Fordisme
adalah sebuah model produksi dalam industri kapitalisme yang mencapai kejayaan
sekitar tahun 1950-1960, sistem ini pertama kali dipraktekkan oleh Henry Ford,
seorang industrialis yang memproduksi mobil bermerk Ford. Henry Ford sendiri
sebenarnya mengadopsi gagasan Friedrich Taylor mengenai metode manajemen buruh
berdasarkan studi Ilmiah yang ia lakukan.
Mekanisme
yang terdapat dalam fordisme adalah melakukan produksi massal berdasarkan
teknik lini perakitan. Bagian-bagian barang yang akan dikomoditikan diproduksi
secara terpisah dengan menggunakan pembagian kerja yang mengedepankan rutinitas
produksi pada masing-masing bagian yang diproduksi. Jadi, buruh dalam pabrik
dipecah-pecah menjadi banyak bagian dan mereka hanya mengerjakan bagian yang
sama setiap harinya.
Sebagai
contoh: sebagian buruh hanya akan memproduksi setir mobil setiap harinya,
sementara buruh lain dalam pabrik tersebut akan memproduksi kursi mobil,
sedangkan buruh lain akan memproduksi ban mobil, dan seterusnya, hingga semua
bagian mobil yang akan dirakit dan dikomoditikan menjadi komplit. Dengan cara
ini, fordisme menjadi cara yang ampuh untuk menekan biaya produksi (meskipun
para pemilik modal juga menaikkan upah para pekerja, tapi hal ini sebenarnya
adalah untuk mengingkatkan produktivitas barang itu sendiri), fordisme waktu itu juga
memberikan efisiensi, penghematan waktu, sekaligus dapat memenuhi permintaan
pasar dengan lebih cepat.
Akibat
adanya fordisme, barang produksi massal yang dipasarkan menjadi monopoli
perusahaan tertentu, sehingga terjadi homogenisasi konsumsi masyarakat. Arena
pasar yang berlaku waktu itu didominasi oleh penawaran. Lambat laun sekitar
tahun 19701an fordisme pun runtuh, karena pasar jenuh dengan homogenisasi
produk dan pasar yang berorientasi penawaran, atas dasar inilah kemudian muncul
post fordisme. Hizkia dkk dalam jurnalnya menyebut peralihan dari Fordisme ke
post fordisme adalah sebuah mutasi. Hal ini dapat dipahami sebagai upaya
kapitalisme untuk merubah sebagian dari dirinya, agar kapitalisme dapat terus
bertahan hidup dengan wajah yang baru, yang lebih ramah dan tentu lebih pandai
merayu konsumen.
Kapitalisme
seringkali menjadi musuh dan target yang ingin ditumbangkan oleh banyak orang,
segelintir orang sebagai pemilik modal dalam sejarah selalu dihadapkan pada
pergerakan, perlawanan atau minimal pada sisnisme buruh, pekerja, dan sebagian
orang yang sadar akan konstruksi dunia industri kapitalisme. Kapitalisme yang
dulu menjelma dalam fordisme dan sempat berhasil meredam sisnisme tersebut
akhirnya harus jatuh,dan kini kita sedang menikmati buaian post fordisme, yang
tak lain adalah reinkarnasi kapitalisme itu sendiri.
Sebagai
contoh, produk Apple adalah salah satu manifestasi dari gairah jaman post
fordisme[1].
Sistem produksi tidak lagi didasari oleh sistem produksi massal, tetapi lebih
berorientasi pada permintaan dan era ini adalah era yang sangat respect
terhadap permintaan konsumen, karena konsumen membutuhkan barang-barang yang dapat
menunjukkan identitasnya sebagai hasil dari relasi sosial. Namun identitas yang
dikejar oleh para konsumen pun ini sebenarnya adalah bentukan dari citra
ekslusif, lux, dan mahal yang sengaja diciptakan dan dicitrakan oleh
kapitalisme agar konsumen membutuhkan identitas tersebut, yang celakanya
identitas itu oleh banyak orang dianggap dapat terpenuhi jika dapat membeli
produk-produk mahal, eksklusif, serta menampilkan identitas yang diproduksi
oleh kapitalisme.
Dalam
post fordisme terjadi perluasan definisi
dan pola produksi. Yang dipakai adalah logika citra eksklusif, kepuasan
karna mengonsumsi hal yang berbeda agar terus menerus mengkonsumsi, Apple,
sebagai penyedia gadget, memiliki reputasi dan citra yang barangkali dianggap
terbaik untuk merepresentasikan status ekonomi kelas menengah keatas, citra
inilah yang membuat banyak konsumen merasa membutuhkan produk ini sebagai
simbol identitasnya atau sekedar bertujuan untuk mencapai standar hidup yang
lebih tinggi. Berbeda dengan jaman fordisme yang menekankan produksi secara
massal dan berorientasi produksi, di era post fordisme ini lebih menekankan
eksklusifisme dan produksi diorientasikan berdasarkan konsumsi.
Disamping itu juga adanya perluasan
definisi dan pola konsumsi.
Era produksi telah digantikan oleh era konsumsi, konsumen bukan sekedar
memikirkan barang merk apa yang mereka pakai, rumah elit di hunian mana yang
mereka tinggali, atau fashion dari brand apa yang mereka kenakan, tapi lebih
dari itu, konsumen hari ini juga memikirkan akan dipandang sebagai apa dirinya
ketika mengonsumsi dan membeli segala jenis barang-barang yang ada di pasar.
Citra
eksklusif, berbeda, dan konsumen yang haus akan identitas ini linear dengan
yang dikatakan Lazzarato mengenai konsep immaterial
labour[2].
Pada era fordisme, labour adalah buruh atau pekerja yang memproduksi
barang-barang riil, tapi pada era post fordisme dia menambahkan analisis
mengenai immaterial labour yang memproduksi citra-citra tersebut agar
komoditinya sukses di pasaran. Lagi-lagi Apple harus digunakan sebagai contoh,
dalam proses produksinya, produk Apple seperti i-Phone, i-Pad, mac dan
lain-lain juga turut melibatkan seniman untuk mendesain produk, tampilan
animasi, wallpaper, bungkus produk, hingga iklan yang menuntut para labour
untuk menampilkan citra lux, berkelas, unik, berbeda, dan eksklusif. Dalam hal
ini para pekerja seni dan orang-orang kreatif yang terlibat dalam proses
produksi sebagai immaterial labour telah turut melestarikan rezim kapitalisme di
era post fordisme. Karena mereka lah, hingga kini banyak masyarakat masih saja
tergila-gila dengan produk Apple, menempatkannya dalam strata tertinggi dalam
hal gadget. Implikasi berikutnya adalah, masyarakat berlomba-lomba membeli
barang ini agar dapat mengejar citra yang ditawarkan oleh produk tersebut.
Di
hari ini kita dapat mengamati adanya kecenderungan budaya konsumerisme dalam
masyarakat, tidak lain hal ini adalah akibat dari pengidentifikasian identitas
yang diejawantahkan melalui produk-produk kapitalisme. Kapitalisme post
fordisme berwajah lebih ramah, sehingga membuat banyak orang secara sukarela
dan tidak sadar mau membuat dirinya membutuhkan apa yang diproduksi oleh
kapitalis . Hal ini mengakibatkan munculnya identitas semu. Karena, kapitalis
tidak akan berhenti menciptakan produk dan membuat kita selalu merasa membutuhkan
lebih banyak benda-benda untuk dibeli.
Hizkia Yosie Polimpung
dkk, Mengapa Steve Jobs Tidak Begitu Inovatif:
Kapitalisme Apple®, Pasca-Fordisme, dan Implikasinya, Center for
Global Civil Society Studies (Pacivis) Universitas Indonesia, hlm 23
[2]
Maurizio Lazzarato, “Immaterial Labor,” terj., P. Colilli &
E. Emery, dalam M. Hardt & P. Virno, peny., Radical Thoughts in
Italy: A Potential Politics, Minnesota:University of Minnesota Press, 1996,
hlm. 133