHBA7C7f9GgeczB_N75KkNN4jROX_BE5zziY/s1600/index.jpg" style="cursor: move;" /></a></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN">Kalau secara subjektif dan jujur, bagian buku
ini menurutku menarik pada bagian awal dan akhir saja. Bagian tengahnya agak
cukup membosankan (mungkin karena berbeda dari ekspektasiku ketika membaca
judulnya). Tapi syukurlah, penulisnya menyelipkan kata-kata kutipan dari tokoh
terkenal yang memang membuat kantuk mata mendapatkan antitesisnya (walah!). Di
bagian akhir ada epilog dari Nurcholis Madjid, berisi beberapa penjelasan
mengenai kategori ateisme dan juga opininya tentang bagaimana seorang muslim
sebaiknya menyikapi ateisme. Tetap ada subjektivitas Nurcholis disana, tidak
masalah, ini epilognya.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN">Ya, akhir kata, buku ini adalah buku yang lumayan
serius, dengan bahasa Indonesia yang relatif tidak sulit untuk dipahami dan
bisa dijadikan teman santai ketika sore hari, namun jangan terlalu berharap
banyak dari judulnya.</span></div>
Zakiah Fitrihttp://www.blogger.com/profile/03664271286630168563noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3518176273310729578.post-43126555244319628702015-06-15T04:20:00.000-07:002016-07-25T21:04:34.656-07:00Mari Hancurkan Lingkungan dengan Megengan dan Selamatan!<div style="text-align: justify;">
<i>Sedih adalah ketika kau membuang-buang makanan sementara orang lain sangat membutuhkannya" (sebuah suara dalam hatiku, di sebuah sore, meja makan yang penuh dengan makanan)</i></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ada sebuah tradisi di tempat asalku, di desa, tradisi itu bernama "megengan". Orang-orang islam yang ada akan memberikan makanan kepada tetangga-tetangga dan kerabat. Nasi, lengkap dengan lauk pauknya, dan yang tentu tak ketinggalan adalah apem, pisang, dan beberapa kue lainnya. Ketika ku tanyakan pada ibuku " Sebenarnya apa fungsi megengan?". Beliau menjawab "Untuk menyambut kedatangan bulan suci ramadhan, menunjukkan bahwa kita begembira karena kedatangan bulan ini".</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kau tau, jika masing-masing orang di desa saling memberikan makanan kepada tiap rumah tetangganya, berapa jumlah makanan yang terkumpul dalam satu rumah? Katakanlah, satu orang rata-rata biasanya akan memberikan makanan pada 15 orang (rumah tangga). Jika ke 15 nya melakukan megengan, maka akan ada 15 makanan dari orang berbeda yg terkumpul. Sementara itu, dalam rumah misal hanya ada 4 orang saja. Kemana makanan ini akan bermuara? Pada hari-hari seperti ini tidak akan ada orang kelaparan. Justru makanan berlimpah ruah tak ada yang memakannya. Dan akhirnya terbuang!</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hal yang sama juga terjadi ketika aku tak lagi tinggal di desa. Sebuah wilayah perumahan dengan pembangunan infrastuktur besar-besaran yang orang-orangnya melakukan megengan tidak dengan kadar yang se ekstrim orang-orang desaku. Namun menghabiskan sumber daya yang lebih besar, dan tentu saja sampah.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Di desa, orang akan dicibir atau kurang mendapat penghormatan normalitas jika tak melakukan megengan, namun di tempat tinggalku menggelar megengan atau tidak itu biasa saja, karena tempat ini multikultural, dengan ragam agama dan kesukuan. Tapi seperti yang ku bilang, sumber daya yang dibuang bisa jadi lebih besar di tempat ini. Orang-orang perumahan akan memberikan hantaran makanan terbaiknya, ayam bakar yang ukurannya selalu besar, dan mereka selalu memakai kardus dan mika yang paling bagus, benar-benar pemborosan. Namun hal yang masih agak bagus di lingkungan ini adalah:megengan tak dilakukan berbarengan dalam satu hari sehingga potensi terbuangnya makanan karena tak ada yang memakan jadi lebih kecil dari pada di desa.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ada sisi positif yang lebih banyak di kota, tentang megengan. Setidaknya aku bisa berharap bahwa tradisi ini lambat laun akan disadari oleh masyaakat sebagai tradisi pemborosan. Namun baik desa maupun kota, satu hal yang aku tangkap adalah: megengan adalah tradisi kultural-religi yang tidak ramah lingkungan. Sekarang mari kita melakukan kalkulasi. Ini adalah makanan yang biasa dihantarkan di sekitar rumahku saat ini.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ayam (Rp 7000)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Nasi (2000)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Telur matang (1000)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Capjay (2000)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Mi (1500)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kardus (600)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kue (6000)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Itu adalah yang paling standar, katakanlah setiap rumah tangga akan mengeluarkan biaya Rp 20.000 untuk 15 rumah tangga lain, maka Rp. 20.000 x 15 =300.000, tiga ratus ribu untuk sekali megengan per rumah tangga, jika ada 15 rumah tangga melakukan megengan maka 300.000 x 15 = 4.500.000. Setidaknya sejumlah Rp 4.500.000 per kampung, padahal di banyak daerah dan kebiasaan serta pola-pola yang tersisa, Wagir misalnya (wilayah Malang Kabupaten), dan sebagian wilayah Batu, megengan tidak hanya dihantarkan pada orang sekampung, tapi juga pada saudara-saudara dan kerabat-kerabat di wilayah lain yang juga sama-sama menggelar megengan. Dan yang selalu kutekankan, makanan itu selalu ada yang tak termakan lalu esoknya dibuang begitu saja, tidakkah ajaran agama jarang memerintah orang megengan, namun selalu memerintah orang menjauhkan diri dari yang mubadzir?</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku selalu menemuinya, hampir di setiap budaya selamatan. Megengan, maleman, maulid nabi, besaran, dimana banyak potongan ayam goreng/bakar/rendang yang terkumpul, tak ada mulut yang bisa memakan karena saking bosannya, dan akhirnya dibuang!</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Yang pertama kali ku pikirkan adalah masalah pemborosan energi, yang kedua adalah kerusakan lingkungan, dimana petrernakan aktif meningkatkan produksinya karena ada tradisi megengan dan sejenisnya dan orang-orang tak akan meluputkan ayam dan daging-daging dari hantarannya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Yang ketiga adalah soal moralitas, ayam-ayam yang lahir, hidup, kemudian mati, mereka merasakan sakit hanya untuk kemudian dibuang (tanpa dimakan oleh manusia). Mereka merasakan sakit yang tak ada gunanya. Gampangnya, percuma merasakan sakit tetapi manusia tak memakannya. Bukankah itu penganiayaan?</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hal yang sama juga terjadi pada apem, jumlahnya banyak, dan kmudian berakhir di kranjang sampah. Petani sudah bekerja keras untuk menanam beras sebagai bahan baku apem, demikian pula buruh-buruh pabrik sudah bercucuran keringat untuk mengolah beras menjadi tepung beras, belum lagi petani tebu, buruh pabrik gula, buruh pabrik tepung terigu, buruh vanili, buruh pemanjat pohon kelapa yang menyediakan bahan-bahan untuk pembuatan apem, belum lagi tenaga yang dipakai untuk membuat apem, kompor dan LPG nya ini baru apem, belum kue yang lain. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Bisa dipahami, apem ortodox memang sudah sangat membosankan, seharusnya apem tampil dengan wajah kekinian agar lebih cocok dengan lidah dan selera anak muda (maksudku biar apem tak hanya menjadi sasaran orang tua atau anak muda yang iseng memakannya). Namun kalaupun tak bisa, sebaiknya memang apem ditiadakan saja daripada membuang-buang sumber daya. Daripada memaksakan apem selalu hadir, maka lebih baik bunuh saja apem dari tradisi selamatan!</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Namun ini bukan berarti melenyapkan apem dari dunia dan berjanji tak akan menciptakannya lagi, yang ku amati justru apem menjadi membosankan karena massifikasinya di setiap acara-acara selamatan sebagai syarat memenuhi tradisi, seharusnya ketika apem itu bukan suatu hal yang massif dan terlihat sangat banyak, sejujurnya ia adalah makanan yang cocok di lidah banyak anak muda (warung serabi dan apem dalam berbagai rasa dan kombinasi, ya, Homi Bhaba menyebutnya hibriditas, dan Edward Said pernah menyebutnya sebagai mimikri kuliner) Maka aku harap apem yang sering terbuang bisa diarahkan untuk menempuh jalan seperti apa yang dialami oleh nagasari atau bugis yang ber-evolusi (dievolusikan) menjadi kue tog.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
Zakiah Fitrihttp://www.blogger.com/profile/03664271286630168563noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3518176273310729578.post-1339680401570352422015-03-07T21:28:00.000-08:002015-03-08T23:06:57.386-07:00Hari Perempuan yang Tidak Penting<div style="text-align: justify;">
Hari perempuan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sebenarnya untuk apa? Untuk mengingat bahwa di dunia ini selain ada laki laki juga ada makhluk lain bernama perempuan? Sebagai perempuan, aku tidak terlalu mengerti apa fungsi di tetapkannya hari ini sebagai hari perempuan. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hari perempuan sudah jelas, lalu kenapa tak ada hari laki laki? Inilah yang aku maksud, sudah terlalu bayak wacana mengenai emansipasi perempuan, kesetaraan gender, peran perempuan dan segala hal yang kini menjadi semacam moralitas baru bahwa peradaban yang baik adalah peradaban yang mengikut sertakan peran perempuan di dalam kehidupan publik.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tapi sayang sekali, di dalam sambutan hangat dunia untuk merayakan hari perempuan, justru disanalah aku menemukan semacam badutisme yang sejenis dengan kalimat "ladies first". Apa fungsi ucapan " ladies first" aku rasa sama saja dengan fungsi "selamat hari perempuan". Tak lain seperti menempatkan perempuan sebagai anak kecil yang merengek meminta main ayunan, dan laki-laki nampak sebagai orang dewasa yang mengalah dan menuruti kemauan anak kecil karena takut jika anak kecil (perempuan) yang lemah itu nantinya akan menangis. Singkirkan pembelaan pada perempuan, hanya karena manusia itu perempuan!</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Begini, utopia tentang kesetaraan gender itu bagus, bahkan memang harus. Tapi kesetaraan macam itu tidak akan pernah dicapai dengan cara mengemis, ini memang generalisasi. Para feminis hampir selalu menuntut kesetaraan, tapi dengan kualifikasi berbeda yang dengan cepat saja bisa ditertawakan oleh tukang bangunan dan sopir angkot. Perjuangan kesetaraan ini sama sekali tidak perlu, dan tidak terlalu penting karena seolah perempuan adalah benda rapuh dan murah yang harus dilindungi dan diberdayakan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pemberdayaan itu sama sekali tak perlu, jika memang perempuan itu berdaya. Survival of the fittest akan menentukan sendiri, siapa yang bertahan. Tapi bisa ku balik juga, bahwa perjuangan kesetaraan gender yang nampak menyebalkan di mataku itu juga sebentuk survival of the fittest? Ternyata spesies manusia jenis perempuan beradaptasi dan mempertahankan diri dengan memakai wacana kesetaraan gender? Hebat juga mereka, sudah tak main fisik seperti manusia laki laki yang sejak dulu banyak nampak barbar, tapi perempuan cukup lihai melakukan pertahanan dalam bahasa verbal yang empatik. Kalau benar begitu, berarti perempua pejuang kesetaraan gender yang ramai itu memang sangat hebat, licik, dan tentu saja cerdik.</div>
Zakiah Fitrihttp://www.blogger.com/profile/03664271286630168563noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3518176273310729578.post-71706055249432499332015-02-20T01:53:00.000-08:002016-08-05T00:47:33.796-07:00Waspada Bahaya Kosmetik<div style="text-align: justify;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhC2t22-z86-PcoNCY4rXApdU3VFCD8BADOLtPvrq4D1l84XyPMtK4NjXcoGU9j8__kdY30-Sl_s5sI9Sz9Q6AH5Tp1JnaMEIIVYT6Nk0FU520muzqf8Tnky2W44D_gMwt0-RdsvGOZcPM/s1600/cosmetics-handpainted-vector-49017.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhC2t22-z86-PcoNCY4rXApdU3VFCD8BADOLtPvrq4D1l84XyPMtK4NjXcoGU9j8__kdY30-Sl_s5sI9Sz9Q6AH5Tp1JnaMEIIVYT6Nk0FU520muzqf8Tnky2W44D_gMwt0-RdsvGOZcPM/s320/cosmetics-handpainted-vector-49017.jpg" width="320" /></a></div>
Hari ini kosmetik adalah industri yang cukup mendapat tempat di masyarakat, terutama perempuan. Banyak orang bergantung pada kosmetik demi merasa terlihat lebih cantik dan untuk menutupi apa yang mereka sebut sebagai "kekurangan". Pada beberapa kasus pengeluaran kosmetik bisa lebih besar dari pengeluaran untuk makan. Beberapa brand kosmetik pada klinik kecantikan menjual body lotion kemasan 200ml seharga 1 juta rupiah, belum pelembab muka, conclear, krim malam, masker rutin, lulur scrub, lipbalm/lipgloss/lipstik, itu perawatan yang biasa disebut dasar di klinik, kalau mau nambah kosmetik macam eyeliner, mascara, eyeshadow, dan suntik berkala, harus merogoh kocek lebih dalam lagi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Di pasaran pun beredar merk ekonomis yang dapat dijangkau oleh rakyat banyak, seperti p*nds, sariay*, ward*h dan lain lain. Mungkin banyak kalian yang beranggapan kosmetik murah di pasaran dengan bintang iklan maudy ayunda atau bunga citra lestari adalah brand besar yang sudah pasti aman digunakan. Saya tebak, setidaknya kalian pasti menyimpan beberapa merk kosmetik di meja rias. Entah body lotion, pelembab, atau sekedar bedak.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Yang sering dikhawatirkan perempuan saat ini hanya merkuri dan hidrokuinon, 2 jenis bahan pemutih wajah yang dianggap berbahaya. Dan memang cuma 2 jenis pemutih berbahaya ini yang sering dipopulerkan Beauty Advisor dan media media seperti trans *, dan praktis kemudian digunakan sebagai ajang promosi kosmetik untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat, labelnya ditulisi "tanpa merkuri, tanpa hidroquinon".</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Namun sekali lagi, bukan hanya 2 zat itu yang perlu diwaspadai, pada masanya dulu, hidroquinon diperbolehkan untuk kosmetik dalam takaran yg dibatasi, tp sekarang sudah dilarang kecuali untuk obat, dan tidak boleh di pakai jangka panjang. Pada masanya beberapa tahun yang lalu, penggunaan AHA juga diperbolehkan dan dianggap aman, bahkan brand terkenal pernah mengiklankan dengan bangga di televisi bahwa produknya tidak mengandung merkuri dan hidroquinon namun mengandung AHA yang bagus untuk kulit. Namun setelah wacana tentang bahaya AHA banyak beredar, iklan itupun lenyap begitu saja.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Saya bukan anak jurusan farmasi, juga bukan dokter kulit. Tapi dari pengamatan sederhana yang saya lakukan dengan berjalan-jalan di supermarket, obrolan sederhana, deep browsing sederhana, serta mengamati meja rias perempuan di sekitar saya, saya berkesimpulan bahwa tak banyak dari konsumen kosmetik yang mengerti sebenarnya benda apa yang mereka tempelkan pada wajah dan tubuh mereka setiap harinya?</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sebelum memakainya, sebaiknya baca komposisinya. Ada banyak kata asing yang akan kalian temukan di komposisi, seperti berikut, dan tak kalah berbahayanya:</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
*Sodium Lauryl Sulfate (SLS) and Ammonium Lauryl Sulfate (ALS).</div>
<div style="text-align: justify;">
Zat ini sering dikatakan berasal dari sari buah kelapa untuk menutupi racun alami yang terdapat di dalamnya. Zat ini sering digunakan untuk campuran shampoo, pasta gigi, sabun wajah, pembersih badan dan sabun mandi. SLS dan ALS dapat menyebabkan iritasi kulit yang hebat dan kedua zat ini dapat dengan mudah diserap ke dalam tubuh. Setelah terserap, endapan zat ini akan terdapat pada otak, jantung, paru paru dan hati yang akan menjadi masalah kesehatan jangka panjang. SLS dan ALS juga berpotensi menyebabkan katarak dan menganggu kesehatan mata pada anak anak.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
*Bahan Pengawet Paraben</div>
<div style="text-align: justify;">
Paraben digunakan terutama pada kosmetik, deodoran, dan beberapa produk perawatan kulit lainnya. Zat ini dapat menyebabkan kemerahan dan reaksi alergi pada kulit. Penelitian terakhir di Inggris menyebutkan bahwa ada hubungan antara penggunaan paraben dengan peningkatan kejadian kanker payudara pada perempuan. Disebutkan pula terdapat konsentrasi paraben yang sangat tinggi pada 90% kasus kanker payudara yang diteliti.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
*Propylene Glycol</div>
<div style="text-align: justify;">
Ditemukan pada beberapa produk kecantikan, kosmetik dan pembersih wajah. Zat ini dapat menyebabkan kemerahan pada kulit dan dermatitis kontak. Studi terakhir juga menunjukan bahwa zat ini dapat merusak ginjal dan hati.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
*Isopropyl Alcohol </div>
<div style="text-align: justify;">
Alkohol digunakan sebagai pelarut pada beberapa produk perawatan kulit. Zat ini dapat menyebabkan iritasi kulit dan merusak lapisan asam kulit sehingga bakteri dapat tumbuh dengan subur. Disamping itu, alkohol juga dapat menyebabkan penuaan dini.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
*DEA (Diethanolamine), TEA (Triethanolamine) and MEA (Monoethanolamine)</div>
<div style="text-align: justify;">
Bahan ini jamak ditemukan pada kosmetik dan produk perawatan kulit. Bahan bahan berbahaya ini dapat menyebabkan reaksi alergi dan penggunaan jangka panjang diduga dapat meningkatkan resiko terjadinya kanker ginjal dan hati.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
*Aluminium</div>
<div style="text-align: justify;">
Aluminium sering digunakan pada produk penghilang bau badan. Aluminium diduga berhubungan dengan penyakit pikun atau Alzheimer’s.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
*Minyak Mineral</div>
<div style="text-align: justify;">
Minyak mineral dibuat dari turunan minyak bumi dan sering digunakan sebagai bahan dasar membuat krim tubuh dan kosmetik. Baby oil dibuat dengan 100% minyak mineral. Minyak ini akan melapisi kulit seperti mantel sehingga pengeluaran toksin dari kulit menjadi terganggu. Hal ini akan menyebabkan terjadinya jerawat dan keluhan kulit lainnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
*Polyethylene Glycol (PEG)</div>
<div style="text-align: justify;">
Bahan ini digunakan untuk mengentalkan produk kosmetik. PEG akan menganggu kelembaban alami kulit sehingga menyebabkan terjadinya penuaan dini dan kulit menjadi rentan terhadap bakteri.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Bukan apa-apa saya menulis ini, namun saya pernah mengalami hal sangat buruk dengan triethanolamine dan hidrokuinon dan saya berharap jumlah perempuan yang mejadi korban bisa berkurang seiring kegemaran untuk mengetahui terlebih dahulu benda apa yang mereka aplikasikan pada kulit dan tubuh. Yang saya sebut diatas hanya beberapa saja, masih banyak bahan bahan lain yang sebenarnya memiliki efek buruk seperti oxybenzone, paraben dan retinoic acid. Kalau masih penasaran coba lakukan deep browsing satu persatu mengenai bahan yg tertulis dalam komposisi kosmetik. Misal kalian menemukan kata 'triethanolamine' dalam komposisi kosmetik kalian, maka ketikkan keyword "efek samping triethanolamin pada kulit". Dan apakah kalian yakin masih akan menggunakan produk-produk tersebut? Jika masih, tak mengapa karena setidaknya sudah tahu efek sampingnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
Zakiah Fitrihttp://www.blogger.com/profile/03664271286630168563noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3518176273310729578.post-3224678548511703902014-09-29T01:00:00.000-07:002014-10-12T01:11:41.130-07:00Fordisme-Post Fordisme<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> Fordisme
adalah sebuah model produksi dalam industri kapitalisme yang mencapai kejayaan
sekitar tahun 1950-1960, sistem ini pertama kali dipraktekkan oleh Henry Ford,
seorang industrialis yang memproduksi mobil bermerk Ford. Henry Ford sendiri
sebenarnya mengadopsi gagasan Friedrich Taylor mengenai metode manajemen buruh
berdasarkan studi Ilmiah yang ia lakukan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> Mekanisme
yang terdapat dalam fordisme adalah melakukan produksi massal berdasarkan
teknik lini perakitan. Bagian-bagian barang yang akan dikomoditikan diproduksi
secara terpisah dengan menggunakan pembagian kerja yang mengedepankan rutinitas
produksi pada masing-masing bagian yang diproduksi. Jadi, buruh dalam pabrik
dipecah-pecah menjadi banyak bagian dan mereka hanya mengerjakan bagian yang
sama setiap harinya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> Sebagai
contoh: sebagian buruh hanya akan memproduksi setir mobil setiap harinya,
sementara buruh lain dalam pabrik tersebut akan memproduksi kursi mobil,
sedangkan buruh lain akan memproduksi ban mobil, dan seterusnya, hingga semua
bagian mobil yang akan dirakit dan dikomoditikan menjadi komplit. Dengan cara
ini, fordisme menjadi cara yang ampuh untuk menekan biaya produksi (meskipun
para pemilik modal juga menaikkan upah para pekerja, tapi hal ini sebenarnya
adalah untuk mengingkatkan produktivitas barang itu sendiri), fordisme waktu itu juga
memberikan efisiensi, penghematan waktu, sekaligus dapat memenuhi permintaan
pasar dengan lebih cepat.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> Akibat
adanya fordisme, barang produksi massal yang dipasarkan menjadi monopoli
perusahaan tertentu, sehingga terjadi homogenisasi konsumsi masyarakat. Arena
pasar yang berlaku waktu itu didominasi oleh penawaran. Lambat laun sekitar
tahun 19701an fordisme pun runtuh, karena pasar jenuh dengan homogenisasi
produk dan pasar yang berorientasi penawaran, atas dasar inilah kemudian muncul
post fordisme. Hizkia dkk dalam jurnalnya menyebut peralihan dari Fordisme ke
post fordisme adalah sebuah mutasi. Hal ini dapat dipahami sebagai upaya
kapitalisme untuk merubah sebagian dari dirinya, agar kapitalisme dapat terus
bertahan hidup dengan wajah yang baru, yang lebih ramah dan tentu lebih pandai
merayu konsumen.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> Kapitalisme
seringkali menjadi musuh dan target yang ingin ditumbangkan oleh banyak orang,
segelintir orang sebagai pemilik modal dalam sejarah selalu dihadapkan pada
pergerakan, perlawanan atau minimal pada sisnisme buruh, pekerja, dan sebagian
orang yang sadar akan konstruksi dunia industri kapitalisme. Kapitalisme yang
dulu menjelma dalam fordisme dan sempat berhasil meredam sisnisme tersebut
akhirnya harus jatuh,dan kini kita sedang menikmati buaian post fordisme, yang
tak lain adalah reinkarnasi kapitalisme itu sendiri.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> Sebagai
contoh, produk Apple adalah salah satu manifestasi dari gairah jaman post
fordisme<a href="file:///D:/Tugas%20Sos%20Industri%20fordis-pos%20fordism%20b%20Sos%205.doc#_ftn1" name="_ftnref1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[1]</span></span><!--[endif]--></span></a>.
Sistem produksi tidak lagi didasari oleh sistem produksi massal, tetapi lebih
berorientasi pada permintaan dan era ini adalah era yang sangat respect
terhadap permintaan konsumen, karena konsumen membutuhkan barang-barang yang dapat
menunjukkan identitasnya sebagai hasil dari relasi sosial. Namun identitas yang
dikejar oleh para konsumen pun ini sebenarnya adalah bentukan dari citra
ekslusif, lux, dan mahal yang sengaja diciptakan dan dicitrakan oleh
kapitalisme agar konsumen membutuhkan identitas tersebut, yang celakanya
identitas itu oleh banyak orang dianggap dapat terpenuhi jika dapat membeli
produk-produk mahal, eksklusif, serta menampilkan identitas yang diproduksi
oleh kapitalisme.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> Dalam
post fordisme terjadi perluasan definisi
dan pola produksi. Yang dipakai adalah logika citra eksklusif, kepuasan
karna mengonsumsi hal yang berbeda agar terus menerus mengkonsumsi, Apple,
sebagai penyedia gadget, memiliki reputasi dan citra yang barangkali dianggap
terbaik untuk merepresentasikan status ekonomi kelas menengah keatas, citra
inilah yang membuat banyak konsumen merasa membutuhkan produk ini sebagai
simbol identitasnya atau sekedar bertujuan untuk mencapai standar hidup yang
lebih tinggi. Berbeda dengan jaman fordisme yang menekankan produksi secara
massal dan berorientasi produksi, di era post fordisme ini lebih menekankan
eksklusifisme dan produksi diorientasikan berdasarkan konsumsi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="Default" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; mso-bidi-font-style: italic;"> Disamping itu juga adanya perluasan
definisi dan pola konsumsi</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif";">.
Era produksi telah digantikan oleh era konsumsi, konsumen bukan sekedar
memikirkan barang merk apa yang mereka pakai, rumah elit di hunian mana yang
mereka tinggali, atau fashion dari brand apa yang mereka kenakan, tapi lebih
dari itu, konsumen hari ini juga memikirkan akan dipandang sebagai apa dirinya
ketika mengonsumsi dan membeli segala jenis barang-barang yang ada di pasar.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> Citra
eksklusif, berbeda, dan konsumen yang haus akan identitas ini linear dengan
yang dikatakan Lazzarato mengenai konsep <i>immaterial
labour</i><a href="file:///D:/Tugas%20Sos%20Industri%20fordis-pos%20fordism%20b%20Sos%205.doc#_ftn2" name="_ftnref2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[2]</span></span><!--[endif]--></span></a>.
Pada era fordisme, labour adalah buruh atau pekerja yang memproduksi
barang-barang riil, tapi pada era post fordisme dia menambahkan analisis
mengenai immaterial labour yang memproduksi citra-citra tersebut agar
komoditinya sukses di pasaran. Lagi-lagi Apple harus digunakan sebagai contoh,
dalam proses produksinya, produk Apple seperti i-Phone, i-Pad, mac dan
lain-lain juga turut melibatkan seniman untuk mendesain produk, tampilan
animasi, wallpaper, bungkus produk, hingga iklan yang menuntut para labour
untuk menampilkan citra lux, berkelas, unik, berbeda, dan eksklusif. Dalam hal
ini para pekerja seni dan orang-orang kreatif yang terlibat dalam proses
produksi sebagai immaterial labour telah turut melestarikan rezim kapitalisme di
era post fordisme. Karena mereka lah, hingga kini banyak masyarakat masih saja
tergila-gila dengan produk Apple, menempatkannya dalam strata tertinggi dalam
hal gadget. Implikasi berikutnya adalah, masyarakat berlomba-lomba membeli
barang ini agar dapat mengejar citra yang ditawarkan oleh produk tersebut.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> Di
hari ini kita dapat mengamati adanya kecenderungan budaya konsumerisme dalam
masyarakat, tidak lain hal ini adalah akibat dari pengidentifikasian identitas
yang diejawantahkan melalui produk-produk kapitalisme. Kapitalisme post
fordisme berwajah lebih ramah, sehingga membuat banyak orang secara sukarela
dan tidak sadar mau membuat dirinya membutuhkan apa yang diproduksi oleh
kapitalis . Hal ini mengakibatkan munculnya identitas semu. Karena, kapitalis
tidak akan berhenti menciptakan produk dan membuat kita selalu merasa membutuhkan
lebih banyak benda-benda untuk dibeli.<o:p></o:p></span></div>
<br />
<div>
<!--[if !supportFootnotes]--><br clear="all" />
<hr align="left" size="1" width="33%" />
<!--[endif]-->
<br />
<div id="ftn1">
<div class="Default">
<a href="file:///D:/Tugas%20Sos%20Industri%20fordis-pos%20fordism%20b%20Sos%205.doc#_ftnref1" name="_ftn1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10.0pt;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="color: black; font-family: "Palatino Linotype","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: "Palatino Linotype"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: IN;">[1]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-size: 10.0pt;"> <o:p></o:p></span></div>
<div class="Default">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-style: italic; mso-bidi-font-weight: bold;">Hizkia Yosie Polimpung<i>
</i></span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt;">dkk</span><i><span style="font-size: 10.0pt;">, Mengapa Steve Jobs Tidak Begitu Inovatif:
Kapitalisme Apple®, Pasca-Fordisme, dan Implikasinya</span></i><span style="font-size: 10.0pt;">, Center for
Global Civil Society Studies (Pacivis) Universitas Indonesia, hlm 23<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn2">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///D:/Tugas%20Sos%20Industri%20fordis-pos%20fordism%20b%20Sos%205.doc#_ftnref2" name="_ftn2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US;">[2]</span></span><!--[endif]--></span></a>
<span style="font-family: "Times New Roman","serif";">Maurizio Lazzarato, <i>“Immaterial Labor,” terj., P. Colilli &
E. Emery</i>, dalam M. Hardt & P. Virno, peny., <i>Radical Thoughts in
Italy: A Potential Politics, </i>Minnesota:University of Minnesota Press, 1996,
hlm. 133</span></div>
</div>
</div>
Zakiah Fitrihttp://www.blogger.com/profile/03664271286630168563noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3518176273310729578.post-76222227344368835352014-09-01T04:54:00.001-07:002014-09-29T01:01:29.230-07:00Kelulusan dan Budaya Mencoret Seragam<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhfLgKISJRSwkT6fVygOySvzmA_0UK6wnzRk4joOM170ejKzWuD4CtKZCl3z-nVKzg5kD5WPVqtRpKUjU0KvdN-C5s-P6cxkA5dvR7Ma5BHffESb8QEYFBGQUkFUz-mYYqtU_vvfE_ml0A/s1600/1424531_741387065890378_1501901740_n.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhfLgKISJRSwkT6fVygOySvzmA_0UK6wnzRk4joOM170ejKzWuD4CtKZCl3z-nVKzg5kD5WPVqtRpKUjU0KvdN-C5s-P6cxkA5dvR7Ma5BHffESb8QEYFBGQUkFUz-mYYqtU_vvfE_ml0A/s1600/1424531_741387065890378_1501901740_n.jpg" height="240" width="320" /></a></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 3.75pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> Ini adalah gambar sekelompok
siswa di salah satu Sekolah Menengah Kejuruan Negeri di Kabupaten Malang yang
sedang melakukan selebrasi kelulusan. Jika ditelusuri dari sejarahnya, budaya
coret-mencoret seragam ini tidak diketahui asal-usulnya, yang jelas para siswa
ini hanya mengikuti tradisi yang diwariskan turun temurun dari kakak-kakak
kelasnya dan hampir di seluruh pelosok tanah air mengenal budaya ini. Sebagian
besar mereka menganggap tidak <i>afdhol </i> jika tidak melakukan ritual corat-coret
seragam karena ini adalah bentuk ekspresi sukacita, euforia, dan kelulusan setelah menghadapi Ujian Akhir
Nasional yang menguras energi, pikiran serta menjadi stressor bagi para siswa.
Dan yang biasanya identik dengan tradisi corat-coret seragam adalah konvoi
sepanjang jalan dengan menggunakan sepeda motor.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 3.75pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> Banyak yang bisa dianalisis dari tindakan siswa-siswi
ini. Yang pertama, mereka melakukan ini tanpa adanya pertimbangan rasionalitas
yang matang, dalam kajian Weber dikenal ada 4 jenis rasionalitas yakni
rasionalitas instrumental, rasionalitas orientasi nilai, rasionalitas afeksi, dan
rasionalitas tradisional. Menurut saya tindakan yang mereka lakukan adalah
bentuk dari tindakan rasionalitas tradisional (sebagian orang menyebutnya
irrasional) sangat terlihat bahwa mereka hanya melakukannya karena faktor
ikut-ikutan tanpa mempertimbangkan essensinya. Dalam hal ini bisa diambil
kesimpulan awal bahwa generasi muda kita mudah terpengaruh oleh tradisi turun
temurun tanpa mempertimbangkan baik buruknya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 3.75pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> Yang kedua, dan barangkali sudah sering disinggung oleh
para pengkritik budaya coret seragam adalah mereka hanya melakukan budaya
hura-hura, pencerminan dari gaya hidup yang boros, alangkah baiknya daripada
mencoret-coret seragam lebih baik menyumbangkannya kepada siswa lain yang
membutuhkan, karena ribuan siswa di daerah lain terancam putus sekolah karena
faktor seragam.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 3.75pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> Ketiga, perayaan yang terkesan liar, mencoret seragam (yang
merupakan lambang pendidikan formal) serta konvoi liar yang mengganggu
ketertiban umum, mengindikasikan bahwa para siswa sesungguhnya tidak menyukai
wajah pendidikan formal Indonesia saat ini. Ada gap antara siswa dengan sistem
pendidikan. Beberapa siswa mungkin lelah dengan tuntutan tugas, tes belajar,
ulangan, evaluasi, ujian-ujian, dan yang paling parah terutama Ujian Akhir
Nasional, serta segala hal yang menjadikan sekolah bukan lagi tempat menimba
ilmu, bukan lagi tempat memperbaiki kesalahan-kesalahan, bukan juga tempat
untuk mencari tahu, tapi sekolah bagi mereka adalah tempat dimana segala bentuk
kecerdasan dan intelegensi diukur dengan nilai ujian nasional yang sangat
subjektif. Subjektif, karena kecerdasan dan tingkat intelegensi tidak bisa
diukur hanya dengan nilai-nilai akademis mata pelajaran tertentu.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 3.75pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> Saya jadi teringat dengan buku <i>Summer Heel School</i> yang dipresentasikan oleh teman saya di kelas
sosiologi pendidikan Bu Kanthi, jadi sah saja jika saya menyimpulkan bahwa
sekolah-sekolah formal di Indonesia kini telah berubah menjadi sumber stress
bagi para siswa. Alih-alih menuntut ilmu dengan hati <i>legowo</i> atas kesadaran, justru para siswa dipaksa untuk mengikuti
ujian-ujian tulis (khususnya Ujian Nasional) hanya demi nilai, yang mungkin
tidak bisa mengukur derajat keberhasilan akademik tetapi berdampak psikis yang
sangat besar terhadap siswa. Bisa saja siswa pandai, rajin dan berprestasi
mendapat nilai UNAS yang kebetulan buruk sehingga tidak lulus dan ia akan
merasa depresi. Perjuangan tiga tahun yang dihakimi oleh tiga hari yang
menegangkan, kemudian setelahnya para siswa berpesta mencoret seragam, padahal
setelah lulus mereka pun banyak yang tidak tahu akan meneruskan perjuangan
kemana, perjuangan belum berakhir, masih banyak hal-hal lain yang berhak
menghakimi keberhasilan di masa depan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 3.75pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> Yang lebih parah lagi dari adanya Ujian nasional adalah
beredarnya jawaban-jawaban soal ujian nasional, entah itu jawaban asli yang
diperjual belikan/bocor, entah jawaban palsu yang disebar oleh pihak tak
bertanggung jawab, yang jelas banyak siswa yang rela membayar mahal demi
mendapat jawaban soal UNAS. Intinya pendidikan selama bertahun-tahun yag
ditempuh bukan lagi untuk mencapai kompetensi yang diinginkan, tapi pendidikan
selama bertahun-tahun ditempuh hanya demi mendapat stempel LULUS. Sungguh
ironis.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 3.75pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> Saya rasa para pemegang otoritas pendidikan harus
secepatnya mengevaluasi sistem yang telah diterapkannya selama bertahun-tahun
ini, karena menurut saya menentukan seorang siswa berhasil/tidak hanya dari
Ujian Nasional itu sangat absurd, bahkan sangat tidak akurat dalam menyatakan
keberhasilan. Dalam hal ini mungkin kita bisa belajar (bukan meniru) sekolah-sekolah
kecil yang mencetak orang-orang besar, misalnya di kalangan Yahudi, mereka
adalah minoritas, tapi berhasil berkompetensi dengan menciptakan Google, Facebook,
Nokia, dan penemuan-penemuan yang melegenda. Nama mereka ada di setiap jajaran
sejarah orang-orang hebat. Pertanyaannya, apakah mereka melaksanakan Ujian
Nasional Seperti kita?<o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 3.75pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> Tidak, mereka lulus jika bisa menciptakan produk yang
berkualitas, bukan lulus atas dasar nilai di atas kertas yang bisa diperjual
belikan dan ditransaksiskan secara diam-diam. Kreatifitas mencipta dan berkarya
dihargai sangat tinggi daripada sekedar stempel LULUS. Jika pendidikan kita
hanya diukur dari hal tersebut maka tidak mengherankan jika siswa-siswa kita
selepas Ujian Nasional berpesta mencoret seragam dan konvoi dengan liar, seperti
singa yang lepas dari kandangnya. Karena memang mereka merasa kreatifitasnya
terkurung. Terkurung oleh banyaknya tugas-tugas, ujian-ujian, les tambahan
belajar dan segala tuntutan yang bagi mereka hanya dianggap sebagai jerat belaka.<o:p></o:p></span></div>
Zakiah Fitrihttp://www.blogger.com/profile/03664271286630168563noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3518176273310729578.post-28746918110899286012014-09-01T04:46:00.000-07:002014-09-29T01:28:23.959-07:00Indigenisasi Ilmu-Ilmu Sosial<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 3.75pt; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Ini adalah sedikit hal yang saya pikirkan setelah mengikuti kelas sosiologi Indonesia.<br /> <br /> Berkembang
pesatnya ilmu pengetahuan di Barat, baik ilmu pengetahuan alam maupun ilmu
pengetahuan sosial telah menyumbangkan efek terhadap pola-pola dan model ilmu
pengetahuan yang berkembang di negara dunia ketiga, seperti Indonesia. Diawali
dari perkembangan teknologi di Inggris yang lantas diiringi dengan perkembangan
teknologinya telah memunculkan tatanan sosial yang baru. Banyak orang semakin
berlomba-lomba dalam ilmu pengetahuan sehingga cukup masuk akal jika negara-negara
barat pernah menjadi tempat bertumbuh suburnya ilmu pengetahuan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 3.75pt; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"> Pada awalnya ilmu-ilmu alam di
negara barat telah menemukan model, metode dan gambaran yang jelas tentang
disiplin ilmunya masing-masing, kemudian hal tersebut diadopsi oleh ilmu sosial
yang waktu itu masih belum berdiri kokoh seperti layaknya ilmu alam. Hingga
perlahan ilmu sosial menemukan pijakan dalam disiplin ilmunya. Tapi hal ini
kemudian memunculkan sebuah pertanyaan mendasar. “Jika ilmu sosial di negara di
dunia ketiga (seperti Indonesia) diadopsi dari pemikiran-pemikiran barat,
lantas apakah hal tersebut relevan jika mengingat lokasi geografis maupun
historis serta keadaan sosialnya berbeda?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 3.75pt; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"> Hal ini menjadi kajian yang menarik,
karena seperti yang kita tahu, negara dunia ketiga selalu terkesampingkan. Bisa
ditelusuri dari sisi historis, Indonesia pernah dijajah oleh kolonial Belanda
(yang pada waktu bersamaan ilmu pengetahuan sedang berkembang pesat di negara
Barat). Hemat saya, jika dilihat dari sejarah, bangsa Indonesia mengalami fase
penjajahan politik, kemudian penjajahan secara geografis yang diikuti dengan
penjajahan ekonomi (tentunya disertai dengan eksploitasi sumber daya alam),
kemudian dilanjutkan dengan penjajahan budaya dan akhirnya juga terjadi
penjajahan kognitif. Penjajahan kognitif yang dimaksud dalam hal ini khususnya
adalah penjajahan orientasi ilmu pengetahuan yang nampaknya cenderung berkiblat
ke dunia Barat.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 3.75pt; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"> Jika membahas soal ilmu pengetahuan
alam seperti fisika dan kimia, nampaknya kita memang harus tunduk pada klaim
universalitas yang telah dibuat, karena alam adalah fenomena yang terukur
mutlak dan bisa dibuktikan keuniversalitasannya. Tapi ilmu sosial, seperti ilmu
antropologi, sosiologi, ilmu politik dan ilmu hukum tidak bisa diklaim
keuniversalitasannya karena setiap daerah di belahan bumi memiliki corak,
struktur dan sistem yang berbeda, dan kini ilmuwan sosial di negara dunia
ketiga tengah dihadapkan pada pilihan melakukan indigenisasi atau justru larut
dalam klaim ilmu sosial yang <i>‘made in
western’</i> tersebut.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 3.75pt; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"> Saat ilmuwan sosial Indonesia
mencoba memahami masalah-masalah dan fenomena sosial yang terjadi di Indonesia
mereka mencari literatur dari barat dan mengkaji fenomena-fenomena sosial
seperti yang telah dibukukan oleh akademisi-akademisi di barat. Padahal untuk
mengaplikasikan model ilmu sosial dari barat tersebut tentu dibutuhkan
penyesuaian dan penyelarasan terlebih dahulu dengan daerah lokal. Itulah
mengapa muncul indigenisasi karena mempelajari fenomena lokal secara langsung
dinilai lebih efisien dan tepat sasaran. Tidak perlu lagi mencari penyelesaian
dari dunia akademis barat, karena keadaan sosial di barat dan di negara dunia
ketiga sangat berbeda, maka diperlukan penyelesaian yang berasal dari sumber
permasalahannya sendiri.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 3.75pt; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"> Iluwan sosial di negara dunia ketiga
mulai merasa malu bahwa mereka tak lebih dari sekedar pengekor, menjadi
pengikut setia dari penjajahan kognitif
yang dilegitimasi oleh dirinya sendiri. Memang seharusnya begitu,
ilmuwan sejati seorang skeptis yang empiris dan positifis, tindakan ilmuwan
negara dunia ketiga (selalu mengutip teori barat kemudian dijadikan pedoman
menganalisis daerah lokal) adalah bentuk kurangnya empirisme dari ilmuwan
sosial negara dunia ketiga. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 3.75pt; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"> Jika indigenisasi telah menjadi
wacana yang mulai marak diperbincangkan maka ilmuwan sosial dari negara dunia
ketiga sedang dihadapkan pada dua pilihan ; yakni mengabdikan pengetahuannya
untuk perbaikan kehidupan masyarakatnya atau mengabdikan hidup untuk
meningkatkan perkembangan akademis. Mana yang seharusnya diutamakan,
tanggungjawab sosial atau tanggung jawab akademis? Nampaknya sebagian ilmuwan
mengatakan sebuah jawaban yakni mewujudkan tanggung jawab sosial dengan cara
menerima tanggung jawab akademik.Terdengar filosofis dan berpihak pada tanggung
jawab sosial, tapi nampaknya hal ini tidak memecahkan masalah.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 3.75pt; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"> Dalam ilmu-ilmu sosial pengaruh
negara barat memang tidak bisa diabaikan, bisa diamati dalam kegiatan kademis
sehari-hari, bangku perkuliahan ilmu sosial di Indonesia tak bisa lepas dari
teori-teori Karl Marx, Weber, Talcott Parson, dan hal itu selalu menjadi kajian
pokok dalam kurikulum, wajib dipahami hingga tuntas meski pada dasarnya
tokoh-tokoh terkenal tersebut tidak pernah menyatakan apakah grand teorinya
yang dipelajari puluhan ribu mahasiswa di Indonesia tersebut relevan atau
tidak.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 3.75pt; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"> Setidaknya ada tiga dimensi dalam
ilmu sosial, yakni pertama: ideologi yang mencakup nilai-nilai dan norma-norma
yang dipelajari ilmu sosial, kedua adalah teori dan ketiga adalah metodologi.
Untuk melakukan indigenisasi rasanya masih bisa untuk melakukan indigenisasi
terhadap ideologi dan juga teori karena keduanya bisa digali dari daerah lokal
masing-masing di stiap belahan bumi, tapi untuk metodologi sepertinya ilmuwan
lokal harus tunduk kepada metodologi yang diciptakan oleh ilmuwan negara barat
karena hal ini adalah satu-satunya yang dapat menjamin validitas pengetahuan
kita.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 3.75pt; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"> Ditinjau dari sisi yang lain, contoh
penelitian yang diutarakan oleh Clifford Geertz, ia menyimpulkan bahwa
kemiskinan petani di Jawa diakibatkan oleh sistem kolonialisasi yang pernah
berkuasa. Penduduk pribumi telah mengalami penjajahan oleh kolonial sekian
lamanya, hingga mereka terbiasa menjadi ‘Objek’ yang dieksploitasi. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 3.75pt; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"> Boeke juga mengatakan bahwa petani
Jawa telah lama menderita kemiskinan hingga hilanglah semangat bekerja dan rasa
berkuasa atas tanahnya sendiri, hingga hilang pula kepercayaan terhadap diri
sendiri dan bertahan sampai generasi terkini. Jika Clifford Geertz sebagai
ilmuwan barat saja sudah mengakui dan setidaknya menyiratkan pesan bahwa
penduduk pribumi telah lama dijadikan objek, akankah kita akan terus terdiam
sebagai objek yang hanya mengikuti arus negara barat yang membuat kita
terombang ambing kesana-kemari?<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 3.75pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 3.75pt; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 3.75pt; text-align: justify;">
<br /></div>
Zakiah Fitrihttp://www.blogger.com/profile/03664271286630168563noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3518176273310729578.post-35216309712376870242014-07-09T00:28:00.000-07:002014-09-29T01:02:37.614-07:00Klise: Siswa Tidur di Kelas<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Oleh : Zakiah Fitri </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> <table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiczz0cqN5tXcoRZkkZXsbaif7jbzkvMQZU5b4JvfD0RX4aaESEB26MZpoC0DxRgCRu1Y7HLY41GSbXO6EzF384JmIs4NLvdJzIvQJucu4igIgq9bYiI90f6OkjGbpovV-8jUh-zBipeXQ/s1600/15344_1203740371849_2717460_n.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiczz0cqN5tXcoRZkkZXsbaif7jbzkvMQZU5b4JvfD0RX4aaESEB26MZpoC0DxRgCRu1Y7HLY41GSbXO6EzF384JmIs4NLvdJzIvQJucu4igIgq9bYiI90f6OkjGbpovV-8jUh-zBipeXQ/s1600/15344_1203740371849_2717460_n.jpg" height="320" width="252" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><i><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 11.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US;">Foto diambil tanggal 20 Januari 2013</span></i></td></tr>
</tbody></table>
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> Pelajar ini tertidur saat jam
istirahat di sebuah SMA Negeri ternama di Kota Malang. Beberapa tahun yang lalu
sebelum RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional) dihapus, sekolah ini
termasuk kedalam RSBI, dan sempat menjadi pemenang lomba Usaha Kesehatan
Sekolah (UKS) serta mewakili Jawa Timur di UKS tungkat Nasional. Saya sedikit
heran, kenapa sekolah yang memenangi Usaha kesehatan sekolah ternyata ada saja
sudut-sudut yang menampakkan ketidaksehatan di dalamnya, salah satu contoh
adalah gambar diatas. Siswa dengan kaki yang kotor dan tidak memakai alas kaki
sedang tertidur pulas di kelas.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> Sekolah
ini menerapkan sistem yang berbeda dari sekolah-sekolah lainnya, biasanya
Sekolah Menengah Atas pada umumnya masuk di hari Senin-Sabtu dan setiap hari
rata-rata masuk pagi jam 06.30 danpulang jam 14.00. Tapi sekolah ini menerapkan
sistem yang menurut saya aneh, sekolah masuk di hari Senin-Jum’at, dan selalu
masuk di jam 06.30 kemudian pulang di jam 16.00. Bukankah itu waktu yang
terlalu panjang untuk menghabiskan waktu di sekolah?<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> Para
pekerja saja diberi batas waktu kerja sesuai Undang-undang adalah 8 jam per
hari, sedangkan para siswa di sekolah ini harus menghabiskan waktu 9,5 jam di
sekolah. Ini bukan masalah alienasi/tidak teralienasi, tapi hal ini menurut
saya terlalu memberatkan siswa dan membebani mereka, belum lagi akhir pekan
yang seharusnya digunakan untuk istirahat dan merefresh otak justru digunakan
untuk tugas-tugas dan ujian-ujian yang harus dihadapi. Pantaslah jika siswa ini
tertidur begitu pulas, seolah sekolah telah membuatnya sangat lelah.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> Masalah
tidur di kelas memang sering menjadi wacana, bahkan di novel-novel dan film
populer, budaya tidur di kelas sering diberi citra negatif, misalnya tidur di
kelas seringkali diidentiikan dengan begadang untuk main video game, begadang
untuk merokok dan miras hingga pagi, begadang untuk balapan liar di tengah malam,
dan sejuta stigma negatif lain tentang tidur di kelas. Semua guru di sekolah
bahkan sepakat bahwa pelajar yang tidur di kelas adalah tidak baik. Saya rasa
itu kesimpulan yang terlalu tergesa-gesa.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> Sebaiknya
kita lihat dari dekat sebelum menyalahkan pelajar yang tidur di kelas, sebagian
pelajar yang tertidur di kelas memang disebabkan hal-hal negatif seperti
diatas, tapi kita perlu tahu terlebih dahulu apa saja yang telah dilewati
pelajar dalam kesehariannya, apakah main video game, merokok hingga pagi,
balapan liar, atau bahkan mereka begadang karena sekolah yang memaksa mereka
untuk begadang?<o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> Pada
dasarnya sekolah adalah bertujuan untuk belajar, menuntut ilmu. Tapi
kecenderungan yang terjadi saat ini adalah sekolah sudah berubah menjadi lokasi
pemeringkatan, bukan lagi lokasi belajar. Hal ini terlihat dari banyaknya
lembaga-lembaga bimbingan belajar yang muncul dengan menjanjikan prestasi
akademik siswa meningkat, lulus ujian, mendapat ranking dan sebagainya, bahkan
sekolah juga mewajibkan siswanya untuk ikut bimbingan belajar, padahal waktu
yang dihabiskan disekolah untuk belajar mata pelajaran-mata pelajaran akademik
sudah cukup panjang, haruskah ditambah lagi dengan les tambahan belajar? Jika
kebijakan semacam ini tetap berlaku, bahkan ditingkatkan, maka potret seperti
siswa diatas juga akan semakin banyak jumlahnya.<o:p></o:p></span></div>
Zakiah Fitrihttp://www.blogger.com/profile/03664271286630168563noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3518176273310729578.post-23931928983762369792014-07-07T09:00:00.000-07:002014-09-29T01:02:19.472-07:00Hukuman untuk Mendidik, Bukan MelampiaskanOleh: Zakiah Fitri<br />
<br />
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: right; margin-left: 1em; text-align: right;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiafCMGxItD2Fm2D8oqdmgOtVyjJT8uo_jsSEzI2yAJaCyMZMG265_Eeurws4o93vCqJMGFE7RxfqXSLz-CU_uwWMibDms-9DjllwHaCZJgwe69pVbBURkKeLzUGSmdHoHBJaMdMvQFgb0/s1600/16032013_006.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiafCMGxItD2Fm2D8oqdmgOtVyjJT8uo_jsSEzI2yAJaCyMZMG265_Eeurws4o93vCqJMGFE7RxfqXSLz-CU_uwWMibDms-9DjllwHaCZJgwe69pVbBURkKeLzUGSmdHoHBJaMdMvQFgb0/s1600/16032013_006.jpg" height="240" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Aktifitas hukuman bagi siswa<br />
Foto diambil tanggal 29 Nov 2013</td></tr>
</tbody></table>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-family: Calibri;"> Hukuman memang menjadi suatu hal yang biasa
terjadi dalam instansi pendidikan seperti sekolah, apalagi dalam tingkatan
Sekolah Dasar dan Sekolah menengah, akan sering dijumpai hukuman-hukuman ringan
yang membawa kita kembali pada kenangan masa-masa sekolah. Yap, hampir semua
orang pernah dihukum saat bersekolah, entah dihukum mencabuti rumput halaman
sekolah karena datang terlambat, dihukum karena tidak mengerjakan PR, atau
bahkan satu kelas dihukum dan dimarahi guru karena kesalahan bersama seperti bersikap
gaduh saat pelajaran. Semuanya hal normal yang biasa terjadi dalam dunia
pendidikan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-family: Calibri;"> Saya
sengaja datang dan memotret dua siswa diatas, Radit dan Zidan karena mereka
adalah tetangga saya yang bercerita bahwa hari Jum’at adalah hari hukuman bagi
para siswa yang melanggar aturan dalam satu minggu, jadi di Hari Jumat yang
diceritakan tersebut saya datang ke sekolah mereka, salah satu SD Negeri di
Kabupaten Malang dan menyaksikan hukuman mereka karena ditemukan oleh gurunya
sedang duduk-duduk di sudut sekolah saat upacara bendera di Hari Senin. Setelah
berada di lokasi, alih alih melihat pemandangan mendebarkan dari sebuah
hukuman, justru saya tertawa karena hukuman yang mereka terima sepulang sekolah
memang menggelikan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-family: Calibri;"> Sebenarnya
ada hal lain yang menarik perhatian saya, yakni masalah kebersihan toilet
sekolah, tapi yang sedang saya soroti saat ini adalah fokus tentang hukuman
bagi siswa di sekolah agar pembahasannya tidak melebar. Cukup saya acungi
jempol pada sekolah mereka dalam hal hukum-menghukum, karena hukuman yang
ditimpakan kepada kedua siswa tersebut (setidaknya) adalah hukuman yang
bermanfaat, yakni mereka dihukum mencuci taplak meja guru, korden kelas, serta
setelah itu mereka asyik bermain sambil mencuci tas sekalian.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-family: Calibri;"> Hukuman
semacam ini justru akan memberi siswa ruang untuk berpikir dan mempertimbangkan
tindakan sebelum melakukannya, karena mereka secara tidak langsung digiring
untuk berpikir bahwa setiap tindakan yang dilakukan pastilah menimbulkan
konsekuensi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-family: Calibri;"> Di
media massa, dimanapun itu baik di Jawa, Papua, tak terkecuali Aceh yang
terkenal religius itu, semuanya pernah mendapat catatan hitam tentang kekerasan
dalam dunia pendidikan, bahkan baru-baru ini, mahasiswa yang katanya <i>agent of change</i>, ujung tombak
pembangunan, di sebuah Kampus swasta di Kota Malang yang terkenal pula sebagai
kota tujuan pendidikan baru saja mempermalukan sistem pengenalan kampus (ospek)
dengan menggunakan cara kekerasan, dan celakanya mahasiswa yang menjadi korban
kekerasan tersebut nyawanya tidak tertolong.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-family: Calibri;"> Kekerasan
bagi saya adalah hal paling idiot jika itu dilakukan di lingkungan pendidikan.
Bahkan jika ada sekolah anak-anak berkebutuhan khusus/difabel, maka pelaku
kekerasan adalah jauh lebih perlu dididik secara khusus daripada kaum difabel.
Pasalnya kekerasan yang sering terjadi di sekolah atau lingkungan pendidikan selain
kasus bully antar siswa adalah kasus kekerasan yang dilakukan oleh
guru/pengajar ataupun senior. Ini keterlaluan, saya juga tidak habis pikir,
kenapa dunia pendidikan yang tujuannya mendidik malah memunculkan guru dan
senior yang malah lebih butuh untuk di didik?<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-family: Calibri;"> Yang
melatarbelakangi seseorang untuk berbuat kekerasan pertama-tama adalah karakter
dan kepribadian, selanjutnya adalah penegakan hukum. Kita lihat hukum di
Indonesia seperti ini, klise memang, dan banyak orang percaya hukum bisa dibeli
dengan uang. Tengok saja kasius pelajar IPDN yang menjadi korban kekerasan di
dunia pendidikan, mayatnya terbukti mengandung formalin dan terbukti diawetkan,
tapi waktu itu penanganannya sepat bertele-tele. Prediksi saya, kasusnya akan
menguap begitu saja jika saat itu media massa tidak berkoar-koar tentang dugaan
pembunuhan tersebut.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-family: Calibri;"> Apapun
alasannya, kekerasan menurut saya adalah tidak bisa dibenarkan, apalagi dalam
dunia pendidikan. Sebaiknya para pelaku kekerasan dalam dunia pendidikan
dijatuhi hukuman berat, karena ini sama sekali bukan masalah sepele. Korupsi
jika dibandingkan dengan masalah kekerasan dalam dunia pendidikan, mungkin
korupsi akan terlihat sebagai masalah besar, dan kasus kekerasan adalah masalah
kecil, tapi justru ini masalah gawat bagi negeri, PR yang belum tuntas bagi
para penguasa dan bagi kita semua.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-family: Calibri;"> Kekerasan
dalam dunia pendidikan bukan sekedar mengambil aset negara berupa materi, tapi
kekerasan malah mengambil aset paling berharga dari sebuah negara yakni “tunas
bangsa”. Mereka, para pelaku kekerasan, telah merenggut hak kemanusiaan peserta
didik dan peserta didik adalah masa depan bangsa, jadi singkatnya para pelaku
kekerasan telah mencemari masa depan bangsa. Sama bahayanya dengan koruptor
kelas kakap.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-family: Calibri;"> Selain
itu kekerasan yang dilakukan oleh pendidik atau senior adalah mencerminkan
ketidakstabilan kondisi psikologis dan mental pendidik. Dan jika masalah
kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengajar dan senior sudah sedemikian parah,
perlukah adanya tes sakit jiwa bagi para calon pengajar? yang jelas pemerintah
belum merancangnya, dan kalaupun dirancang sebuah tes kesehatan jiwa pastilah
akan memunculkan halaman baru berisi kontroversi berkepanjangan.<o:p></o:p></span></div>
Zakiah Fitrihttp://www.blogger.com/profile/03664271286630168563noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3518176273310729578.post-47715063203967118572014-07-07T08:30:00.000-07:002014-10-12T01:12:55.458-07:00Paper: Konflik Dalam Heterogami dan Perkawinan Beda Kelas<div style="text-align: center;">
Oleh: Zakiah Fitri</div>
<div style="text-align: center;">
(Program Studi Sosiologi Universitas Brawijaya Malang)</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">BAB
I<o:p></o:p></span></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">PENDAHULUAN<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Pemilihan jodoh
merupakan sebuah seleksi untuk menentukan individu yang dipandang cocok dengan
kriteria sehingga bisa dilanjutkan ke jenjang perkawinan. Dalam kenyataannya,
kriteria yang ditetapkan oleh suatu masyarakat akan berbeda dengan kriteria
masyarakat lain. Nilai-nilai yang dihargai pun terkadang juga berbeda antara
individu yang akan menikah dengan individu-individu lain yang ikut terlibat
dalam proses pernikahan tersebut, misalnya orang tua dan keluarga besar.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> Oleh karena itu, suatu perkawinan menimbulkan
berbagai macam akibat, yang juga melibatkan banyak sanak keluarga. Tidak jarang
dalam sebuah perkawinan disertai dengan konflik-konflik sosial. Saya akan
membatasi pembahasan pada konflik yang terjadi pada heterogami dan perkawinan
dari status/kelas yang berbeda.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">BAB
II<o:p></o:p></span></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">PEMBAHASAN</span></b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">2.1
Kasus<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Seorang pemuda miskin
bernama Yogi Prasetyo, berasal dari Purwokerto, Jawa Tengah. Keluarganya adalah
keluarga dengan tingkat ekonomi rendah. Ayahnya sehari -hari bekerja sebagai
tukang jahit didesanya. Karena kegigihannya, Yogi berhasil kuliah di sebuah
Universitas Negeri ternama di Kota Malang walaupun dengan biaya seadanya.
Semasa semester 4 di kampus, Yogi jatuh cinta pada seorang gadis bernama Ayu
Wulaningrum, juga sama-sama kuliah di fakultas yang sama. Ayu adalah putri
seorang bupati ternama di daerah Yogyakarta dan juga masih dekat dengan garis keturunan
keraton. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Walaupun secara Ekonomi
mereka jauh berbeda namun tidak menghalangi keduanya untuk berencana melanjutkan
ke jenjang pernikahan. Keluarga besar dan ayah Ayu yang mengetahui putrinya
menjalin hubungan dengan pemuda dari keturunan biasa, tentu saja menolak
hubungan itu. Berbagai upaya dan bujukan dilakukan oleh pihak dari calon
mempelai putri agar rencana pernikahan tersebut dibatalkan, tapi keduanya
bersikeras dan selalu mengatasnamakan “cinta” sehingga pernikahan tersebut tetap
dilakukan, meskipun keluarga Ayu melepaskan puterinya dengan sangat terpaksa.
Kini mereka memiliki dua orang anak serta tinggal di daerah perumahan, hadiah
dari orangtua Ayu Wulaningrum. Orangtua Ayu hingga kini masih sering memberikan
hadiah dan uang kiriman meskipun Yogi telah bekerja sebagai pegawai salah satu
Bank swasta dan Ayu menjalankan bisnis <i>online</i>
nya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Analisis<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">2.2
Konsep Pemilihan Jodoh<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Salah satu konsep yang
dapat digunakan untuk menganalisis kasus perkawian adalah bahwa pada dasarnya
proses pemilihan jodoh berlangsung seperti sistem pasar dalam ekonomi. Sistem
ini berbeda-beda dari satu masyarakat ke masyarakat lain, tergantung pada siapa
yang mengatur transaksinya, bagaimana pertukarannya, dan penilaian yang relatif
mengenai berbagai macam kualitas.<a href="file:///D:/UPLOAD%20BLOG/Contoh%20Kasus.doc#_ftn1" name="_ftnref1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[1]</span></span><!--[endif]--></span></a><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">2.3
Analisis<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">2.3.1 Pemicu konflik<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 36.0pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Dalam perkawinan heterogami biasanya pihak yang
merasa lebih tinggi akan menolak terjadinya perkawinan dengan pihak yang lebih
rendah seperti kasus yang terjadi pada Yogi dan Ayu. Orang tua Ayu melarang Ayu
menikah dengan pria dari kalangan masyarakat miskin dan biasa. Orang-orang dari
kraton akan memiliki kriteria sendiri dalam menentukan jodoh yang ideal, mereka
selalu beranggapan bahwa budaya yang berakar dari kraton/istana mempunyai nilai
seni tinggi, bersifat halus serta mempunyai cita rasa yang indah. Sebaliknya,
budaya yang berkembang di luar kraton/istana adalah budaya Jawa yang bersifat
kasar.<a href="file:///D:/UPLOAD%20BLOG/Contoh%20Kasus.doc#_ftn2" name="_ftnref2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[2]</span></span><!--[endif]--></span></a><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 36.0pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Hal-hal tersebut sudah jelas membuktikan adanya
perhitungan untung-rugi yang dipertimbangkan oleh keluarga Ayu dan dan jelaslah
pula bahwa konsepsi tawar-menawar dalam pasar perkawinan sedang berlaku,
meskipun mereka yang terlibat dalam proses tersebut menolak konsepsi pasar
tersebut dan mengganti istilahnya menjadi ‘pencarian untuk mendapatkan yang
terbaik’. Stereotip keluarga besar keraton Ayu mengenai masyarakat diluar
keraton yang memiliki sifat budaya kasar ditambah keadaan ekonomi calon suami
yang dianggap tidak terlalu menguntungkan tentu akan menimbulkan konflik status
dan perdebatan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">2.3.2 Faktor pendorong
heterogami dan perkawinan beda kelas<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 36.0pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Berdasarkan analisis, heterogami semacam ini dapat
berlangsung karena hal-hal berikut:<o:p></o:p></span></div>
<ul style="margin-top: 0cm;" type="disc">
<li class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; mso-list: l0 level1 lfo1; text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Pengaruh
lingkungan dan pergaulan<o:p></o:p></span></li>
</ul>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 36.0pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Ayu
sebagai perempuan yang sempat meninggalkan lingkungan keraton untuk menempuh
pendidikan di perguruan tinggi telah keluar dari pemikiran kriteria jodoh yang
ideal menurut orang-orang keraton. Lingkungan dan pergaulan yang sempat dia
jalani bisa mengubah pemikirannya dalam menentukan jodoh yang dia inginkan,
lingkungan-lingkungan luas yang beragam diluar keraton dapat mempengaruhi
sebuah cara pandang, katakanlah misalnya Ayu memiliki kegemaran sinematografi
atau film, hal tersebut bisa mengubah cara pandangnya terhadap banyak hal,
termasuk dalam hal memilih jodoh. Menurut Prof. Dr. Utami Munandar,
sesungguhnya seorang anak itu mempunyai kecenderungan mengidentifikasikan
dirinya dengan tokoh dalam sinematografi, pengaruh positif atau negatif
terhadap seorang anak tergantung pada karakter dan perilaku yang ditampilkan
tokoh tersebut.<a href="file:///D:/UPLOAD%20BLOG/Contoh%20Kasus.doc#_ftn3" name="_ftnref3" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[3]</span></span><!--[endif]--></span></a> maka hemat
saya, jika Ayu misalnya menyukai film <i>Romeo-Juliette</i>
maka terdapat kemungkinan dia juga menyukai sifat serta kenekatan kawin lari
yang dilakukan tokoh-tokoh tersebut, sehingga peluang meniru atau
mengidentifikasi juga semakin besar.<o:p></o:p></span></div>
<ul style="margin-top: 0cm;" type="disc">
<li class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; mso-list: l0 level1 lfo1; text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Gender dan
pengambilan keputusan<o:p></o:p></span></li>
</ul>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 36.0pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Perubahan
jaman memunculkan juga suatu perubahan responsi dari masing-masing perempuan
sebagai individu.<a href="file:///D:/UPLOAD%20BLOG/Contoh%20Kasus.doc#_ftn4" name="_ftnref4" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[4]</span></span><!--[endif]--></span></a>
Pandangan perempuan akan menjadi bergeser seiring dengan perubahan jaman. Pada
jaman dahulu perempuan hanya bisa <i>nrimo
ing pandum, </i>yakni menerima apapun ketentuan yang diterapkan dan
diberlakukan oleh keluarga besarnya, perempuan hanya dipandang sebagai objek
yang diatur, dimiliki dan dikuasai, tak ubahnya sebuah benda yang jauh dari
penghargaan atas subjektifitas perempuan sebagai manusia yang harus menentukan
arah hidupnya sendiri. Untuk menuruti keinginan dan cita-citanya perempuan pada
jaman dahulu harus membayar mahal seperti yang pernah dilakukan oleh R.A.
Kartini. Tapi kondisi saat ini, gerakan kesetaraan gender, dan mulai
bergesernya pandangan masyarakat luas, khususnya anggota keraton mengenai perempuan
juga ikut berpengaruh terhadap terjadinya heterogami. Perempuan tak lagi
dipaksa untuk harus menuruti ketentuan keluarga besar. Perempuan dengan status
sosial seperti Ayu hanya butuh sedikit keberanian untuk keluar dari pemikiran
orang-orang keraton mengenai calon yang ideal bagi mereka, karena pada saat ini
kemungkinan Ayu diusir atau diputuskan tali kekeluargaan sangat kecil, seiring
dengan penghargaan terhadap hak perempuan untuk memutuskan pilihannya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> 2.3.3
Cinta sebagai ancaman dan hal yang subversif<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 36.0pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Cinta dianggap sebagai suatu ancaman teradap sistem
stratifikasi pada banyak masyarakat, dan orang-orang tua mengingatkan untuk
tidak menggunakan cinta sebagai dasar pemilihan jodoh.<a href="file:///D:/UPLOAD%20BLOG/Contoh%20Kasus.doc#_ftn5" name="_ftnref5" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[5]</span></span><!--[endif]--></span></a>
Dari kasus yang saya analisa nampak jelas bahwa orangtua Ayu takut anaknya
menikah dengan individu dari strata lain yang lebih rendah. Karena mereka
mengasumsikan strata dibawah mereka tentu memiliki kualitas yang tidak cukup
baik untuk memasuki kalangan keluarga kaya dan ningrat seperti mereka. Adanya
perkawinan dengan strata dibawah mereka dianggap akan merusak tatanan mengenai
stratifikasi itu sendiri. Mereka, keluarga besar Ayu ingin di eksklusifkan
sebagai kaum dengan ‘harga’ yang tinggi dan tidak sembarang orang bisa masuk
menjadi anggota keluarga melalui perkawinan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 36.0pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 36.0pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">2.3.4
Konsep pasar dalam perjodohan selalu berlaku <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 36.0pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Dalam kasus tersebut mungkin yang paling terlihat
sebagai pelaku yang nampak seperti kegiatan jual-beli dalam pasar adalh
orangtua dan keluarga besar Ayu, karena merekalah yang selalu mempermasalahkan
harta, kedudukan, strata sosial dan hal-hal yang sering diistilahkan sebagai
materialis. Tetapi konsep pasar dalam perjodohan sebenarnya selalu berlaku
meskipun para pelaku yang menolak konsepsi pasar tersebut telah menyodorkan
berbagai argumen mengenai ketulusan dan atas dasar cinta. Dalam hal ini Ayu
mengaku mau menikah dengan laki-laki miskin karena cinta. Ada bermacam-macam
tipe cinta, pemilihan jodoh dan perkawinan yang didasarkan atas cinta pada
umumnya merupakan tipe cinta erotis, yang menginginkan penyatuan dan peleburan
dengan seorang pribadi lain.<a href="file:///D:/UPLOAD%20BLOG/Contoh%20Kasus.doc#_ftn6" name="_ftnref6" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[6]</span></span><!--[endif]--></span></a>
Meskipun Ayu tidak menggunakan kriteria kekayaan, materi dan kedudukan sosial
untuk menikah dengan seseorang, tapi sebenarnya kriteria tersebut digantikan
oleh hal lain yang dianggap Ayu lebih bernilai, misalnya seperti kecerdasan,
kepribadian dan pola pikir yang dianggapnya jauh akan lebih menguntungkan,
membahagiakan dan mempermudah hidupnya. Sementara cinta itu sendiri merupakan
kebutuhan akan kepuasan emosional, yang mungkin tidak akan didapatkan Ayu bila
ia menikah dengan laki-laki pilihan orang tuanya. Maka jelaslah, bahwa konsepsi
tawar-menawar dalam pemilihan jodoh, jual-beli dalam perkawinan selalu bisa
dianalogikan sebagai pasar.<o:p></o:p></span></div>
<br />
<div>
<!--[if !supportFootnotes]--><br clear="all" />
<hr align="left" size="1" width="33%" />
<!--[endif]-->
<br />
<div id="ftn1">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///D:/UPLOAD%20BLOG/Contoh%20Kasus.doc#_ftnref1" name="_ftn1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US;">[1]</span></span><!--[endif]--></span></a>
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 9.5pt; line-height: 115%; mso-fareast-language: IN;">William J. Goode, 2004, “<i>Sosiologi Keluarga”</i>,
Jakarta : Bumi Aksara, hal. 65</span></div>
</div>
<div id="ftn2">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///D:/UPLOAD%20BLOG/Contoh%20Kasus.doc#_ftnref2" name="_ftn2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US;">[2]</span></span><!--[endif]--></span></a>
Nurdiyanto dkk, 2002, <i>“Tata Krama Suku
Bangsa Jawa di Kabupaten Sleman Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta”</i>, Yogyakarta
: Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata, hal. 1</div>
</div>
<div id="ftn3">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///D:/UPLOAD%20BLOG/Contoh%20Kasus.doc#_ftnref3" name="_ftn3" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US;">[3]</span></span><!--[endif]--></span></a>
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 9.5pt; line-height: 115%; mso-fareast-language: IN;">Sumarno dkk, 1997, “<i>Dampak Globalisasi Informasi
Terhadap Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat di Daerah Istimewa Yogyakarta”</i>,
Yogyakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Yogyakarta, hal. 78</span></div>
</div>
<div id="ftn4">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///D:/UPLOAD%20BLOG/Contoh%20Kasus.doc#_ftnref4" name="_ftn4" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US;">[4]</span></span><!--[endif]--></span></a>
Affandy<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 9.5pt; line-height: 115%; mso-fareast-language: IN;">, 2008, <i>“Gender
dan Strategi pengarus, Utamanya di indonesia”</i>, Yogyakarta : Pustaka Belajar, hal. 45</span></div>
</div>
<div id="ftn5">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///D:/UPLOAD%20BLOG/Contoh%20Kasus.doc#_ftnref5" name="_ftn5" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US;">[5]</span></span><!--[endif]--></span></a>
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 9.5pt; line-height: 115%; mso-fareast-language: IN;">William J. Goode, 2004, “<i>Sosiologi Keluarga”</i>,
Jakarta : Bumi Aksara, hal. 76</span></div>
</div>
<div id="ftn6">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///D:/UPLOAD%20BLOG/Contoh%20Kasus.doc#_ftnref6" name="_ftn6" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US;">[6]</span></span><!--[endif]--></span></a>
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 9.5pt; line-height: 115%; mso-fareast-language: IN;">Habib Mustopo, 1983, “<i>Kumpulan Essay-Manusia dan
Budaya”</i>, Surabaya : Usaha Nasional, hal. 78</span></div>
</div>
</div>
Zakiah Fitrihttp://www.blogger.com/profile/03664271286630168563noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3518176273310729578.post-49156703999193389872014-07-06T05:01:00.000-07:002014-10-12T01:12:20.029-07:00Menumbalkan Rasa Kemanusiaan Demi Nasionalisme<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .75pt; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"> Nasionalisme,
mendengar kata ini mungkin sebagian orang akan bangga dan teringat akan
cintanya pada bangsa dan negara, tapi bagi sebagian yang lain nasionalisme terkadang
terdengar mengerikan. Hidup sebagai warga negara Indonesia dan tinggal di Pulau
Jawa yang secara sah termasuk teritorial Negara Indonesia, bisa diamati kata ‘nasionalisme’
hingga kini menjadi sesuatu yang diagungkan, dibanggakan dan sangat disakralkan
bahkan mungkin adalah hal yang tabu jika ada seseorang yang mencibir
nasionalisme dalam negaranya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .75pt; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"> Secara praksis terkadang
nasionalisme memang berguna sebagai benteng perlindungan dari serangan luar,
misalnya di versi buku-buku sejarah Indonesia pada era penjajahan, Indonesia berhasil
mengusir penjajah dari Nusantara karena semangat nasionalisme. Tapi ada
beberapa hal yang menurut saya ganjil dan pantas dijadikan sebagai kritik
terhadap nasionalisme di Indonesia. Akan saya mulai dari Gajahmada yang seringkali
disebut-sebut sebagai embrio nasionalisme Indonesia.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .75pt; text-align: justify;">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"> “Sira
Gajahmada lamun huwus kalah Nusantara, ingsun amukti palapa”</span></i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">
begitulah bunyi sumpah palapa yang saya ingat kurang lebih artinya: “Saya
Gajahmada, bila telah berhasil mengalahkan Nusantara baru saya akan berhenti
puasa”. Dengan jelas yang dilakukan Gajahmada adalah proses penaklukan,
ekspansi, dan secara tersirat ada aroma saling kalah-mengalahkan antara
Gajahmada dengan pemerintah kerajaan yang waktu itu mencoba bertahan. Artinya,
nasionalisme yang kita sebut sebagai warisan Gajahmada tersebut awalnya
bukanlah nasionalisme yang terbentuk secara sukarela, melainkan nasionalisme
yang ditempuh melalui peperangan dan pertumpahan darah, nasionalisme yang
berbau politis dan kepentingan bagi yang berpolitik saat itu. Lalu jika hingga
kini sosok Gajahmada masih sering muncul dalam perbincangan mengenai
nasionalisme, masih pantaskah Gajahmada kita anggap sebagai pahlawan
nasionalisme? pahlawan yang menggunakan kekerasan demi tercapainya ekspansi
dengan menafikkan nilai-nilai kemanusiaan. Bagaimana bila esok hari muncul
Gajahmada-gajahmada lain yang melakukan ekspansi, mencaplok wilayah negara lain
demi kepentingannya, masihkah akan kita nobatkan sebagai pahlawan nasionalisme?.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .75pt; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"> Sejarah mencatat begitu banyak
gerakan separatis yang mencoba memisahkan diri dari NKRI, diantaranya PRRI, Permesta,
GAM, RMS, dan Gerakan Papua Merdeka, yang tak kalah menyakitkan adalah
Timor-timur. Pemerintah Indonesia melakukan invasi besar-besaran dalam
permasalahan di Timor-timur sehingga ratusan ribu nyawa rakyat Timor-timur
melayang atas nama pembelaan terhadap nasionalisme, dan itu sangat tragis. Jika
nasionalisme sudah berdiri diatas rasa manusiawi, maka nyawa tak ada harganya, seolah
nasionalisme selalu meminta tumbal untuk mengorbankan rasa kemanusiaan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .75pt; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"> Hampir seluruh gerakan sparatis di
Indonesia ditangani dengan kekerasan agar nasionalisme tidak terkotori oleh
gerakan-gerakan yang ingin memisahkan diri. Menurut saya, nasionalisme semacam
ini hanya mirip dengan pistol yang ditodongkan pada kepala masing-masing orang
agar tidak memberontak, nasionalisme yang tidak jauh berbeda dengan rezim-rezim
fasis yang memaksakan kehendak demokrasi meskipun mereka menyebut dirinya
sebagai bagian dari demokrasi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .75pt; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"> Sebenarnya cikal bakal nasionalisme
itu sendiri adalah pembebasan dan pemerdekaan dari suatu penindasan. Jadi jiwa
yang terdalam dari nasionalisme adalah upaya pembebasan dan pemerdekaan itu
sendiri<a href="file:///D:/UPLOAD%20BLOG/Nasionalisme.doc#_ftn1" name="_ftnref1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[1]</span></span><!--[endif]--></span></a>.
Jika hari ini kita masih melihat fanatisme terhadap nasionalisme, seringkali
kita menyalahkan daerah-daerah yang melakukan gerakan separatis, tak jarang
kita dan juga media massa menyebut gerakan-gerakan separatis sebagai
pemberontak, pembelot, perusak, pengotor nasionalisme, pemecah kesatuan, dan
segala label buruk lainnya. Maka sepertinya kita terlalu tenggelam dalam nasionalisme
versi kita sendiri, versi orang-orang Jakarta, versi masyarakat Jawa, yang
jelas dengan mudah bicara bahwa nasionalisme adalah kebersatuan cinta terhadap
Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena kita tidak merasakan sakit yang
diderita mereka akibat ketimpangan pembangunan ataupun diskriminasi etnisitas
di sana-sini.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .75pt; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"> Pernahkah kita mencoba menelaah
nasionalisme dari sisi mereka?. Kembali mempertegas pernyataan Anselmus
Jahaman, jika jiwa yang terdalam dari nasionalisme adalah upaya pembebasan dan
pemerdekaan, maka bagi kelompok-kelompok separatis di Indonesia, gerakan
separatis adalah nasionalisme versi mereka, yakni upaya pembebasan dan
pemerdekaan bangsanya dari ketertindasan Indonesia. Jika dilihat lebih lanjut, menurut
saya yang membuat daerah-daerah berkecamuk melepaskan diri dari Indonesia pada
dasarnya adalah kekecewaan. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .75pt; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"> “Perlakuan pusat yang tidak adil
kepada daerah, baik di bidang politik, ekonomi, bahkan sosial budaya telah
melahirkan kekecewaan bahkan trauma terhadap negara kesatuan dari sebagian
wilayah<a href="file:///D:/UPLOAD%20BLOG/Nasionalisme.doc#_ftn2" name="_ftnref2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[2]</span></span><!--[endif]--></span></a>.
Kekecewaan ini dapat berupa pengerukan kekayaan daerah ke pusat, pembangunan
yang tidak merata, diskriminasi etnis-etnis dominan, atau bahkan hal-hal berbau
agama. Maka untuk mencapai posisi Indonesia bersatu, menurut saya cara yang
perlu ditempuh pemerintah untuk mencegah maupun mengatasi timbulnya
gerakan-gerakan separatis adalah berlaku adil dan mencukupi kesejahteraan,
karena dengan kesejahteraan, rakyat akan merasa terpuaskan dengan kehidupan
bernegara sehingga gerakan-gerakan separatis dapat diminimalisir, dan rasa
nasionalisme yang mengalir dalam setiap darah bangsa dapat lahir dari
kesukarelaan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .75pt; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"> Kembali pada nasionalisme dalam
tafsiran <i>mainstream</i>, saya ingat betul
bagaimana calon presiden RI nomor urut 1 dalam penyampaian visi-misinya
berulangkali mengatakan “Saya tidak akan membiarkan sejengkal tanah pun lepas
dari Indonesia!”. Pernyataan ini biasanya mendapat aplause meriah dari para
hadirin, namun saya menangkap bahwa pernyataan ini multitafsir. Yang pertama,
calon presiden ingin melindungi wilayah teritorial indonesia dari klaim-klaim
negara lain agar tidak ada sejengkal tanah pun lepas dari Indonesia.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .75pt; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"> Yang kedua, calon presiden tidak akan
membiarkan gerakan separatis tumbuh, mereka dihilangkan dengan cara persuasif
menggunakan strategi-strategi seperti pembangunan yang berasaskan keadilan.
Yang ketiga, calon presiden akan menghalalkan segala cara agar apapun yang
terjadi sejengkal tanah pun tidak lepas dari Indonesia, meskipun harus
mengorbankan dan lagi-lagi menumbalkan rasa kemanusiaan demi membela nama
nasionalisme. Agar tidak multitafsir rasanya calon presiden nomor urut 1 perlu
memberikan konfirmasi yang lebih rinci terkait hal tersebut apakah
pernyataannya patut diapresiasi atau justru diwaspadai, sehingga masyarakat
sipil dapat menentukan pilihannya pada pemilu mendatang.<o:p></o:p></span></div>
<br />
<div>
<!--[if !supportFootnotes]--><br clear="all" />
<hr align="left" size="1" width="33%" />
<!--[endif]-->
<br />
<div id="ftn1">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 2.25pt;">
<a href="file:///D:/UPLOAD%20BLOG/Nasionalisme.doc#_ftnref1" name="_ftn1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 11pt; line-height: 115%;">[1]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Jahaman,
Anselmus. 2001. <i>Nasionalisme Etnisitas</i>.
Yogyakarta: Interfidei. hal. 56<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn2">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///D:/UPLOAD%20BLOG/Nasionalisme.doc#_ftnref2" name="_ftn2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[2]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Kabakoran,
Abubakar. 2003. <i>Nasionalisme Kaum
Pinggiran</i>. Yogyakarta: LKIS</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif";">.
hal 118<o:p></o:p></span></div>
</div>
</div>
Zakiah Fitrihttp://www.blogger.com/profile/03664271286630168563noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3518176273310729578.post-10675125332943914782014-07-06T00:52:00.001-07:002015-10-28T18:12:19.818-07:00Analisis Habitus (Perspektif Bordeau)<div>
Oleh : Zakiah Fitri</div>
<div>
<br />
<br /></div>
<div>
Kali ini saya akan membahas mengenai teis dan ateisme, seperti yang kita tahu, belakangan jumlah ateis dan non believer meningkat. Namun bukan itu yang menjadi pokok bahasan saya, melainkan habitus-habitus, capital yang mempengaruhi, dan juga bahasan singkat tentang doxa, orthodoxa dan heterodoxa yang terdapat pada dua kelompok tersebut berdasarkan analisis sederhana yang saya buat.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraph" style="mso-list: l0 level1 lfo1; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;">
<!--[if !supportLists]--><span style="font-family: Symbol; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-family: Symbol; mso-fareast-font-family: Symbol;">·<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;">
</span></span><!--[endif]--><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Habitus<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"> Habitus merupakan hubungan antara struktur dan individu
yang bersifat resiprokal yang mencerminkan adanya internalisasi dan
eksternalisasi. Dari contoh yang saya kemukakan, bisa dianalisis secara
sederhana, bahwa kaum beragama maupun kaum yang memilih untuk tidak beragama biasanya
memiliki habitusnya masing-masing, Habitus terbentuk melalui lingkungan dan
perjalanan waktu yang di tempuh sehingga mempengaruhi matrix of perception, appreciation
dan juga action<o:p></o:p></span></div>
<table align="left" cellpadding="0" cellspacing="0">
<tbody>
<tr>
<td height="6" width="42"></td>
</tr>
<tr>
<td></td>
<td><br /></td></tr>
</tbody></table>
<div class="MsoListParagraphCxSpFirst" style="margin-bottom: 14.25pt; margin-left: 54.0pt; margin-right: 0cm; margin-top: 14.25pt; mso-add-space: auto; mso-list: l1 level1 lfo2; text-indent: -18.0pt;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">1.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; font-weight: normal; line-height: normal;"> </span></span></b><!--[endif]--><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Habitus orang yang percaya
eksistensi tuhan (Teis)<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoListParagraph" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 54.0pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Matrix of perception:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraph" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 54.0pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Seorang
teis/orang yang meyakini keberadaan tuhan (terutama tuhan personal dalam agama
samawi) dia cenderung akan memandang dunia sebagai hasil ciptaan tuhan dan
mempersepsikan bahwa tuhanlah yang menjalankan sekaligus mengendalikan
hidupnya, begitu juga setiap ada masalah dalam hidup, pandangannya tidak
terlepas dari tuhan dan selalu mengait-ngaitkan bahwa peristiwa apapun yang
terjadi dalam hidupnya adalah kehendak/takdir tuhan<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraph" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 54.0pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraph" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 54.0pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Appretiation:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraph" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 54.0pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Apresiasi
seseorang juga tidak terlepas dari habitus yang ada, saat menemui masalah dalam
hidup pada umumnya teis suka jika mendapat motivasi-motivasi berbau religius, misalnya
motivasi berbunyi <i>“Tetapkan iman dan
keyakinan karena tuhan pasti menolongmu”</i> sebagian besar juga suka dengan hari
raya agamanya, atau mungkin ada yang suka datang rutin ke pengajian.
Apresiasi/kesukaan yang muncul merupakan cerminan dari habitusnya dan ini
terbentuk dari keadaan serta perjalanan sejarah hidupnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraph" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 54.0pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraph" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 54.0pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Action/tindakan:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraph" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 54.0pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Tindakan
yang dilakukan oleh teis dan ateis juga jelas berbeda, teis biasanya akan
melakukan ritual-ritual tertentu dalam agamanya, misalnya berdoa, puasa, sholat,
mengaji, atau bagi yang budha melakukan semedhi, yoga, kebaktian, dan
lain-lain.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 54.0pt; mso-add-space: auto;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 54.0pt; mso-add-space: auto; mso-list: l1 level1 lfo2; text-indent: -18.0pt;">
<!--[if !supportLists]--><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">2.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; font-weight: normal; line-height: normal;">
</span></span></b><!--[endif]--><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Habitus
orang yang tidak percaya eksistensi tuhan (Ateis)<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 54.0pt; mso-add-space: auto; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Matrix of perception:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 54.0pt; mso-add-space: auto; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Ateis tidak mempercayai keberadaan
tuhan, baginya tuhan hanyalah <i>God Of The
Gaps </i>oleh karena itu persepsinya akan berbeda dengan orang yang percaya
tuhan. Orang ateis tidak percaya bahwa dunia ini diciptakan oleh tuhan,
terlebih jika tuhan yang dimaksud adalah tuhan personal atau tuhan <i>supreme being, </i>sebagian besar ateis akan
menjelaskan asal-usul alam semesta dengan probabilitas dan ilmu fisika kuantum
yang dipahaminya, begitu juga saat menemui masalah dalam hidup, ateis tidak
mengaitkannya dengan takdir tuhan, karena orang ateis menganggap bahwa
peristiwa dan masalah yang terjadi adalah sebuah hasil dari probabilitas, bukan
kehendak/rencana/takdir tuhan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 54.0pt; mso-add-space: auto; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 54.0pt; mso-add-space: auto; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Appretiation:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 54.0pt; mso-add-space: auto; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Ateis tidak suka berdoa, tidak suka
melakukan ritual-ritual dan cenderung tidak suka motivasi-motivasi berbau
religius. Jika dihadapkan pada suatu pertanyaan, mereka pada umumnya cenderung
lebih menyukai jawaban-jawaban logis dari penelitian, jurnal ilmiah dan ilmu
pengetahuan yang ada daripada jawaban versi agama.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 54.0pt; mso-add-space: auto; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 54.0pt; mso-add-space: auto; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Action/tindakan:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 54.0pt; mso-add-space: auto; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Karena ateis tidak percaya tuhan, maka
tindakannya dalam menghadapi suatu masalah juga berbeda dengan orang yang
percaya tuhan. Ateis cenderung akan mencari solusi yang dianggapnya real dan
masuk akal, misalnya jika sakit langsung saja ke dokter, jika ingin pandai maka
belajar, bukan berdoa.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 54.0pt; mso-add-space: auto; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="mso-list: l0 level1 lfo1; text-indent: -18.0pt;">
<!--[if !supportLists]--><span style="font-family: Symbol; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-family: Symbol; mso-fareast-font-family: Symbol;">·<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;">
</span></span><!--[endif]--><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Modal
(Capital)<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Modal/Capital ini dapat
mempengaruhi habitus masing-masing orang. Setidaknya ada empat Capital yang
bisa dijabarkan.<b><o:p></o:p></b></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 54.0pt; mso-add-space: auto; mso-list: l2 level1 lfo3; text-indent: -18.0pt;">
<!--[if !supportLists]--><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">1.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; font-weight: normal; line-height: normal;">
</span></span></b><!--[endif]--><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Cultural
Capital :</span></b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 54.0pt; mso-add-space: auto; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">atau juga disebut modal informasi
misalnya adalah pendidikan. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi
pendidikan seseorang maka semakin menurun tingkat keyakinannya terhadap agama<a href="file:///D:/UPLOAD%20BLOG/RESPON%20PAPER_BORDEAU.doc#_ftn1" name="_ftnref1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[1]</span></span><!--[endif]--></span></a>.
Orang yang berpendidikan tinggi cenderung banyak membaca dan banyak mengetahui
isu-isu terkini sekaligus melihatnya dari berbagai sudut pandang. Orang yang
rajin membaca buku dan mempelajari banyak ilmu pengetahuan akan mengetahui
bahwa dalam sejarah manusia terdapat sekitar 5000 agama yang ada di dunia
sehingga pikirannya lebih terbuka. Orang berpendidikan misalnya filsafat juga
akan belajar tentang jenis-jenis <i>logica
fallacy</i>, sehingga tidak akan mengklaim agamanya yang paling benar. Sementara
orang berpendidikan rendah cenderung mengambil kesimpulan bahwa agamanya paling
benar karena jarang membaca buku, jarang mempelajari sejarah dan jarang melihat
isu-isu terkini dari berbagai sudut pandang.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 54.0pt; mso-add-space: auto; mso-list: l2 level1 lfo3; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;">
<!--[if !supportLists]--><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">2.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; font-weight: normal; line-height: normal;">
</span></span></b><!--[endif]--><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Social
Capital :<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 54.0pt; mso-add-space: auto; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Hal ini juga dapat mempengaruhi habitus
seseorang. Social Capital ini melingkupi pergaulan, jaringan dan dengan siapa
individu tersebut berinteraksi. Jika dikaitkan dengan masalah teis dan ateis,
bisa ditarik contoh misalnya: orang yang sehari-harinya hanya bergaul dengan
kelompok teis fanatik (misalnya FPI) bisa terpengaruh untuk menjadi fanatik
juga, lain halnya dengan orang yang berinteraksi dengan berbagai kelompok, maka
pikirannya akan lebih terbuka dengan hal-hal baru yang berbeda. Keputusan
seseorang untuk menjadi ateis pun juga tak lepas dari capital social,
teman-temannya, dosen-dosennya, perlakuan orang tuanya, dan orang-orang yang
berinteraksi dengannya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 54.0pt; mso-add-space: auto; mso-list: l2 level1 lfo3; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;">
<!--[if !supportLists]--><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">3.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; font-weight: normal; line-height: normal;">
</span></span></b><!--[endif]--><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Symbolic
Capital :<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 54.0pt; mso-add-space: auto; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Merupakan sesuatu yang simbolik dan
sifatnya sangat berpengaruh. Orang yang fanatik terhadap agamanya akan mudah
terpengaruh oleh orang lain dengan simbol-simbol tertentu, misalnya ada ulama
yang memfatwa bahwa ateis halal untuk dibunuh, maka orang yang fanatik terhadap
agamanya akan dengan mudah mengkafir-kafirkan orang lain, atau bahkan membantai
ateis karena ulama tersebut memiliki Symbolic Capital.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 54.0pt; mso-add-space: auto; mso-list: l2 level1 lfo3; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;">
<!--[if !supportLists]--><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">4.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; font-weight: normal; line-height: normal;">
</span></span></b><!--[endif]--><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Material
Capital :<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 54.0pt; mso-add-space: auto; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Modal materi dengan segala bentuknya
seperti uang, harta benda, rumah dan sebagainya juga merupakan modal yang tak
terelakkan dalam mempengaruhi habitus. Dari beberapa negara yang tercatat
sebagai negara dengan jumlah prosentase ateis terbanyak, sebagian besar berasal
dari negara-negara maju. Seperti Jepang, Perancis, Amerika, Finlandia, China,
dan Rusia. kebanyakan dari mereka hidup di negara yang kaya sehingga dapat
dengan mudah mengakses pendidikan dan informasi. inilah mengapa material
capital juga berpengaruh dalam pembentukan habitus.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 54.0pt; mso-add-space: auto; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="mso-list: l0 level1 lfo1; text-indent: -18.0pt;">
<!--[if !supportLists]--><span style="font-family: Symbol; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-family: Symbol; mso-fareast-font-family: Symbol;">·<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;">
</span></span><!--[endif]--><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Field:<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Merupakan
kumpulan habitus atau tempat dimana habitus saling bertarung untuk mendapat
pengaruh. Sebagai ilustrasi: Seseorang yang lahir dari keluarga Islam fanatik
awalnya memiliki habitus untuk mengkafir-kafirkan orang lain yang berbeda
agama, namun kemudian ia kuliah di sebuah universitas terkemuka yang
multikultur ia bertemu dengan banyak orang, belajar menghargai perbedaan dan
bersinggungan dengan habitus-habitus lain sehingga habitus-habitus tersebut
saling bertarung di dalam field untuk mendapatkan pengaruh.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="text-align: justify;">
<br />
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US;">Doxa, Ortodoxa, Heterodoxa</span></b><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgdY0-quUpfmeN5Z7VBGG9AUmNudQZX73Jk1z67fevVx9AIMwiXudheSI5mP53IODwCULIwVxuSl955tZk8PER5XX-DwUDjsn7lQ2pV9sHwkkgt7gHlF2yl2HzmrPCt4oRC3WLIjEyFy9w/s1600/doxa.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="284" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgdY0-quUpfmeN5Z7VBGG9AUmNudQZX73Jk1z67fevVx9AIMwiXudheSI5mP53IODwCULIwVxuSl955tZk8PER5XX-DwUDjsn7lQ2pV9sHwkkgt7gHlF2yl2HzmrPCt4oRC3WLIjEyFy9w/s1600/doxa.jpg" width="320" /></a></div>
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US;"><br /></span></b>
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US;"><br /></span></b>
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US;"><br /></span></b>
<br />
<div class="MsoListParagraphCxSpFirst">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"> Menurut
Bordeau, Field bisa jadi merupakan wilayah dominasi.Opini yang disebut Doxa,
dalam hal ini dogma agama mengenai kekuasaan tuhan dan nabi-nabi dapat
dikatakan sebagi doxa karena apa yang ada dalam ajaran agama seringkali menjadi
sesuatu yang <i>taken for granted</i>, hal
itu diterima begitu saja menjadi suatu kebenaran umum tanpa dipertanyakan lagi.
Eksistensi dogma agama sebagai doxa didukung oleh adanya lembaga-lembaga yang
menyokong seperti adanya kementrian agama, sekolah-sekolah berbasis agama,
organisasi-organisasi keagamaan seperti MUI dan lain-lain. <o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoListParagraphCxSpLast">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"> Tapi di sisi lain muncullah heterodoxa
yang berusaha meruntuhkan doxa. Orang-orang ateis, agnostik, skeptis, dan para
non believer lainnya memunculkan hetrodoxa. Mereka menawarkan
penjelasan-penjelasan ilmiah dan positivis untuk meruntuhkan klaim-klaim agama
yang seringkali dianggap tidak ilmiah dan tidak terbukti kebenarannya. Jika
angka-angka statistik pada artikel diatas boleh dipakai untuk menyimpulkan
analisis saya, maka hemat saya Ateis sebagai heterodoxa hampir berhasil
mencapai tujuannya, yakni mengikis doxa.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div>
<!--[if !supportFootnotes]--><br clear="all" />
<hr align="left" size="1" width="33%" />
<!--[endif]-->
<br />
<div id="ftn1">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///D:/UPLOAD%20BLOG/RESPON%20PAPER_BORDEAU.doc#_ftnref1" name="_ftn1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US;">[1]</span></span><!--[endif]--></span></a>
Shermer, Michael. 1999. <i>How We Believe: Science,
Skepticism, and the Search for God</i>. New
York: William H Freeman. hlm. pp76–79</div>
</div>
</div>
</div>
Zakiah Fitrihttp://www.blogger.com/profile/03664271286630168563noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3518176273310729578.post-76015692491454459532014-07-06T00:31:00.001-07:002016-07-25T21:19:03.566-07:00Analisis Tradisi Kue Apem (Perspektif Peter L Berger)<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<b style="line-height: 150%;"><span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Oleh : Zakiah Fitri</span></b><br />
<b style="line-height: 150%;"><span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><br /></span></b>
<b style="line-height: 150%;"><span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Asumsi Dasar:</span></b><span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> </span><br />
<ul>
<li><span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Internalisasi <o:p></o:p></span></li>
</ul>
</div>
<div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; mso-add-space: auto; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">adalah penyerapan kembali realitas objektif ke dalam
kesadaran subjektif manusia. Melalui internalisasi, manusia melakukan proses
adaptasi terhadap apa yang telah dibuatnya sendiri. Masyarakat kini berfungsi
sebagai pelaku formatif bagi kesadaran individu. Agar tidak menjadi terasing
atau teralienasi, manusia harus menyesuaikan diri dengan masyarakat di mana ia
berada.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<br />
<ul>
<li><span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Eksternalisasi <o:p></o:p></span></li>
</ul>
</div>
<div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; mso-add-space: auto; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">adalah sebuah upaya untuk mengaktifkan atau
mengeksiskan diri (manusia) terhadap dunia luar, salah satunya di dasari pada
sebuah kebutuhan. Atau proses manusia
menciptakan sesuatu.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<br />
<ul>
<li><span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Obyektivasi <o:p></o:p></span></li>
</ul>
</div>
<div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; mso-add-space: auto; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">adalah interaksi sosial dalam dunia intersubjektif
yang dilembagakan atau mengalami proses intitusionalisasi, dan internalisasi
adalah individu mengidentifikasi diri di tengah lembaga-lembaga sosial dimana
individu tersebut menjadi anggotanya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: left;">
<b><span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Sepenggal Cerita Dibalik Kue Apem<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgvpcy1_7xiZKWDhpIGHhCsuLa294iLy95k1PxDtv3ycJaiFeOdroVHTDeQ9doyfODUM1hrtF1np0gR01OTaVYAmvd6WFgzZqCmACcVZYNrZJUpcb6q03av_NoeoX7tRK1ncEP2qTyWyOg/s1600/apem-2.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="300" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgvpcy1_7xiZKWDhpIGHhCsuLa294iLy95k1PxDtv3ycJaiFeOdroVHTDeQ9doyfODUM1hrtF1np0gR01OTaVYAmvd6WFgzZqCmACcVZYNrZJUpcb6q03av_NoeoX7tRK1ncEP2qTyWyOg/s1600/apem-2.jpg" width="400" /></a></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<b><span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><br /></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Kue
apem adalah salah satu makanan khas di Indonesia, khususnya Jawa. Nampaknya
sepele, tapi dibalik kue apem yang nampak sederhana tersebut tersimpan banyak
cerita dan filosofi yang dipercaya oleh sebagian masyarakat Jawa. Pada setiap
slametan (slametan adalah sebuah budaya dari jawa yang biasanya dilakukan
dengan cara membuat makanan-makanan tertentu yang kemudian dibagikan sembari
menyertakan doa-doa yang dipanjatkan), <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> dalam pengamatan saya di Kota
Kelahiran saya, Malang juga tidak lepas budaya menyertakan kue apem, slametan
kematian misalnya, kue apem adalah makanan wajib yang tidak boleh dilewatkan. Meski
pada dasarnya dalam ajaran Islam tidak pernah ada perintah menyertakan kue apem
pada slametan kematian, tetapi masyarakat Islam kota Malang banyak yang
menyertakan kue apem pada setiap acara tersebut, akulturasi nampak jelas dalam
tradisi ini.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> Kalaulah kemudian ada anggota
masyarakat yang dalam pelaksanaan selamatan tidak mampu memberikan hidangan dan
kue yang bermacam-macam. Maka sajian kue apem dirasa cukup untuk menggantikan
itu semua. Sebaliknya, kalau kemudian ada orang yang mampu menyediakan beragam
sajian dan jajanan dalam sebuah selamatan, tapi tidak menyediakan kue apem.
Maka ia dianggap menyalahi kebiasaan, ia dianggap tidak memiliki kesadaran
kolektif.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> Sehingga wajar jika kemudian banyak
orang yang menggunjing perbuatan itu, sebagai sanksi adat, meskipun kue yang
disajikan lebih enak dan variatif. Masyarakat menganggap orang yang menyalahi
kesadaran kolektif yang demikian itu sebagai orang yang tidak menghargai
filosofi yang terkandung di dalam kue apem. Padahal oleh masyarakat setempat
filosofi yang demikian itu diyakini akan berbuah konkritisasi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<b><span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Analisis<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Jika
ditelusuri dari logika Peter L Berger, hal ini bisa diuraikan dan dikaji
melalui analisis internalisasi, objektifasi dan eksternalisasi yang digagas
olehnya, berikut analisisnya:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpFirst" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; mso-add-space: auto; mso-list: l0 level1 lfo1; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;">
<!--[if !supportLists]--><span style="font-family: "symbol"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">·<span style="font-family: "times new roman"; font-size: 7pt; line-height: normal;">
</span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Internalisasi
: Saya akan memulai analisis saya dari internalisasi<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; mso-add-space: auto; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Masyarakat yang menyertakan kue apem
dalam setiap upacara kematian, mendapatkan nilai-nilai tersebut dari nenek
moyangnya/lingkungan yang ada. Sehingga dalam proses tersebut, nilai-nilai
ditransfer ke dalam individu dan terjadilah internalisasi<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; mso-add-space: auto; mso-list: l0 level1 lfo1; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;">
<!--[if !supportLists]--><span style="font-family: "symbol"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">·<span style="font-family: "times new roman"; font-size: 7pt; line-height: normal;">
</span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Objektifasi<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; mso-add-space: auto; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Setelah terjadi internalisasi,
individu dan masyarakat menilai dan menimbang kembali apa yang telah
diinternalisasikan. Nilai-nilai yang ada dipertimbangkan, <i>apakah seharusnya saya menyertakan apem? atau sebaiknya tradisi apem
ditinggalkan?</i>. Pertanyaan seperti ini seringkali muncul saat objektivasi
sedang berlangsung. Dalam kasus yang saya angkat, masyarakat menerima
nilai-nilai tentang penyertaan apem dalam slametan, sehingga nilai tersebut
telah diakui masyarakat dan menjadi kesepakatan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; mso-add-space: auto; mso-list: l0 level1 lfo1; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;">
<!--[if !supportLists]--><span style="font-family: "symbol"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">·<span style="font-family: "times new roman"; font-size: 7pt; line-height: normal;">
</span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Eksternalisasi<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; mso-add-space: auto; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Tindakan menyertakan kue apem dalam setiap slametan
kematian adalah bentuk eksternalisasi, seperti gambar yang saya pasang diatas,
kue apem yang tampak sebagai sajian wajib pada slametan kematian 40 hari
merupakan bentuk dari eksternalisasi, sehingga hal tersebut merupakan realitas
objektif. Seandainya seseorang melakukan slametan kematian tanpa menyertakan
apem, tentu ia akan mendapat sanksi sosial berupa ejekan dan gunjingan. Maka
dari itu, masyarakat yang hidup di lingkungan tersebut menyesuaikan diri dengan
mengikuti tradisi tersebut agar tidak mendapat sanksi sosial.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<b><span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><br /></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<b><span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><br /></span></b></div>
Zakiah Fitrihttp://www.blogger.com/profile/03664271286630168563noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3518176273310729578.post-89521786376503932932014-01-12T01:08:00.000-08:002014-10-12T01:10:20.678-07:00Antara Perempuan dan Batu Giok<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: center;">
<!--[if gte vml 1]><v:rect id="_x0000_s1026"
style='position:absolute;left:0;text-align:left;margin-left:-75.75pt;
margin-top:-63pt;width:582.75pt;height:61.5pt;z-index:251657728'
strokecolor="white">
<v:fill opacity="0"/>
<v:textbox inset="6.75pt,3.75pt,6.75pt,3.75pt">
<![if !mso]>
<table cellpadding=0 cellspacing=0 width="100%">
<tr>
<td><![endif]>
<div>
<p class=MsoNormal>
Nama<span style='mso-tab-count:1'> </span>: Fitriatus
Zakiah</p>
<p class=MsoNormal>
Kelas<span style='mso-tab-count:1'> </span>: Kajian
gender/ B sos2</p>
</div>
<![if !mso]></td>
</tr>
</table>
<![endif]></v:textbox>
</v:rect><![endif]--><!--[if !vml]--><span style="mso-ignore: vglayout; position: relative; z-index: 251657728;"><span style="height: 88px; left: -102px; left: 0px; position: absolute; top: -85px; width: 783px;"><br /></span></span></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhTxKzrqPTHgxwk61oiuGcN_yx8ZHWSJsTqXy53lp87HjToyK04bF5snwhm-6rddL2dUNYzDeNY8r_W9n4Zy3uGgn6hQzCUHtnUX4qWkaGU-2R6SeTi1hWY8rfX7MaWZaBSjVgEtmvOTrU/s1600/purple-crayon-drawn-female-gender-sign-or-symbol.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhTxKzrqPTHgxwk61oiuGcN_yx8ZHWSJsTqXy53lp87HjToyK04bF5snwhm-6rddL2dUNYzDeNY8r_W9n4Zy3uGgn6hQzCUHtnUX4qWkaGU-2R6SeTi1hWY8rfX7MaWZaBSjVgEtmvOTrU/s1600/purple-crayon-drawn-female-gender-sign-or-symbol.jpg" /><span style="font-size: 16pt; line-height: 150%;"> </span></a></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: center;">
<i><span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-family: Calibri;">“Wanita
adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah istri yang solehah” <o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-family: Calibri;">Kalimat itu begitu terkenal
dalam masyarakat, terutama masyarakat muslim karena kalimat itu adalah petikan
salah satu ayat Al-Qur’an. Tanpa sadar jutaan manusia terhegemoni atas nama
pensucian agama sehingga menafsirkan bahwa perempuan memanglah benar-benar
perhiasan yang menghiasi setiap rumah-rumah suaminya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-family: Calibri;">Artinya? Perempuan tanpa sadar
semakin disudutkan sebagai objek yang tak bergerak sesuai keinginannya, menjadi
benda kepemilikan suaminya, dan lebih parahnya lagi perhiasan haruslah indah. Oleh
karena itu sering saya dengar di pengajian-pengajian bahwa adalah wajib bagi
seorang istri berdandan secantik-cantiknya untuk menyenangkan hati suaminya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-family: Calibri;">Sementara laki-laki? setelah
saya bolak-balik halaman Al-Qur’an memang tak ada satu ayatpun yang
menjelaskan, atau setidaknya menyiratkan, agar mereka harus merawat diri untuk
membuat istrinya senang. Malah sebaliknya, kewajiban merawat tubuh lelaki
dilimpahkan pada perempuan mulai dari mencuci baju hingga menyediakan pilihan
makanan yang bagus untuk kesehatan laki-laki.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-family: Calibri;">Terus terang saya jadi sedikit
meragukan keotentikan kitab suci agama saya tersebut, terlebih setelah melihat
ayat-ayat lain yang berisi ijin poligami, pemukulan terhadap istri, dan hal-hal
kodrati yang katanya berpotensi menyeret perempuan ke dalam neraka. Misalnya
saja karena perempuan memiliki tubuh yang bisa memancing syahwat laki-laki,
maka perempuanlah yang paling ditekan untuk menundukkan pandangan, seolah tubuh
perempuanlah yang paling disalahkan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-family: Calibri;">Jadi apakah sesungguhnya kitab
suci yang diyakini kebenarannya oleh sekitar 1,5 milyar manusia di planet bumi
ini mengandung bias gender? Atau memang begitulah cara yang paling adil menurut
tuhan? Atau jangan-jangan tuhan dan ayat-ayat dalam kitab suci tersebut
hanyalah konspirasi para lelaki berkedudukan kuat yang hidup di jaman dahulu
kemudian menuliskan hukum-hukum secara sangat subjektif dan menjadi sesuatu
yang <i>taken for granted</i> hingga kini?
Nobody knows.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-family: Calibri;">Nah, disini saya melihat, betapa
timpangnya kedudukan antara perempuan dan laki-laki, terutama pada masyarakat
tradisional dengan nilai-nilai teologis yang masih sangat kental. Sebagai
contoh adalah Desa Sekarpuro, tempat kelahiran saya yang nilai-nilai Islamnya
cukup kuat. Ayat sesederhana ini tak ayal bukan hanya akan berlaku dalam
kehidupan rumah tangga, tapi juga merembet pada kehidupan bermasyarakat.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-family: Calibri;">Imbasnya, perempuan menjadi tak
bisa berkembang. Bisa saja mereka mendapat ijin dari suaminya untuk bekerja,
tapi tidak akan maksimal karena mereka sendiri menganggap pekerjaan mereka
bukanlah untuk aktualisasi diri, berprestasi, menguasai pasar, dan lain-lain. Kebanyakan
dari mereka hanya mau menjadi penyokong ekonomi sampingan belaka. Ditambah lagi
interpretasi tentang kewajiban perempuan untuk melayani suami, saat perempuan
sedang malas, maka kekerasan dalam rumah tangga oleh suami sangat mungkin
terjadi, dan ini semakin memperparah kesenjangan gender. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-family: Calibri;">Atau bisa saja mereka mendapat
ijin bersekolah, tapi pendidikan untuk perempuan di desa tersebut saya rasa
sangatlah diskriminatif. Pernah suatu hari saat saya berkunjung, ada seseorang
yang berkata <i>“Lapo sekolah duwur-duwur
nduk, arek wedok ae kok ujung-ujunge yo ndek pawon”</i>. (Untuk apa sekolah
tinggi-tinggi, ujung-ujungnya juga di dapur).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-family: Calibri;">Perempuan tidak akan
disekolahkan lebih tinggi daripada laki-laki, meskipun kemampuan intelektualnya
lebih baik. Hal paling penting bagi masyarakat patriarki yang tradisional dan
teologis seperti itu adalah menjalankan ajaran-ajaran kitab sucinya sesuai
interpretasi pada umumnya. Tapi jika sejarah mencatat bahwa interpretasi kitab
selalu dilakukan oleh laki-laki, bukankah itu sebuah pertanyaan besar?<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-family: Calibri;">Selain itu, budaya di kalangan pemuda
pun saya rasa masih demikian, tanpa sadar perempuan muda mengubur
kehebatan-kehebatan potensi dirinya sendiri dengan mengatakan “Kalau suatu hari
menikah, saya tidak ingin gaji saya lebih tinggi dari suami saya”. Mereka
menganggap bahwa memiliki gaji yang lebih tinggi dari suami adalah hal yang
tabu. Artinya, mereka merasa tak ingin mengalahkan laki-laki beserta
patriarkinya itu, meskipun menurut saya memang tujuan dari kesetaraan gender
bukanlah untuk mengalahkan satu sama lain, tapi setidaknya ucapan-ucapan semacam
itu secara implisit tentu akan mengabadikan struktur patriarki.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-family: Calibri;">Seperti halnya teori feminis
marxis, yang berkuasa adalah yang memiliki modal, yang memegang kendali adalah
yang bekerja di sektor publik serta dibayar, dan pemilik modal cenderung akan
mengeksploitasi pihak yang tidak memiliki modal. Maka untuk mencapai
kesetaraan, langkah awal yang perlu dilakukan adalah membuat perempuan sadar
dengan posisi domestiknya yang identik dengan proletar. Timbulnya kesadaran
akan posisi perempuan sebagai pihak yang ditindas tersebut diharapkan oleh
feminis marxis dapat membangkitkan perlawanan terhadap laki-laki yang identik
dengan kaum borjuis, sehingga sistem patriarki dapat diruntuhkan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-family: Calibri;">Saya jadi berpikir lebih lanjut,
apakah misalnya saja setelah sistem patriarki yang menomorsatukan laki-laki
bisa dihancurkan akan menjamin terciptanya kesetaraan gender? Mengingat tujuan
utama feminis marxis adalah untuk menciptakan keadilan gender, bukan
ketimpangan. Saya rasa segala kemungkinan bisa terjadi, mungkin keadilan gender
akan tercipta, mungkin juga perempuan malah akan menggantikan posisi dan
berganti mengeksploitasi laki-laki, atau bahkan mungkin tidak sama sekali,
seperti halnya sejarah yang mencatat bahwa tak pernah ada kelas proletar yang
berhasil mengubah struktur kapitalis menjadi sosialis.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-autospace: ideograph-numeric; text-indent: 36.0pt;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-family: Calibri;">Tapi bagi saya, setidaknya
menyadarkan perempuan terhadap posisinya adalah sangat penting. Selanjutnya
perempuan bisa memilih untuk berjuang memiliki kebebasan seperti laki-laki. Saya
pribadi tak ingin melihat banyak perempuan secara tak sadar tertindas dan
terjebak oleh nilai-nilai patriarki hingga tak bisa keluar darinya, seperti
halnya gadis-gadis lugu di Desa Sekarpuro, tak ubahnya bagai batu giok yang
berharga dan dihargai tetapi tak punya pilihan dalam menentukan arah hidup.<o:p></o:p></span></div>
<div>
<div id="ftn3">
</div>
</div>
Zakiah Fitrihttp://www.blogger.com/profile/03664271286630168563noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3518176273310729578.post-32578339844803685252013-10-14T02:48:00.000-07:002014-10-05T02:54:48.028-07:00Kasta Makanan, Kasta Peradaban<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: 13.5pt; margin-left: 0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm;">
<br /></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm;">
<span style="font-size: 13.5pt;">Mulai banyak yang berbicara soal kambing
kurban..<o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-size: 13.5pt;">Aku melihatnya
sebagai suatu pelarian irrasional berdasarkan konstruksi yang tercipta dalam
masyarakat. Akan ku mulai ini dari Jawa tengah, disana ratusan warga mengantri
berjubel dan rela berdesak-desakan hanya untuk mendapatkan kupon daging kurban,
bahkan ada anak perempuan berusia sekitar 11 tahun hampir pingsan karena
berdesakan di tengah-tengah orang dewasa yang nampaknya jarang sekali makan
daging kambing itu.<o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-size: 13.5pt;">Lantas saya
tertegun memandangi layar kaca televisi seolah makhluk-makhluk yang ingin
mendapatkan kupon daging kurban tersebut telah terhipnotis dan lupa akan makna
hari rayanya sendiri. Jika dirunut dari sisi mereka maka tuhan memang
memerintahkan manusia untuk berkurban di hari raya idul adha. Berdasarkan mitos
yang sering terdengar, hal itu adalah untuk memperingati terjadinya
penyembelihan nabi Ibrahim terhadap anaknya yang kemudian dibatalkan Allah
karena semata Ia hanya menguji, dan juga untuk menebus setiap diri muslim dari
gadai agar garis keturunannya kelak diakui di akhirat (tujuan aqiqah). Tapi
yang terjadi dalam realita seperti di Jawa Tengah, rebutan kupon daging gratis.
What for?<o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-size: 13.5pt;">Masyarakat kini
benar-benar terdogma, terhegemoni dan terkonstruksi untuk meyakini bahwa daging
adalah makanan lezat yang biasa dimakan mulut para elitis. Sama halnya dengan
beragama, manusia yang lahir di lingkungan Hindu cenderung akan menjadi seorang
Hindu, yang lahir diantara keluarga zoroaster juga kemungkinan besar akan
tumbuh menjadi seorang penganut zoroaster. Demikian pula, kambing yang
terdefinisi sebagai “makanan enak” adalah hasil konstruksi, menyebalkan sekali
melihat manusia seolah menempatkan daging dalam kasta teratas makanan sehingga
mereka berusaha mengejar-ngejar makanan di kasta tertinggi itu. Padahal untuk
menikmati makanan lezat, lidah yang pada dasarnya memiliki subjektifitasnya
masing-masing ini tidak berpihak pada keharusan memilih daging untuk dimakan.
Jamur atau salad bisa menjadi makanan yang lezat jika kita benar-benar mau
menyingkirkan pendapat umum tentang makanan yang dari kecil sudah didefinisikan
sebagai makanan lezat dan tentu saja mahal.<o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-size: 13.5pt;">Selanjutnya saya
jadi berpikir apakah ini tanda sebuah kerakusan? Memang jika masih berpijak
pada hasil konstruksi yang menghasilkan kasta makanan, maka seolah-olah banyak
masyarakat berlomba untuk menikmati makanan dengan kasta tertinggi. Ckckckc
ditambah lagi iklan-iklan politik semacam: “Berbagi daging untuk sesama”
nampaknya bijaksana, manusiawi dan menceritakan seorang miskin yang wajahnya
begitu bersinar-sinar dan bahagia setelah menerima santunan daging kurban. Holy
shit! Apa yang dilakukan petinggi-petinggi parpol itu, mereka meracuni
rakyatku, saudara-saudaraku dengan tersirat melegitimasi bahwa kebenaran kasta
tertinggi dalam makanan adalah daging. Efek buruknya adalah kemiskinan mental,
mereka yang mengantri berjejal dan berdesakan hingga berebut dan menyingkirkan
sesamanya demi mendapatkan kupon daging adalah bentuk kemiskinan mental yang
kumaksud.<o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-size: 13.5pt;">Beralih ke Jawa
Timur, tempat dimana aku tinggal saat ini. Tradisi yang sering terlihat disini
khususnya Kabupaten Malang, adalah panitia bersama-sama memanggang sate di sisi
masjid setelah kambing disembelih, lengkap dengan nasi hangat, saus kacang,
acar mentimun dan taburan bawangnya. Lebih mirip seperti pesta daripada
essensinya, berbagi pada sesama bukan?<o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-size: 13.5pt;">Pernah juga
kudengar bahwa menyembelih dan memakan daging kurban pada dasarnya adalah
penyimbolan untuk membunuh sifat-sifat kebinatangan dalam diri muslim serta
diharuskan untuk selalu bersyukur karena telah menikmati daging yang
disediakan tuhan. Tapi betapa ganjilnya antara realita dan dogma, karena daging
kambing yang dimakan manusia akan meningkatkan tekanan darah dan justru
meningkatkan libido, emosi dan temperamen yang<span class="apple-converted-space"> </span><i>moody</i>, kalau sudah begini
lantas sifat kebinatangan mana yang mau dibunuh??<o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-size: 13.5pt;">Ditambah lagi
daging yang dibakar dengan arang (sate) mengandung unsur karsinogenik, sebuah
senyawa yang memicu tumbuhnya kanker. Lalu atas dasar apa manusia diperintahkan
bersyukur setelah mengkonsumsi daging kurban? Merasakan kenikmatan sesaat
karena berhasil memakan makanan borjuis? Terdengar begitu kekanak-kanakan.<o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-size: 13.5pt;">Ada lagi cerita
dari daerah Jakarta Selatan, seorang nenek tua yang bekerja sebagai pengumpul
plastik bekas rela menabung selama tujuh tahun untuk membeli seekor kambing
kurban seharga 2 juta rupiah. Usahanya patut diacungi jempol karena dia
menyisihkan Rp 1000 perhari dari penghasilannya yang hanya berkisar antara Rp
5000- Rp 12.000, ada-ada saja pikirku dalam hati. Hal ini menunjukkan
betapa kuatnya pengaruh iklan-iklan politik abal-abal yang kukatakan di
atas dengan cepat menyulap motivasi masyarakat, penduduk yang lemah secara
ekonomi pun akan berusaha keras untuk dapat berkurban.<o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-size: 13.5pt;">Hal lain yang
ingin aku kemukakan dari betapa besarnya semangat masyarakat melakukan kurban
adalah betapa besarnya pula kerusakan lingkungan. Sesuai hukum pasar, jika
suatu komoditi banyak diminati maka permintaan akan naik dan produsen akan
berusaha memenuhi permintaan pasar. Nah permintaan hewan kurban yang membludak
tentulah akan membuat produsen dengan berbagai macam caranya meningkatkan
produktivitas. Bisa dibayangkan, sapi, kambing, kerbau adalah binatang seperti
manusia yang menghasilkan banyak karbondioksida setiap menitnya, jika semakin
banyak sapi-sapi, kambing-kambing, kerbau dan onta yang dilahirkan maka semakin
banyak pula karbondioksida yang dihasilkan untuk bumi. Padahal seluruh dunia
juga tahu adanya kerusakan hutan dan penyusutan oksigen di bagian sana-sini di
setiap belahan bumi.<o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-size: 13.5pt;">Belum lagi
kotoran yang dihasilkan ternak-ternak tersebut mengandung amoniak, metana serta
dinitrogen oksida yang mengganggu keseimbangan alam. Kekuatan metana yang
dihasilkan oleh peternakan adalah 100 kali lipat lebih kuat daripada
karbondioksida, sedangkan dinitrogen oksida potensinya adalah 300 kali lipat
lebih panas dari karbondioksida dan hingga saat ini peternakan adalah
penyumbang terbesar untuk mempercepat proses pemanasan global beserta
pencairan es di kutub. Berdasarkan penelitian PBB emisi peternakan lebih tinggi
dibandingkan emisi transportasi yang digabungkan dari seluruh kendaraan di
dunia.<o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-size: 13.5pt;">Begitu juga
dengan penggunaan air, untuk memproduksi 1 kilogram daging diperlukan sekitar
200.000 liter air, sementara untuk memproduksi 1 kilogram kedelai hanya butuh
2.000 liter, 900 untuk menghasilkan gandum, dan 650 liter untuk menghasilkan
jagung. Industri peternakan adalah industri yang sama sekali tidak hemat energi
dan merusak lingkungan. Oleh karena itu rasanya tidak berlebihan jika saya mengatakan
bahwa para pengonsumsi daging adalah kelompok yang paling pantas dipersalahkan
atas terjadinya kerusakan lingkungan dan percepatan pemanasan global.<o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-size: 13.5pt;">Jika saya
seorang theis sejati mungkin saya sudah berdoa kepada tuhan agar menaikkan
harga-harga daging per kilogramnya seharga 10 kali mobil BMW keluaran terbaru
agar harganya tidak terjangkau oleh kebanyakan rakyat dunia. Karena harga itu
cukup pantas untuk mengganti kerusakan dan pencemaran lingkungan yang terjadi
akibat pola pengkonsumsian daging. Tapi itu hanya sebuah ide, yang paling
penting adalah bagaimana kita mulai belajar hidup sebagai vegetarian.<o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-size: 13.5pt;">Mulailah dari
hal kecil yang bisa kita lakukan, misalnya saja jika dalam sehari anda
mengkonsumsi 200 gram daging maka turunkan angkanya secara bertahap
mengkonsumsi 200 gram daging setiap dua hari sekali, tiga hari sekali, empat
hari sekali, sampai anda benar-benar jarang memakan daging, kemudian ajaklah
orang-orang disekitar untuk sadar betapa sehatnya sayur dan buah. Jika sudah
melakukan hal tersebut, anda layak untuk disebut sebagai penyelamat kehidupan
di bumi.<o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-size: 13.5pt;">Kembali pada
idul adha dan tradisi aqiqah, mungkin anda yang muslim akan bersikukuh untuk
melaksanakan ritual kurban. Saya dapat memahaminya karena konstruksi yang
tercipta memang begitu kuat, hingga kebanyakan masyarakat tidak akan bisa
melepaskan diri dari jerat konstruksi. Tapi coba bayangkan apa yang akan
terjadi 50 tahun ke depan jika kita tetap menjadi seekor omnivora dan cenderung
karnivora, anak cucu kita? Mungkin mereka tidak akan berkesempatan lagi untuk
melihat lucunya pinguin di kutub, karena kutubnya telah mencair dan menggenangi
daratan. Oksigen juga semakin menyusut jika setiap satu orang bersikukuh
mengorbankan seekor kambing tak bersalah atas nama tuhan. Jika sudah terjadi kerusakan
alam akibat pola konsumsi daging, itukah tujuannya?<o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-size: 13.5pt;">Kita hidup di
bumi yang sama, kebersihan hati dan pensucian diri dari sifat-sifat kebinatangan
terdapat dalam perilaku kita sendiri, kalaupun penyembelihan hewan kurban
hanyalah simbol untuk membunuh sifat kebinatangan agar kita menjadi lebih
beradab, apakah pembunuhan itu sendiri adalah perilaku yang beradab? Betapa
kontrasnya antara simbol dan tujuan yang ingin dicapai. karena penyimbolannya
saja sudah bertentangan dengan tujuan yang hendak dicapai. Sebagian dari kita
akan mengatakan bahwa kambing itu turut berbahagia karena mereka mati atas
syariat tuhan, nampaknya itu hanya jebakan betmen dari penafsiran-penafsiran
egois yang ingin mencari-cari pembenaran atas tindakan yang secara kasat mata
adalah sadis.<o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-size: 13.5pt;">Binatang tentu
memiliki syaraf pusat yang bisa mempersepsikan rasa sakit, berbeda dengan
tanaman yang tidak memiliki syaraf serupa sehingga tanaman tidak akan merasa
kesakitan, itulah yang sejauh ini diketahui oleh ilmu pengetahuan yang
kebenarannya dapat diverifikasi. Masalah apakah kambing-kambing kurban akan
bahagia (meski merasa sakit) sama saja dengan pertanyaan apakah akhirat
benar-benar ada. Sebuah pertanyaan yang tidak akan bisa terjawab setidaknya
saat ini, dan manusia selalu megandalkan tebakan-tebakan idealis laksana undian
berhadiah demi menjustifikasi ide yang secara empiris sama sekali tidak
menguntungkan bagi pihak lain. Jadi apakah kita yang beradab akan tega
menyakiti sesama yang bernyawa hanya untuk sebuah kepuasan diatas piring makan
atau hanya demi sebuah simbol kosong yang jauh dari esensi kehidupan beradab?
Yang kita ketahui secara pasti hingga detik ini hanyalah: binatang merasakan
sakit yang luar biasa ketika disembelih, titik.<o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
Zakiah Fitrihttp://www.blogger.com/profile/03664271286630168563noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3518176273310729578.post-35038431483445206452013-09-29T01:40:00.000-07:002014-10-12T01:13:49.175-07:00 Angka Pendapatan Ekonomi, Cerminan Angka Kematian Penduduk <div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: ""serif"","serif"; font-size: 12.0pt; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Begitu banyak
data-data kependudukan yang disajikan dalam bentuk statistika lengkap dengan
angka-angkanya. Sehingga saya anggap angka-angka tersebut adalah bahasa yang
menjelaskan fenomena sosial kependudukan, lebih dari itu angka dalam sajian
data statistik berbicara banyak tentang hubungannya dengan angka dalam data
statistik yang lain, seperti yang sudah saya singgung, misalnya pendapatan
ekonomi akan berpengaruh terhadap tinggi rendahnya angka kematian.</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: ""serif"","serif"; font-size: 12.0pt; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Seperti yang
kita tahu, Indonesia saat ini memiliki pendapatan per kapita per tahun yang
masih cukup rendah dibanding negara lainnya. Serta dengan utang luar negeri
sebesar US$ 176, 5 milyar atau sekitar 821 per kapita menunjukkan bahwa setiap
orang punya hutang sekitar Rp 8.000.000.<a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftnref1">[1]</a> Hal
tersebut adalah gambaran tentang keadaan ekonomi kita, yang menunjukkan bahwa
selain minimnya pendapatan per kapita, ternyata masih juga dibebani oleh hutang
warisan generasi terdahulu.</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: ""serif"","serif"; font-size: 12.0pt; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Nah, sekarang
beralih ke angka kematian penduduk. Angka kematian penduduk erat kaitannya
dengan angka harapan hidup dan angka harapan hidup dipengaruhi oleh
berbagai hal dan keadaan yang terjadi di suatu negara. Seperti kondisi politik,
peperangan, keadaan pelayanan kesehatan, budaya dan agama.</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: ""serif"","serif"; font-size: 12.0pt; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Dari 223 negara
di dunia, Indonesia menempati urutan ke 137 dengan angka harapan hidup 70,76.
Masih tertinggal jauh dengan negara kecil di dekat Sumatra, yakni Singapura
yang menempati urutan ke 6 dengan angka harapan hidup 82,14. Apa
yang sebenarnya salah sehingga negara kita tidak cukup mampu menekan angka
kematian dan menaikkan angka harapan hidup?</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: ""serif"","serif"; font-size: 12.0pt; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Pertama-tama.
Pendapatan per kapita adalah salah satu indikator keadaan ekonomi suatu
penduduk. Dan semua orang sosiologi tahu bahwa Karl Marx pun dalam materialisme
historisnya yang terkenal mengatakan bahwa materi akan selalu mempengaruhi
keadaan seseorang, bukan keadaan seseorang yang mempengaruhi kepemilikan
materi.</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: ""serif"","serif"; font-size: 12.0pt; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Materi yang
terwujud sebagai pendapatan ekonomi penduduk akan mempengaruhi akses-aksesnya
terhadap pelayanan publik, seperti akses pendidikan, pangan, mobilitas, dan
termasuk juga aspek kesehatan, itulah yang terjadi di Indonesia. Sehingga
pasien yang sekarat tidak akan lekas ditangani jika tidak ada jaminan
pembayaran administrasi. Saya jadi menarik konklusi yang sebenarnya pahit dan
tidak ingin saya katakan “Dalam dunia medis dan pelayanan kesehatan Indonesia,
nyawa manusia tidak lebih berharga daripada uang”</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: ""serif"","serif"; font-size: 12.0pt; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Akses dan
pelayanan kesehatan yang baik dalam sebuah negara tentu akan meningkatkan
kesehatan penduduk yang secara langsung berimbas pada berkurangnya angka
kematian. Tapi pendapatan ekonomi yang rendah akan mempersulit akses kesehatan
penduduk, dan akses kesehatan yang dipersulit secara signifikan menaikkan angka
kematian, itulah mengapa rakyat miskin berkawan baik dengan angka harapan hidup
yang rendah. Angka kematian bayi, angka kematian ibu melahirkan, angka gizi
buruk, angka pasien yang tidak bisa mengakses pelayanan rawat inap, semua
angka-angka berbicara tentang si miskin dan segala cerminan hidupnya.</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: ""serif"","serif"; font-size: 12.0pt; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Kematian
sebenarnya memang bukan melulu berhubungan dengan struktur dan pendapatan
ekonomi, sebaik apapun pendapatan per kapita suatu penduduk tetap ada juga
faktor-faktor lain seperti kecelakaan,bencana alam, wabah penyakit, tapi yang
saya soroti memang struktur dan pendapatan ekonomi karena berdasarkan laporan
PBB, setiap detik ada 2 orang yang meninggal dunia dan total angka kematian
yang terjadi pada tahun 2006 sekitar 62 juta jiwa. Dari 62 juta jiwa, 58% atau
36 juta jiwa meninggal disebabkan oleh kelaparan, penyakit dan kekurangan gizi.<a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftnref3">[2]</a> Dan setidaknya, pasti penyumbang terbesar dari
angka tersebut adalah negara miskin dan negara berkembang, termasuk negara
Indonesia yang sedang berkembang. Terjadinya kelaparan dan kekurangan gizi bisa
langsung ditebak oleh sebuah masalah klasik bernama kemiskinan. Sedangkan
meninggal karena penyakit, selain karena wabah dan pola hidup yang tidak sehat,
yang paling mendominasi saya rasa justru pelayanan dan akses kesehatan yang
tidak bisa didapat oleh sebagian besar masyarakat karena lagi-lagi mereka
berpenghasilan ekonomi rendah.</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: ""serif"","serif"; font-size: 12.0pt; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Secara makro,
memang pendapatan ekonomi rakyat yang kemudian mempengaruhi akses kesehatan
masyarakat adalah tanggung jawab pemerintah. Misalnya akses informasi tetang
ibu hamil, bayi, dan pemenuhan gizi tak bisa lepas dari tanggung jawab
penguasa, juga kebijakan-kebijakan hukum dalam penanganan pasien miskin yang
dirugikan juga hanya seperti angin lalu yang diabaikan. Masyarakat
berpendapatan ekonomi rendah selain tidak mendapat pelayanan yang baik, juga
dalam hal penipuan medis seperti malpraktek, dan pengambilan organ tubuh
(biasanya ginjal), merekalah yang paling banyak menjadi korban yang terabaikan
hukum karena dianggap tidak punya cukup pengaruh untuk melawan, sumbangan lagi
untuk alasan mengapa kebanyakan orang miskin cepat mati.</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: ""serif"","serif"; font-size: 12.0pt; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Angka harapan
hidup pun bicara soal kematian di setiap negara, mau tak mau harus diakui bahwa
angka harapan hidup seolah membenarkan bahwa batas negara memang batas
seseorang bisa hidup lebih lama atau tidak. Sederhana saja, mungkin profesi
kedua orang sama-sama sebagai pemulung, pemungut sampah yang dalam terminologi
manapun diidentikkan sebagai kelas ekonomi lemah. Yang satu berprofesi sebagai
pemulung di Indonesia, yang satunya lagi berprofesi pemulung di negara China.
Tapi kemungkinan besar pemulung di negara China akan bertahan hidup lebih lama
dibanding pemulung di Indonesia, pembedanya adalah, pemulung Indonesia ketika
sakit mereka akan diusir dari rumah sakit jika tidak mampu atau tidak ada
jaminan sanggup membayar (padahal profesi pemulung rentan dengan penyakit),
sedangkan pemulung di China bisa berobat ke rumah sakit karena pemerintahan
bertanggung jawab atas kesehatan penduduknya. Jadi sekali lagi, pelayanan dan
akses kesehatan memegang peranan penting dalam angka harapan hidup dan angka
kematian penduduk suatu negara.</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: ""serif"","serif"; font-size: 12.0pt; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Rumah sakit di
Indonesia menurut saya bukan lagi bertujuan menghilangkan sakit bagi
masyarakat, tapi sudah berubah mejadi ladang-ladang baru bagi kapitalis. Rumah
sakit mewah, rumah sakit bertaraf internasional, rumah sakit dengan
tenaga-tenaga medis impor dari luar negeri, semuanya yang berhubungan dengan
kesejahteraan medis berbau kapitalis imperialis asing. Dan yang mampu membayar
pelayanan kesehatan yang berkualitas adalah segelintir mereka-mereka yang
berada di posisi ekonomi atas, sehingga menjadi telak lah, alasan bahwa
pendapatan ekonomi-akses kesehatan-angka harapan hidup-dan angka
kematian adalah suatu hal yang berkesinambungan.</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: ""serif"","serif"; font-size: 12.0pt; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Mungkin juga
ada alasan lain, misalnya angka harapan hidup dan angka kematian masyarakat
tidak hanya dipengaruhi oleh struktur ekonomi (terutama pendapatan ekonomi)
tapi bisa saja ditentukan oleh hal lain seperti: masyarakat baik kalangan
ekonomi keatas maupun kalangan ekonomi bawah bisa saja menerapkan pola hidup
tidak sehat dengan rokok, alkohol, softdrink, dan junkfood yang ditengarai
mempercepat kematian. Tapi saya anggap itu alasan individualis yang tidak cukup
relevan untuk melawan angka dan data statistik yang jelas-jelas menunjukkan
tingginya angka kematian karena struktur sosial ekonomi di Indonesia
memarginalkan masyarakat berpenghasilan rendah dalam hal kesehatan.</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: ""serif"","serif"; font-size: 12.0pt; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Memang
masyarakat berpenghasilan ekonomi rendah sering dihadapkan pada angka harapan
hidup yang rendah saat mereka sakit tapi tidak mendapat pelayanan kesehatan
yang cukup baik. Selanjutnya kematian akibat penyakit yang tidak tertangani
oleh tenaga medis seolah menjadi agenda biasa bagi rakyat miskin. Tak ayal,
pantas saja tingginya angka-angka kematian penduduk dalam statistik diwarnai
oleh mereka yang berpendapatan ekonomi rendah.</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;"><br clear="all" />
<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">
</span><br />
<hr align="left" size="1" width="33%" />
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftn1"><span style="font-family: ""sans-serif"","serif"; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">[1]</span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;"> Rinekso Kartono, 2007, <i>“Beberapa
Pemikiran Tentang Pembangunan Kesejahteraan Sosial”</i>, Malang : UMM Press,
hal. 17</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftn3"><span style="font-family: '', sans-serif, '', serif;">[2]</span></a><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 13.5pt;"> </span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 10pt;">http://nusantaranews.wordpress.com/2009/10/16/tahun-2010-66-juta-penduduk-meninggal-dunia/</span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 13.5pt;"><o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
Zakiah Fitrihttp://www.blogger.com/profile/03664271286630168563noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3518176273310729578.post-83676230832180769762013-09-29T01:33:00.000-07:002014-10-12T01:14:16.672-07:00Kedaulatan Pangan Indonesia, Rasionalitas Kebijakan Ekonomi dan Keterlekatan<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg7VDMk8RBIf3UhxdX03GDq77l0vOyfKj4g7SK9cwPSJ3Q0J4ilgXow0Igih_51M53LGq3BBzto1BX9amB_Jvow5D9K0BCWSxmoMsPUnuCyaEyNKm7NYuBjRNbtg9QNUKpQLoEtWao-WRI/s1600/108464.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg7VDMk8RBIf3UhxdX03GDq77l0vOyfKj4g7SK9cwPSJ3Q0J4ilgXow0Igih_51M53LGq3BBzto1BX9amB_Jvow5D9K0BCWSxmoMsPUnuCyaEyNKm7NYuBjRNbtg9QNUKpQLoEtWao-WRI/s1600/108464.jpg" height="213" width="320" /></a></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 24px; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: center;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 24px; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"> Ada yang menarik perhatian saat melintasi Jl. Sudirman, persis di depan lapangan Rampal terdapat baliho superbesar bertuliskan “Parade Pangan Nusantara”. Dibawahnya terdapat tulisan yang tak kalah besar yakni “Indonesia Menuju Kedaulatan Pangan”. Hal yang menarik bagi saya untuk dikaji dan dianalisis lebih dalam, pasalnya acara bertajuk kuliner yang membawa-bawa kedaulatan pangan negara semacam ini belum pernah saya temui sepanjang 20 tahun hidup di Kota Malang.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 24px; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"> Sebenarnya apa yang terjadi, apakah parade ini adalah salah satu upaya serius menuju kedaulatan pangan Indonesia atau malah sebenarnya ini adalah cermin bahwa dependensi pangan kita sudah sedemikian parahnya hingga kedaulatan pangan Indonesia dijadikan sebuah parade dan hanya sebuah parade bagai musim berganti yang berlalu begitu saja tanpa langkah lanjutan? yang jelas tepat esok hari acara ini diselenggarakan, dan sebaiknya tidak dilewatkan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 24px; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"> Begitu sering saya membaca di media tentang ketergantungan ekonomi dan pangan di Indonesia, lengkap dengan kritik-kritik tajam media terhadap jajaran pemerintah. Terkadang ada benarnya juga apa yang disuarakan oleh media, faktanya sampai hari ini kita masih saja impor sana sini untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri, sudah hal yang lumrah jika kita biasa impor beras dari Thailand, impor buah dari China, impor daging dari Australia dan tak tanggung-tanggung merk dagang <i>(franchise)</i> impor pun ikut diboyong kedalam negeri, memunculkan Mc’D, KFC dan segala jenis pangan dengan brand impor. Kalaupun tidak impor, sebagian besar produk pangan yang beredar di dalam negeri sahamnya dikuasai oleh asing.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 24px; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"> Weber menyatakan dalam kajiannya terdapat 4 jenis rasionalitas, yakni rasionalitas instrumental, orientasi nilai, tradisional dan afeksi<a href="file:///D:/UPLOAD%20BLOG/UAS%20FITRIATUS%20ZAKIAH.doc#_ftn1" name="_ftnref1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 18.3999996185303px;">[1]</span></span></span></a>. Jika ditinjau dari segi kebijakan yang diambil, menurut saya pemerintah cenderung masuk dalam kategori rasional orientasi nilai, terlihat dari kebijakan impor sana sini yang cenderung menggunakan prinsip “asal terpenuhi” tanpa mempertimbangkan tujuan, essensi dan dampak jangka panjang jika kita selalu melakukan impor.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 24px; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"> Selain faktor rasionalitas dalam kepemimpinan yang menghambat kedaulatan pangan, juga karena adanya faktor lain seperti ketidakstabilan mutu produk yang terjadi karena kuatnya kecenderungan pengusaha lokal untuk mencari keuntungan jangka pendek<a href="file:///D:/UPLOAD%20BLOG/UAS%20FITRIATUS%20ZAKIAH.doc#_ftn2" name="_ftnref2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 18.3999996185303px;">[2]</span></span></span></a>. Sebenarnya masih berhubungan juga dengan konsep rasionalitas Weber, akan tetapi dalam hal ini permasalahan rasionalitas terletak pada para pengusaha lokal itu sendiri.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 24px; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"> Sedangkan dalam hal lain, saya rasa masyarakat Indonesia sedang dilanda krisis kepercayaan diri, tidak menghargai produk dalam negeri. Itulah mengapa kita tidak bisa menjadi negara yang berdaulat dalam hal pemenuhan pangan rakyat. Bisa dikatakan juga masyarakat Indonesia masih cenderung termasuk kedalam jenis rasionalitas tradisional dan afeksi. Sekali lagi, masyarakat kita mudah terbawa arus prestise. Makan di Mc’D adalah prestise, makan keju impor asal Swedia adalah prestise dan bergengsi, nah hal seperti inilah yang semakin membuat imperialis asing tumbuh subur di nusantara, merenggut kedaulatan kita perlahan-lahan dan menghilangkan jati diri bangsa.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 24px; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"> Mungkin dalam hal ini juga sedikit mengacu dengan apa yang diungkapkan oleh granovetter<a href="file:///D:/UPLOAD%20BLOG/UAS%20FITRIATUS%20ZAKIAH.doc#_ftn3" name="_ftnref3" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 18.3999996185303px;">[3]</span></span></span></a> bahwa apa yang terjadi dalam produksi, distribusi dan konsumsi sangat banyak dipengaruhi oleh keterlekatan orang dalam hubungan sosial. Mengenai keterlekatan tersebut bisa diamati, pola tindakan ekonomi (dalam hal konsumsi masyarakat) Indonesia saat ini selain selain sebagai pemenuhan terhadap kebutuhan ekonomi sebenarnya juga ditujukan untuk menunjukkan status sosial, sehingga masyarakat cenderung lebih memilih bahan pangan impor dan kurang menghargai produk-produk pangan dalam negeri, terkadang hal ini membuat permintaan pasar lokal menurun sehingga menjadi pukulan telak bagi para petani dalam negeri yang kalah dengan produk impor.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 24px; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"> Ketergantungan/dependensi dan ketidak berdaulatan pangan Indonesia adalah masalah ekonomi-sosial yang krusial. Jadi bagi saya, untuk mencapai kedaulatan pangan Indonesia tidak cukup hanya dengan menyelenggarakan parade pangan nusantara dan acara-acara sejenisnya. Jika dilihat dari segi kebijakan pemerintah yang mengacu pada analisis rasionalitas Weber, maka diperlukan tindakan rasional instrumental yang diterapkan pada setiap kebijakan otoritas legal-formal pemerintah agar kedaulatan pangan sebagai tujuan dapat tercapai. Misalnya dengan tegas melindungi produk-produk lokal dari gusuran produk impor.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 24px; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"> Jika dilihat dari segi masyarakat melalui analisis granoveter, maka dapat saya tarik sebuah titik temu. Jika tindakan ekonomi disituasikan secara sosial dan keduanya melekat, maka sebelum jauh berbicara tentang masalah kedaulatan pangan, diperlukan kajian mendalam untuk memperbaiki fenomena keterlekatan tersebut agar tidak berdampak buruk pada perekonomian Indonesia. Misal: Seperti yang kita tahu, masyarakat berbondong-bondong membeli produk pangan impor, hal itu antara lain adalah untuk menunjukkan status sosial karena sesuatu yang impor masih mendapat citra <i>lux</i> dan selalu kalah dengan kualitas barang apapun dari dalam negeri. Karena pandangan semacam ini masih eksis di masyarakat, maka produk pangan lokal kurang bisa mendongkrak pasar, akibatnya terjadilah kecenderungan impor dan penghargaan yang terlalu tinggi terhadap produk asing.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 24px; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"> Solusinya adalah memperbaiki kualitas dan citra produk pangan dalam negeri. Pemerintah dan penguasa memiliki kekuatan besar untuk membatasi dan mengontrol produk yang masuk, juga memiliki pengaruh yang besar terhadap upaya pencitraan produk dalam negeri. Beberapa tahun silam, kita sempat memiliki slogan <i>“Cintai Produk dalam Negeri”</i> yang membuat bangsa kita memangkitkan kepercayaan diri untuk bersaing. Tapi sekarang slogan itu seolah hilang ditikam badai politik dan pesimistik pembangunan ekonomi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 24px; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"> Kita hidup di negeri luas dan kaya, bahkan sebuah perumpamaan mengatakan<b>:<i> “Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman”</i></b></span><b><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14pt; line-height: 28px;">, </span></i></b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">menggambarkan betapa suburnya tanah kita. Tapi ironis, tanah subur dan kaya ini seolah tak berdaya untuk menghidupi rakyatnya. Barangkali kebijakan impor pangan dan menjamurnya franchise-franchise asing di nusantara adalah bukti bahwa kita adalah negara tidak mandiri dalam hal pangan, kalau boleh berkata, saya mengandaikan rakyat Indonesia seperti hampir mati kelaparan di lumbung padi.<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: center;">
</div>
<div>
<br clear="all" />
<hr align="left" size="1" width="33%" />
<br />
<div id="ftn1">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///D:/UPLOAD%20BLOG/UAS%20FITRIATUS%20ZAKIAH.doc#_ftnref1" name="_ftn1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10pt; line-height: 15.3333320617676px;">[1]</span></span></span></a> <span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 18.3999996185303px;">Zainuddin Maliki. 2004. <i>Narasi Agung</i>. Surabaya : LPAM. hal. 223</span></div>
</div>
<div id="ftn2">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///D:/UPLOAD%20BLOG/UAS%20FITRIATUS%20ZAKIAH.doc#_ftnref2" name="_ftn2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10pt; line-height: 15.3333320617676px;">[2]</span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 18.3999996185303px;"> Desta Raharjana. 2003. <i>Ekonomi Moral, Rasional dan Politik</i>. Yogyakarta : Kepel Press hal. 68</span></div>
</div>
<div id="ftn3">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///D:/UPLOAD%20BLOG/UAS%20FITRIATUS%20ZAKIAH.doc#_ftnref3" name="_ftn3" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10pt; line-height: 15.3333320617676px;">[3]</span></span></span></a> <span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 18.3999996185303px;">Damsar. 1997. <i>Sosiologi Ekonomi</i>. Jakarta : Raja Grafindo hal. 34</span></div>
<div class="MsoFootnoteText">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 18.3999996185303px;"><br /></span></div>
<div class="MsoFootnoteText">
<br /></div>
<div class="MsoFootnoteText">
</div>
</div>
</div>
Zakiah Fitrihttp://www.blogger.com/profile/03664271286630168563noreply@blogger.com0