Senin, 14 Oktober 2013

Kasta Makanan, Kasta Peradaban


Mulai banyak yang berbicara soal kambing kurban..

Aku melihatnya sebagai suatu pelarian irrasional berdasarkan konstruksi yang tercipta dalam masyarakat. Akan ku mulai ini dari Jawa tengah, disana ratusan warga mengantri berjubel dan rela berdesak-desakan hanya untuk mendapatkan kupon daging kurban, bahkan ada anak perempuan berusia sekitar 11 tahun hampir pingsan karena berdesakan di tengah-tengah orang dewasa yang nampaknya jarang sekali makan daging kambing itu.
Lantas saya tertegun memandangi layar kaca televisi seolah makhluk-makhluk yang ingin mendapatkan kupon daging kurban tersebut telah terhipnotis dan lupa akan makna hari rayanya sendiri. Jika dirunut dari sisi mereka maka tuhan memang memerintahkan manusia untuk berkurban di hari raya idul adha. Berdasarkan mitos yang sering terdengar, hal itu adalah untuk memperingati terjadinya penyembelihan nabi Ibrahim terhadap anaknya yang kemudian dibatalkan Allah karena semata Ia hanya menguji, dan juga untuk menebus setiap diri muslim dari gadai agar garis keturunannya kelak diakui di akhirat (tujuan aqiqah). Tapi yang terjadi dalam realita seperti di Jawa Tengah, rebutan kupon daging gratis. What for?
Masyarakat kini benar-benar terdogma, terhegemoni dan terkonstruksi untuk meyakini bahwa daging adalah makanan lezat yang biasa dimakan mulut para elitis. Sama halnya dengan beragama, manusia yang lahir di lingkungan Hindu cenderung akan menjadi seorang Hindu, yang lahir diantara keluarga zoroaster juga kemungkinan besar akan tumbuh menjadi seorang penganut zoroaster. Demikian pula, kambing yang terdefinisi sebagai “makanan enak” adalah hasil konstruksi, menyebalkan sekali melihat manusia seolah menempatkan daging dalam kasta teratas makanan sehingga mereka berusaha mengejar-ngejar makanan di kasta tertinggi itu. Padahal untuk menikmati makanan lezat, lidah yang pada dasarnya memiliki subjektifitasnya masing-masing ini tidak berpihak pada keharusan memilih daging untuk dimakan. Jamur atau salad bisa menjadi makanan yang lezat jika kita benar-benar mau menyingkirkan pendapat umum tentang makanan yang dari kecil sudah didefinisikan sebagai makanan lezat dan tentu saja mahal.
Selanjutnya saya jadi berpikir apakah ini tanda sebuah kerakusan? Memang jika masih berpijak pada hasil konstruksi yang menghasilkan kasta makanan, maka seolah-olah banyak masyarakat berlomba untuk menikmati makanan dengan kasta tertinggi. Ckckckc ditambah lagi iklan-iklan politik semacam: “Berbagi daging untuk sesama” nampaknya bijaksana, manusiawi dan menceritakan seorang miskin yang wajahnya begitu bersinar-sinar dan bahagia setelah menerima santunan daging kurban. Holy shit! Apa yang dilakukan petinggi-petinggi parpol itu, mereka meracuni rakyatku, saudara-saudaraku dengan tersirat melegitimasi bahwa kebenaran kasta tertinggi dalam makanan adalah daging. Efek buruknya adalah kemiskinan mental, mereka yang mengantri berjejal dan berdesakan hingga berebut dan menyingkirkan sesamanya demi mendapatkan kupon daging adalah bentuk kemiskinan mental yang kumaksud.
Beralih ke Jawa Timur, tempat dimana aku tinggal saat ini. Tradisi yang sering terlihat disini khususnya Kabupaten Malang, adalah panitia bersama-sama memanggang sate di sisi masjid setelah kambing disembelih, lengkap dengan nasi hangat, saus kacang, acar mentimun dan taburan bawangnya. Lebih mirip seperti pesta daripada essensinya, berbagi pada sesama bukan?
Pernah juga kudengar bahwa menyembelih dan memakan daging kurban pada dasarnya adalah penyimbolan untuk membunuh sifat-sifat kebinatangan dalam diri muslim serta diharuskan untuk selalu  bersyukur karena telah menikmati daging yang disediakan tuhan. Tapi betapa ganjilnya antara realita dan dogma, karena daging kambing yang dimakan manusia akan meningkatkan  tekanan darah dan justru meningkatkan libido, emosi dan temperamen yang moody, kalau sudah begini lantas sifat kebinatangan mana yang mau dibunuh??
Ditambah lagi daging yang dibakar dengan arang (sate) mengandung unsur karsinogenik, sebuah senyawa yang memicu tumbuhnya kanker. Lalu atas dasar apa manusia diperintahkan bersyukur setelah mengkonsumsi daging kurban? Merasakan kenikmatan sesaat karena berhasil memakan makanan borjuis? Terdengar begitu kekanak-kanakan.
Ada lagi cerita dari daerah Jakarta Selatan, seorang nenek tua yang bekerja sebagai pengumpul plastik bekas rela menabung selama tujuh tahun untuk membeli seekor kambing kurban seharga 2 juta rupiah. Usahanya patut diacungi jempol karena dia menyisihkan Rp 1000 perhari dari penghasilannya yang hanya berkisar antara Rp 5000- Rp 12.000, ada-ada saja pikirku dalam hati. Hal ini menunjukkan betapa  kuatnya pengaruh iklan-iklan politik abal-abal yang kukatakan di atas dengan cepat menyulap motivasi masyarakat, penduduk yang lemah secara ekonomi pun akan berusaha keras untuk dapat berkurban.
Hal lain yang ingin aku kemukakan dari betapa besarnya semangat masyarakat melakukan kurban adalah betapa besarnya pula kerusakan lingkungan. Sesuai hukum pasar, jika suatu komoditi banyak diminati maka permintaan akan naik dan produsen akan berusaha memenuhi permintaan pasar. Nah permintaan hewan kurban yang membludak tentulah akan membuat produsen dengan berbagai macam caranya  meningkatkan produktivitas. Bisa dibayangkan, sapi, kambing, kerbau adalah binatang seperti manusia yang menghasilkan banyak karbondioksida setiap menitnya, jika semakin banyak sapi-sapi, kambing-kambing, kerbau dan onta yang dilahirkan maka semakin banyak pula karbondioksida yang dihasilkan untuk bumi. Padahal seluruh dunia juga tahu adanya kerusakan hutan dan penyusutan oksigen di bagian sana-sini di setiap belahan bumi.
Belum lagi kotoran yang dihasilkan ternak-ternak tersebut mengandung amoniak, metana serta dinitrogen oksida yang mengganggu keseimbangan alam. Kekuatan metana yang dihasilkan oleh peternakan adalah 100 kali lipat lebih kuat daripada karbondioksida, sedangkan dinitrogen oksida potensinya adalah 300 kali lipat lebih panas dari karbondioksida dan hingga saat ini peternakan adalah penyumbang  terbesar untuk mempercepat proses pemanasan global beserta pencairan es di kutub. Berdasarkan penelitian PBB emisi peternakan lebih tinggi dibandingkan emisi transportasi yang digabungkan dari seluruh kendaraan di dunia.
Begitu juga dengan penggunaan air, untuk memproduksi 1 kilogram daging diperlukan sekitar 200.000 liter air, sementara untuk memproduksi 1 kilogram kedelai hanya butuh 2.000 liter, 900 untuk menghasilkan gandum, dan 650 liter untuk menghasilkan jagung. Industri peternakan adalah industri yang sama sekali tidak hemat energi dan merusak lingkungan. Oleh karena itu rasanya tidak berlebihan jika saya mengatakan bahwa para pengonsumsi daging adalah kelompok yang paling pantas dipersalahkan atas terjadinya kerusakan lingkungan dan percepatan pemanasan global.
Jika saya seorang theis sejati mungkin saya sudah berdoa kepada tuhan agar menaikkan harga-harga daging per kilogramnya seharga 10 kali mobil BMW keluaran terbaru agar harganya tidak terjangkau oleh kebanyakan rakyat dunia. Karena harga itu cukup pantas untuk mengganti kerusakan dan pencemaran lingkungan yang terjadi akibat pola pengkonsumsian daging. Tapi itu hanya sebuah ide, yang paling penting adalah bagaimana kita mulai belajar hidup sebagai vegetarian.
Mulailah dari hal kecil yang bisa kita lakukan, misalnya saja jika dalam sehari anda mengkonsumsi 200 gram daging maka turunkan angkanya secara bertahap mengkonsumsi 200 gram daging setiap dua hari sekali, tiga hari sekali, empat hari sekali, sampai anda benar-benar jarang memakan daging, kemudian ajaklah orang-orang disekitar untuk sadar betapa sehatnya sayur dan buah. Jika sudah melakukan hal tersebut, anda layak untuk disebut sebagai penyelamat kehidupan di bumi.
Kembali pada idul adha dan tradisi aqiqah, mungkin anda yang muslim akan bersikukuh untuk melaksanakan ritual kurban. Saya dapat memahaminya karena konstruksi yang tercipta memang begitu kuat, hingga kebanyakan masyarakat tidak akan bisa melepaskan diri dari jerat konstruksi. Tapi coba bayangkan apa yang akan terjadi 50 tahun ke depan jika kita tetap menjadi seekor omnivora dan cenderung karnivora, anak cucu kita? Mungkin mereka tidak akan berkesempatan lagi untuk melihat lucunya pinguin di kutub, karena kutubnya telah mencair dan menggenangi daratan. Oksigen juga semakin menyusut jika setiap satu orang bersikukuh mengorbankan seekor kambing tak bersalah atas nama tuhan. Jika sudah terjadi kerusakan alam akibat pola konsumsi daging, itukah tujuannya?
Kita hidup di bumi yang sama, kebersihan hati dan pensucian diri dari sifat-sifat kebinatangan terdapat dalam perilaku kita sendiri, kalaupun penyembelihan hewan kurban hanyalah simbol untuk membunuh sifat kebinatangan agar kita menjadi lebih beradab, apakah pembunuhan itu sendiri adalah perilaku yang beradab? Betapa kontrasnya antara simbol dan tujuan yang ingin dicapai. karena penyimbolannya saja sudah bertentangan dengan tujuan yang hendak dicapai. Sebagian dari kita akan mengatakan bahwa kambing itu turut berbahagia karena mereka mati atas syariat tuhan, nampaknya itu hanya jebakan betmen dari penafsiran-penafsiran egois yang ingin mencari-cari pembenaran atas tindakan yang secara kasat mata adalah sadis.
Binatang tentu memiliki syaraf pusat yang bisa mempersepsikan rasa sakit, berbeda dengan tanaman yang tidak memiliki syaraf serupa sehingga tanaman tidak akan merasa kesakitan, itulah yang sejauh ini diketahui oleh ilmu pengetahuan yang kebenarannya dapat diverifikasi. Masalah apakah kambing-kambing kurban akan bahagia (meski merasa sakit) sama saja dengan pertanyaan apakah akhirat benar-benar ada. Sebuah pertanyaan yang tidak akan bisa terjawab setidaknya saat ini, dan manusia selalu megandalkan tebakan-tebakan idealis laksana undian berhadiah demi menjustifikasi ide yang secara empiris sama sekali tidak menguntungkan bagi pihak lain. Jadi apakah kita yang beradab akan tega menyakiti sesama yang bernyawa hanya untuk sebuah kepuasan diatas piring makan atau hanya demi sebuah simbol kosong yang jauh dari esensi kehidupan beradab? Yang kita ketahui secara pasti hingga detik ini hanyalah: binatang merasakan sakit yang luar biasa ketika disembelih, titik.


Minggu, 29 September 2013

Angka Pendapatan Ekonomi, Cerminan Angka Kematian Penduduk


Begitu banyak data-data kependudukan yang disajikan dalam bentuk statistika lengkap dengan angka-angkanya. Sehingga saya anggap angka-angka tersebut adalah bahasa yang menjelaskan fenomena sosial kependudukan, lebih dari itu angka dalam sajian data statistik berbicara banyak tentang hubungannya dengan angka dalam data statistik yang lain, seperti yang sudah saya singgung, misalnya pendapatan ekonomi akan berpengaruh terhadap tinggi rendahnya angka kematian.
Seperti yang kita tahu, Indonesia saat ini memiliki pendapatan per kapita per tahun yang masih cukup rendah dibanding negara lainnya. Serta dengan utang luar negeri sebesar US$ 176, 5 milyar atau sekitar 821 per kapita menunjukkan bahwa setiap orang punya hutang sekitar Rp 8.000.000.[1] Hal tersebut adalah gambaran tentang keadaan ekonomi kita, yang menunjukkan bahwa selain minimnya pendapatan per kapita, ternyata masih juga dibebani oleh hutang warisan generasi terdahulu.
Nah, sekarang beralih ke angka kematian penduduk. Angka kematian penduduk erat kaitannya dengan angka harapan hidup dan  angka harapan hidup dipengaruhi oleh berbagai hal dan keadaan yang terjadi di suatu negara. Seperti kondisi politik, peperangan, keadaan pelayanan kesehatan, budaya dan agama.
Dari 223 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke 137 dengan angka harapan hidup 70,76. Masih tertinggal jauh dengan negara kecil di dekat Sumatra, yakni Singapura yang menempati urutan ke 6 dengan angka harapan hidup 82,14. Apa yang sebenarnya salah sehingga negara kita tidak cukup mampu menekan angka kematian dan menaikkan angka harapan hidup?
Pertama-tama. Pendapatan per kapita adalah salah satu indikator keadaan ekonomi suatu penduduk. Dan semua orang sosiologi tahu bahwa Karl Marx pun dalam materialisme historisnya yang terkenal mengatakan bahwa materi akan selalu mempengaruhi keadaan seseorang, bukan keadaan seseorang yang mempengaruhi kepemilikan materi.
Materi yang terwujud sebagai pendapatan ekonomi penduduk akan mempengaruhi akses-aksesnya terhadap pelayanan publik, seperti akses pendidikan, pangan, mobilitas, dan termasuk juga aspek kesehatan, itulah yang terjadi di Indonesia. Sehingga pasien yang sekarat tidak akan lekas ditangani jika tidak ada jaminan pembayaran administrasi. Saya jadi menarik konklusi yang sebenarnya pahit dan tidak ingin saya katakan “Dalam dunia medis dan pelayanan kesehatan Indonesia, nyawa manusia tidak lebih berharga daripada uang”
Akses dan pelayanan kesehatan yang baik dalam sebuah negara tentu akan meningkatkan kesehatan penduduk yang secara langsung berimbas pada berkurangnya angka kematian. Tapi pendapatan ekonomi yang rendah akan mempersulit akses kesehatan penduduk, dan akses kesehatan yang dipersulit secara signifikan menaikkan angka kematian, itulah mengapa rakyat miskin berkawan baik dengan angka harapan hidup yang rendah. Angka kematian bayi, angka kematian ibu melahirkan, angka gizi buruk, angka pasien yang tidak bisa mengakses pelayanan rawat inap, semua angka-angka berbicara tentang si miskin dan segala cerminan hidupnya.
Kematian sebenarnya memang bukan melulu berhubungan dengan struktur dan pendapatan ekonomi, sebaik apapun pendapatan per kapita suatu penduduk tetap ada juga faktor-faktor lain seperti kecelakaan,bencana alam, wabah penyakit, tapi yang saya soroti memang struktur dan pendapatan ekonomi karena berdasarkan laporan PBB, setiap detik ada 2 orang yang meninggal dunia dan total angka kematian yang terjadi pada tahun 2006 sekitar 62 juta jiwa. Dari 62 juta jiwa, 58% atau 36 juta jiwa meninggal disebabkan oleh kelaparan, penyakit dan kekurangan gizi.[2] Dan setidaknya, pasti penyumbang terbesar dari angka tersebut adalah negara miskin dan negara berkembang, termasuk negara Indonesia yang sedang berkembang. Terjadinya kelaparan dan kekurangan gizi bisa langsung ditebak oleh sebuah masalah klasik bernama kemiskinan. Sedangkan meninggal karena penyakit, selain karena wabah dan pola hidup yang tidak sehat, yang paling mendominasi saya rasa justru pelayanan dan akses kesehatan yang tidak bisa didapat oleh sebagian besar masyarakat karena lagi-lagi mereka berpenghasilan ekonomi rendah.
Secara makro, memang pendapatan ekonomi rakyat yang kemudian mempengaruhi akses kesehatan masyarakat adalah tanggung jawab pemerintah. Misalnya akses informasi tetang ibu hamil, bayi, dan pemenuhan gizi tak bisa lepas dari tanggung jawab penguasa, juga kebijakan-kebijakan hukum dalam penanganan pasien miskin yang dirugikan juga hanya seperti angin lalu yang diabaikan. Masyarakat berpendapatan ekonomi rendah selain tidak mendapat pelayanan yang baik, juga dalam hal penipuan medis seperti malpraktek, dan pengambilan organ tubuh (biasanya ginjal), merekalah yang paling banyak menjadi korban yang terabaikan hukum karena dianggap tidak punya cukup pengaruh untuk melawan, sumbangan lagi untuk alasan mengapa kebanyakan orang miskin cepat mati.
Angka harapan hidup pun bicara soal kematian di setiap negara, mau tak mau harus diakui bahwa angka harapan hidup seolah membenarkan bahwa batas negara memang batas seseorang bisa hidup lebih lama atau tidak. Sederhana saja, mungkin profesi kedua orang sama-sama sebagai pemulung, pemungut sampah yang dalam terminologi manapun diidentikkan sebagai kelas ekonomi lemah. Yang satu berprofesi sebagai pemulung di Indonesia, yang satunya lagi berprofesi pemulung di negara China. Tapi kemungkinan besar pemulung di negara China akan bertahan hidup lebih lama dibanding pemulung di Indonesia, pembedanya adalah, pemulung Indonesia ketika sakit mereka akan diusir dari rumah sakit jika tidak mampu atau tidak ada jaminan sanggup membayar (padahal profesi pemulung rentan dengan penyakit), sedangkan pemulung di China bisa berobat ke rumah sakit karena pemerintahan bertanggung jawab atas kesehatan penduduknya. Jadi sekali lagi, pelayanan dan akses kesehatan memegang peranan penting dalam angka harapan hidup dan angka kematian penduduk suatu negara.
Rumah sakit di Indonesia menurut saya bukan lagi bertujuan menghilangkan sakit bagi masyarakat, tapi sudah berubah mejadi ladang-ladang baru bagi kapitalis. Rumah sakit mewah, rumah sakit bertaraf internasional, rumah sakit dengan tenaga-tenaga medis impor dari luar negeri, semuanya yang berhubungan dengan kesejahteraan medis berbau kapitalis imperialis asing. Dan yang mampu membayar pelayanan kesehatan yang berkualitas adalah segelintir mereka-mereka yang berada di posisi ekonomi atas, sehingga menjadi telak lah, alasan bahwa pendapatan ekonomi-akses kesehatan­­­­­­­-angka harapan hidup-dan angka kematian adalah suatu hal yang berkesinambungan.
Mungkin juga ada alasan lain, misalnya angka harapan hidup dan angka kematian masyarakat tidak hanya dipengaruhi oleh struktur ekonomi (terutama pendapatan ekonomi) tapi bisa saja ditentukan oleh hal lain seperti: masyarakat baik kalangan ekonomi keatas maupun kalangan ekonomi bawah bisa saja menerapkan pola hidup tidak sehat dengan rokok, alkohol, softdrink, dan junkfood yang ditengarai mempercepat kematian. Tapi saya anggap itu alasan individualis yang tidak cukup relevan untuk melawan angka dan data statistik yang jelas-jelas menunjukkan tingginya angka kematian karena struktur sosial ekonomi di Indonesia memarginalkan masyarakat berpenghasilan rendah dalam hal kesehatan.
Memang masyarakat berpenghasilan ekonomi rendah sering dihadapkan pada angka harapan hidup yang rendah saat mereka sakit tapi tidak mendapat pelayanan kesehatan yang cukup baik. Selanjutnya kematian akibat penyakit yang tidak tertangani oleh tenaga medis seolah menjadi agenda biasa bagi rakyat miskin. Tak ayal, pantas saja tingginya angka-angka kematian penduduk dalam statistik diwarnai oleh mereka yang berpendapatan ekonomi rendah.



[1] Rinekso Kartono, 2007, “Beberapa Pemikiran Tentang Pembangunan Kesejahteraan Sosial”, Malang : UMM Press, hal. 17
[2] http://nusantaranews.wordpress.com/2009/10/16/tahun-2010-66-juta-penduduk-meninggal-dunia/


Kedaulatan Pangan Indonesia, Rasionalitas Kebijakan Ekonomi dan Keterlekatan


            Ada yang menarik perhatian saat melintasi Jl. Sudirman, persis di depan lapangan Rampal terdapat baliho superbesar bertuliskan “Parade Pangan Nusantara”. Dibawahnya terdapat tulisan yang tak kalah besar yakni “Indonesia Menuju Kedaulatan Pangan”. Hal yang menarik bagi saya untuk dikaji dan dianalisis lebih dalam, pasalnya acara bertajuk kuliner yang membawa-bawa kedaulatan pangan negara semacam ini belum pernah saya temui sepanjang 20 tahun hidup di Kota Malang.
            Sebenarnya apa yang terjadi, apakah parade ini adalah salah satu upaya serius menuju kedaulatan pangan Indonesia atau malah sebenarnya ini adalah cermin bahwa dependensi pangan kita sudah sedemikian parahnya hingga kedaulatan pangan Indonesia dijadikan sebuah parade dan hanya sebuah parade bagai musim berganti yang berlalu begitu saja tanpa langkah lanjutan? yang jelas tepat esok hari acara ini diselenggarakan, dan sebaiknya tidak dilewatkan.
            Begitu sering saya membaca di media tentang ketergantungan ekonomi dan pangan di Indonesia, lengkap dengan kritik-kritik tajam media terhadap jajaran pemerintah. Terkadang ada benarnya juga apa yang disuarakan oleh media, faktanya sampai hari ini kita masih saja impor sana sini untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri, sudah hal yang lumrah jika kita biasa impor beras dari Thailand, impor buah dari China, impor daging dari Australia dan tak tanggung-tanggung merk dagang (franchise) impor pun ikut diboyong kedalam negeri, memunculkan Mc’D, KFC dan segala jenis pangan dengan brand impor. Kalaupun tidak impor, sebagian besar produk pangan yang beredar di dalam negeri sahamnya dikuasai oleh asing.
            Weber menyatakan dalam kajiannya terdapat 4 jenis rasionalitas, yakni rasionalitas instrumental, orientasi nilai, tradisional dan afeksi[1]. Jika ditinjau dari segi kebijakan yang diambil, menurut saya pemerintah cenderung masuk dalam kategori rasional orientasi nilai, terlihat dari kebijakan impor sana sini yang cenderung menggunakan prinsip “asal terpenuhi” tanpa mempertimbangkan tujuan, essensi dan dampak jangka panjang jika kita selalu melakukan impor.
            Selain faktor rasionalitas dalam kepemimpinan yang menghambat kedaulatan pangan, juga karena adanya faktor lain seperti ketidakstabilan mutu produk yang terjadi karena kuatnya kecenderungan pengusaha lokal untuk mencari keuntungan jangka pendek[2]. Sebenarnya masih berhubungan juga dengan konsep rasionalitas Weber, akan tetapi dalam hal ini permasalahan rasionalitas terletak pada para pengusaha lokal itu sendiri.
            Sedangkan dalam hal lain, saya rasa masyarakat Indonesia sedang dilanda krisis kepercayaan diri, tidak menghargai produk dalam negeri. Itulah mengapa kita tidak bisa menjadi negara yang berdaulat dalam hal pemenuhan pangan rakyat. Bisa dikatakan juga masyarakat Indonesia masih cenderung termasuk kedalam jenis rasionalitas tradisional dan afeksi. Sekali lagi, masyarakat kita mudah terbawa arus prestise. Makan di Mc’D adalah prestise, makan keju impor asal Swedia adalah prestise dan bergengsi, nah hal seperti inilah yang semakin membuat imperialis asing tumbuh subur di nusantara, merenggut kedaulatan kita perlahan-lahan dan menghilangkan jati diri bangsa.
            Mungkin dalam hal ini juga sedikit mengacu dengan apa yang diungkapkan oleh granovetter[3] bahwa apa yang terjadi dalam produksi, distribusi dan konsumsi sangat banyak dipengaruhi oleh keterlekatan orang dalam hubungan sosial.          Mengenai keterlekatan tersebut bisa diamati, pola tindakan ekonomi (dalam hal konsumsi masyarakat) Indonesia saat ini selain selain sebagai pemenuhan terhadap kebutuhan ekonomi sebenarnya juga ditujukan untuk menunjukkan status sosial, sehingga masyarakat cenderung lebih memilih bahan pangan impor dan kurang menghargai produk-produk pangan dalam negeri, terkadang hal ini membuat permintaan pasar lokal menurun sehingga menjadi pukulan telak bagi para petani dalam negeri yang kalah dengan produk impor.
            Ketergantungan/dependensi dan ketidak berdaulatan pangan Indonesia adalah masalah ekonomi-sosial yang krusial. Jadi bagi saya, untuk mencapai kedaulatan pangan Indonesia tidak cukup hanya dengan menyelenggarakan parade pangan nusantara dan acara-acara sejenisnya. Jika dilihat dari segi kebijakan pemerintah yang mengacu pada analisis rasionalitas Weber, maka diperlukan tindakan rasional instrumental yang diterapkan pada setiap kebijakan otoritas legal-formal pemerintah agar kedaulatan pangan sebagai tujuan dapat tercapai. Misalnya dengan tegas melindungi produk-produk lokal dari gusuran produk impor.
            Jika dilihat dari segi masyarakat melalui analisis granoveter, maka dapat saya tarik sebuah titik temu. Jika tindakan ekonomi disituasikan secara sosial dan keduanya melekat, maka sebelum jauh berbicara tentang masalah kedaulatan pangan, diperlukan kajian mendalam untuk memperbaiki fenomena keterlekatan tersebut agar tidak berdampak buruk pada perekonomian Indonesia. Misal: Seperti yang kita tahu, masyarakat berbondong-bondong membeli produk pangan impor, hal itu antara lain adalah untuk menunjukkan status sosial karena sesuatu yang impor masih mendapat citra lux dan selalu kalah dengan kualitas barang apapun dari dalam negeri. Karena pandangan semacam ini masih eksis di masyarakat, maka produk pangan lokal kurang bisa mendongkrak pasar, akibatnya terjadilah kecenderungan impor dan penghargaan yang terlalu tinggi terhadap produk asing.
            Solusinya adalah memperbaiki kualitas dan citra produk pangan dalam negeri. Pemerintah dan penguasa memiliki kekuatan besar untuk membatasi dan mengontrol produk yang masuk, juga memiliki pengaruh yang besar terhadap upaya pencitraan produk dalam negeri. Beberapa tahun silam, kita sempat memiliki slogan “Cintai Produk dalam Negeri” yang membuat bangsa kita memangkitkan kepercayaan diri untuk bersaing. Tapi sekarang slogan itu seolah hilang ditikam badai politik dan pesimistik pembangunan ekonomi.
            Kita hidup di negeri luas dan kaya, bahkan sebuah perumpamaan mengatakan: “Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman”menggambarkan betapa suburnya tanah kita. Tapi ironis, tanah subur dan kaya ini seolah tak berdaya untuk menghidupi rakyatnya. Barangkali kebijakan impor pangan dan menjamurnya franchise-franchise asing di nusantara adalah bukti bahwa kita adalah negara tidak mandiri dalam hal pangan, kalau boleh berkata, saya mengandaikan rakyat Indonesia seperti hampir mati kelaparan di lumbung padi.



[1] Zainuddin Maliki. 2004. Narasi Agung. Surabaya : LPAM. hal. 223
[2] Desta Raharjana. 2003. Ekonomi Moral, Rasional dan Politik. Yogyakarta : Kepel Press hal. 68
[3] Damsar. 1997. Sosiologi Ekonomi. Jakarta : Raja Grafindo hal. 34