Minggu, 29 September 2013

Kedaulatan Pangan Indonesia, Rasionalitas Kebijakan Ekonomi dan Keterlekatan


            Ada yang menarik perhatian saat melintasi Jl. Sudirman, persis di depan lapangan Rampal terdapat baliho superbesar bertuliskan “Parade Pangan Nusantara”. Dibawahnya terdapat tulisan yang tak kalah besar yakni “Indonesia Menuju Kedaulatan Pangan”. Hal yang menarik bagi saya untuk dikaji dan dianalisis lebih dalam, pasalnya acara bertajuk kuliner yang membawa-bawa kedaulatan pangan negara semacam ini belum pernah saya temui sepanjang 20 tahun hidup di Kota Malang.
            Sebenarnya apa yang terjadi, apakah parade ini adalah salah satu upaya serius menuju kedaulatan pangan Indonesia atau malah sebenarnya ini adalah cermin bahwa dependensi pangan kita sudah sedemikian parahnya hingga kedaulatan pangan Indonesia dijadikan sebuah parade dan hanya sebuah parade bagai musim berganti yang berlalu begitu saja tanpa langkah lanjutan? yang jelas tepat esok hari acara ini diselenggarakan, dan sebaiknya tidak dilewatkan.
            Begitu sering saya membaca di media tentang ketergantungan ekonomi dan pangan di Indonesia, lengkap dengan kritik-kritik tajam media terhadap jajaran pemerintah. Terkadang ada benarnya juga apa yang disuarakan oleh media, faktanya sampai hari ini kita masih saja impor sana sini untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri, sudah hal yang lumrah jika kita biasa impor beras dari Thailand, impor buah dari China, impor daging dari Australia dan tak tanggung-tanggung merk dagang (franchise) impor pun ikut diboyong kedalam negeri, memunculkan Mc’D, KFC dan segala jenis pangan dengan brand impor. Kalaupun tidak impor, sebagian besar produk pangan yang beredar di dalam negeri sahamnya dikuasai oleh asing.
            Weber menyatakan dalam kajiannya terdapat 4 jenis rasionalitas, yakni rasionalitas instrumental, orientasi nilai, tradisional dan afeksi[1]. Jika ditinjau dari segi kebijakan yang diambil, menurut saya pemerintah cenderung masuk dalam kategori rasional orientasi nilai, terlihat dari kebijakan impor sana sini yang cenderung menggunakan prinsip “asal terpenuhi” tanpa mempertimbangkan tujuan, essensi dan dampak jangka panjang jika kita selalu melakukan impor.
            Selain faktor rasionalitas dalam kepemimpinan yang menghambat kedaulatan pangan, juga karena adanya faktor lain seperti ketidakstabilan mutu produk yang terjadi karena kuatnya kecenderungan pengusaha lokal untuk mencari keuntungan jangka pendek[2]. Sebenarnya masih berhubungan juga dengan konsep rasionalitas Weber, akan tetapi dalam hal ini permasalahan rasionalitas terletak pada para pengusaha lokal itu sendiri.
            Sedangkan dalam hal lain, saya rasa masyarakat Indonesia sedang dilanda krisis kepercayaan diri, tidak menghargai produk dalam negeri. Itulah mengapa kita tidak bisa menjadi negara yang berdaulat dalam hal pemenuhan pangan rakyat. Bisa dikatakan juga masyarakat Indonesia masih cenderung termasuk kedalam jenis rasionalitas tradisional dan afeksi. Sekali lagi, masyarakat kita mudah terbawa arus prestise. Makan di Mc’D adalah prestise, makan keju impor asal Swedia adalah prestise dan bergengsi, nah hal seperti inilah yang semakin membuat imperialis asing tumbuh subur di nusantara, merenggut kedaulatan kita perlahan-lahan dan menghilangkan jati diri bangsa.
            Mungkin dalam hal ini juga sedikit mengacu dengan apa yang diungkapkan oleh granovetter[3] bahwa apa yang terjadi dalam produksi, distribusi dan konsumsi sangat banyak dipengaruhi oleh keterlekatan orang dalam hubungan sosial.          Mengenai keterlekatan tersebut bisa diamati, pola tindakan ekonomi (dalam hal konsumsi masyarakat) Indonesia saat ini selain selain sebagai pemenuhan terhadap kebutuhan ekonomi sebenarnya juga ditujukan untuk menunjukkan status sosial, sehingga masyarakat cenderung lebih memilih bahan pangan impor dan kurang menghargai produk-produk pangan dalam negeri, terkadang hal ini membuat permintaan pasar lokal menurun sehingga menjadi pukulan telak bagi para petani dalam negeri yang kalah dengan produk impor.
            Ketergantungan/dependensi dan ketidak berdaulatan pangan Indonesia adalah masalah ekonomi-sosial yang krusial. Jadi bagi saya, untuk mencapai kedaulatan pangan Indonesia tidak cukup hanya dengan menyelenggarakan parade pangan nusantara dan acara-acara sejenisnya. Jika dilihat dari segi kebijakan pemerintah yang mengacu pada analisis rasionalitas Weber, maka diperlukan tindakan rasional instrumental yang diterapkan pada setiap kebijakan otoritas legal-formal pemerintah agar kedaulatan pangan sebagai tujuan dapat tercapai. Misalnya dengan tegas melindungi produk-produk lokal dari gusuran produk impor.
            Jika dilihat dari segi masyarakat melalui analisis granoveter, maka dapat saya tarik sebuah titik temu. Jika tindakan ekonomi disituasikan secara sosial dan keduanya melekat, maka sebelum jauh berbicara tentang masalah kedaulatan pangan, diperlukan kajian mendalam untuk memperbaiki fenomena keterlekatan tersebut agar tidak berdampak buruk pada perekonomian Indonesia. Misal: Seperti yang kita tahu, masyarakat berbondong-bondong membeli produk pangan impor, hal itu antara lain adalah untuk menunjukkan status sosial karena sesuatu yang impor masih mendapat citra lux dan selalu kalah dengan kualitas barang apapun dari dalam negeri. Karena pandangan semacam ini masih eksis di masyarakat, maka produk pangan lokal kurang bisa mendongkrak pasar, akibatnya terjadilah kecenderungan impor dan penghargaan yang terlalu tinggi terhadap produk asing.
            Solusinya adalah memperbaiki kualitas dan citra produk pangan dalam negeri. Pemerintah dan penguasa memiliki kekuatan besar untuk membatasi dan mengontrol produk yang masuk, juga memiliki pengaruh yang besar terhadap upaya pencitraan produk dalam negeri. Beberapa tahun silam, kita sempat memiliki slogan “Cintai Produk dalam Negeri” yang membuat bangsa kita memangkitkan kepercayaan diri untuk bersaing. Tapi sekarang slogan itu seolah hilang ditikam badai politik dan pesimistik pembangunan ekonomi.
            Kita hidup di negeri luas dan kaya, bahkan sebuah perumpamaan mengatakan: “Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman”menggambarkan betapa suburnya tanah kita. Tapi ironis, tanah subur dan kaya ini seolah tak berdaya untuk menghidupi rakyatnya. Barangkali kebijakan impor pangan dan menjamurnya franchise-franchise asing di nusantara adalah bukti bahwa kita adalah negara tidak mandiri dalam hal pangan, kalau boleh berkata, saya mengandaikan rakyat Indonesia seperti hampir mati kelaparan di lumbung padi.



[1] Zainuddin Maliki. 2004. Narasi Agung. Surabaya : LPAM. hal. 223
[2] Desta Raharjana. 2003. Ekonomi Moral, Rasional dan Politik. Yogyakarta : Kepel Press hal. 68
[3] Damsar. 1997. Sosiologi Ekonomi. Jakarta : Raja Grafindo hal. 34


Tidak ada komentar:

Posting Komentar