Ini adalah gambar sekelompok
siswa di salah satu Sekolah Menengah Kejuruan Negeri di Kabupaten Malang yang
sedang melakukan selebrasi kelulusan. Jika ditelusuri dari sejarahnya, budaya
coret-mencoret seragam ini tidak diketahui asal-usulnya, yang jelas para siswa
ini hanya mengikuti tradisi yang diwariskan turun temurun dari kakak-kakak
kelasnya dan hampir di seluruh pelosok tanah air mengenal budaya ini. Sebagian
besar mereka menganggap tidak afdhol jika tidak melakukan ritual corat-coret
seragam karena ini adalah bentuk ekspresi sukacita, euforia, dan kelulusan setelah menghadapi Ujian Akhir
Nasional yang menguras energi, pikiran serta menjadi stressor bagi para siswa.
Dan yang biasanya identik dengan tradisi corat-coret seragam adalah konvoi
sepanjang jalan dengan menggunakan sepeda motor.
Banyak yang bisa dianalisis dari tindakan siswa-siswi
ini. Yang pertama, mereka melakukan ini tanpa adanya pertimbangan rasionalitas
yang matang, dalam kajian Weber dikenal ada 4 jenis rasionalitas yakni
rasionalitas instrumental, rasionalitas orientasi nilai, rasionalitas afeksi, dan
rasionalitas tradisional. Menurut saya tindakan yang mereka lakukan adalah
bentuk dari tindakan rasionalitas tradisional (sebagian orang menyebutnya
irrasional) sangat terlihat bahwa mereka hanya melakukannya karena faktor
ikut-ikutan tanpa mempertimbangkan essensinya. Dalam hal ini bisa diambil
kesimpulan awal bahwa generasi muda kita mudah terpengaruh oleh tradisi turun
temurun tanpa mempertimbangkan baik buruknya.
Yang kedua, dan barangkali sudah sering disinggung oleh
para pengkritik budaya coret seragam adalah mereka hanya melakukan budaya
hura-hura, pencerminan dari gaya hidup yang boros, alangkah baiknya daripada
mencoret-coret seragam lebih baik menyumbangkannya kepada siswa lain yang
membutuhkan, karena ribuan siswa di daerah lain terancam putus sekolah karena
faktor seragam.
Ketiga, perayaan yang terkesan liar, mencoret seragam (yang
merupakan lambang pendidikan formal) serta konvoi liar yang mengganggu
ketertiban umum, mengindikasikan bahwa para siswa sesungguhnya tidak menyukai
wajah pendidikan formal Indonesia saat ini. Ada gap antara siswa dengan sistem
pendidikan. Beberapa siswa mungkin lelah dengan tuntutan tugas, tes belajar,
ulangan, evaluasi, ujian-ujian, dan yang paling parah terutama Ujian Akhir
Nasional, serta segala hal yang menjadikan sekolah bukan lagi tempat menimba
ilmu, bukan lagi tempat memperbaiki kesalahan-kesalahan, bukan juga tempat
untuk mencari tahu, tapi sekolah bagi mereka adalah tempat dimana segala bentuk
kecerdasan dan intelegensi diukur dengan nilai ujian nasional yang sangat
subjektif. Subjektif, karena kecerdasan dan tingkat intelegensi tidak bisa
diukur hanya dengan nilai-nilai akademis mata pelajaran tertentu.
Saya jadi teringat dengan buku Summer Heel School yang dipresentasikan oleh teman saya di kelas
sosiologi pendidikan Bu Kanthi, jadi sah saja jika saya menyimpulkan bahwa
sekolah-sekolah formal di Indonesia kini telah berubah menjadi sumber stress
bagi para siswa. Alih-alih menuntut ilmu dengan hati legowo atas kesadaran, justru para siswa dipaksa untuk mengikuti
ujian-ujian tulis (khususnya Ujian Nasional) hanya demi nilai, yang mungkin
tidak bisa mengukur derajat keberhasilan akademik tetapi berdampak psikis yang
sangat besar terhadap siswa. Bisa saja siswa pandai, rajin dan berprestasi
mendapat nilai UNAS yang kebetulan buruk sehingga tidak lulus dan ia akan
merasa depresi. Perjuangan tiga tahun yang dihakimi oleh tiga hari yang
menegangkan, kemudian setelahnya para siswa berpesta mencoret seragam, padahal
setelah lulus mereka pun banyak yang tidak tahu akan meneruskan perjuangan
kemana, perjuangan belum berakhir, masih banyak hal-hal lain yang berhak
menghakimi keberhasilan di masa depan.
Yang lebih parah lagi dari adanya Ujian nasional adalah
beredarnya jawaban-jawaban soal ujian nasional, entah itu jawaban asli yang
diperjual belikan/bocor, entah jawaban palsu yang disebar oleh pihak tak
bertanggung jawab, yang jelas banyak siswa yang rela membayar mahal demi
mendapat jawaban soal UNAS. Intinya pendidikan selama bertahun-tahun yag
ditempuh bukan lagi untuk mencapai kompetensi yang diinginkan, tapi pendidikan
selama bertahun-tahun ditempuh hanya demi mendapat stempel LULUS. Sungguh
ironis.
Saya rasa para pemegang otoritas pendidikan harus
secepatnya mengevaluasi sistem yang telah diterapkannya selama bertahun-tahun
ini, karena menurut saya menentukan seorang siswa berhasil/tidak hanya dari
Ujian Nasional itu sangat absurd, bahkan sangat tidak akurat dalam menyatakan
keberhasilan. Dalam hal ini mungkin kita bisa belajar (bukan meniru) sekolah-sekolah
kecil yang mencetak orang-orang besar, misalnya di kalangan Yahudi, mereka
adalah minoritas, tapi berhasil berkompetensi dengan menciptakan Google, Facebook,
Nokia, dan penemuan-penemuan yang melegenda. Nama mereka ada di setiap jajaran
sejarah orang-orang hebat. Pertanyaannya, apakah mereka melaksanakan Ujian
Nasional Seperti kita?
Tidak, mereka lulus jika bisa menciptakan produk yang
berkualitas, bukan lulus atas dasar nilai di atas kertas yang bisa diperjual
belikan dan ditransaksiskan secara diam-diam. Kreatifitas mencipta dan berkarya
dihargai sangat tinggi daripada sekedar stempel LULUS. Jika pendidikan kita
hanya diukur dari hal tersebut maka tidak mengherankan jika siswa-siswa kita
selepas Ujian Nasional berpesta mencoret seragam dan konvoi dengan liar, seperti
singa yang lepas dari kandangnya. Karena memang mereka merasa kreatifitasnya
terkurung. Terkurung oleh banyaknya tugas-tugas, ujian-ujian, les tambahan
belajar dan segala tuntutan yang bagi mereka hanya dianggap sebagai jerat belaka.