Mulai banyak yang berbicara soal kambing
kurban..
Aku melihatnya
sebagai suatu pelarian irrasional berdasarkan konstruksi yang tercipta dalam
masyarakat. Akan ku mulai ini dari Jawa tengah, disana ratusan warga mengantri
berjubel dan rela berdesak-desakan hanya untuk mendapatkan kupon daging kurban,
bahkan ada anak perempuan berusia sekitar 11 tahun hampir pingsan karena
berdesakan di tengah-tengah orang dewasa yang nampaknya jarang sekali makan
daging kambing itu.
Lantas saya
tertegun memandangi layar kaca televisi seolah makhluk-makhluk yang ingin
mendapatkan kupon daging kurban tersebut telah terhipnotis dan lupa akan makna
hari rayanya sendiri. Jika dirunut dari sisi mereka maka tuhan memang
memerintahkan manusia untuk berkurban di hari raya idul adha. Berdasarkan mitos
yang sering terdengar, hal itu adalah untuk memperingati terjadinya
penyembelihan nabi Ibrahim terhadap anaknya yang kemudian dibatalkan Allah
karena semata Ia hanya menguji, dan juga untuk menebus setiap diri muslim dari
gadai agar garis keturunannya kelak diakui di akhirat (tujuan aqiqah). Tapi
yang terjadi dalam realita seperti di Jawa Tengah, rebutan kupon daging gratis.
What for?
Masyarakat kini
benar-benar terdogma, terhegemoni dan terkonstruksi untuk meyakini bahwa daging
adalah makanan lezat yang biasa dimakan mulut para elitis. Sama halnya dengan
beragama, manusia yang lahir di lingkungan Hindu cenderung akan menjadi seorang
Hindu, yang lahir diantara keluarga zoroaster juga kemungkinan besar akan
tumbuh menjadi seorang penganut zoroaster. Demikian pula, kambing yang
terdefinisi sebagai “makanan enak” adalah hasil konstruksi, menyebalkan sekali
melihat manusia seolah menempatkan daging dalam kasta teratas makanan sehingga
mereka berusaha mengejar-ngejar makanan di kasta tertinggi itu. Padahal untuk
menikmati makanan lezat, lidah yang pada dasarnya memiliki subjektifitasnya
masing-masing ini tidak berpihak pada keharusan memilih daging untuk dimakan.
Jamur atau salad bisa menjadi makanan yang lezat jika kita benar-benar mau
menyingkirkan pendapat umum tentang makanan yang dari kecil sudah didefinisikan
sebagai makanan lezat dan tentu saja mahal.
Selanjutnya saya
jadi berpikir apakah ini tanda sebuah kerakusan? Memang jika masih berpijak
pada hasil konstruksi yang menghasilkan kasta makanan, maka seolah-olah banyak
masyarakat berlomba untuk menikmati makanan dengan kasta tertinggi. Ckckckc
ditambah lagi iklan-iklan politik semacam: “Berbagi daging untuk sesama”
nampaknya bijaksana, manusiawi dan menceritakan seorang miskin yang wajahnya
begitu bersinar-sinar dan bahagia setelah menerima santunan daging kurban. Holy
shit! Apa yang dilakukan petinggi-petinggi parpol itu, mereka meracuni
rakyatku, saudara-saudaraku dengan tersirat melegitimasi bahwa kebenaran kasta
tertinggi dalam makanan adalah daging. Efek buruknya adalah kemiskinan mental,
mereka yang mengantri berjejal dan berdesakan hingga berebut dan menyingkirkan
sesamanya demi mendapatkan kupon daging adalah bentuk kemiskinan mental yang
kumaksud.
Beralih ke Jawa
Timur, tempat dimana aku tinggal saat ini. Tradisi yang sering terlihat disini
khususnya Kabupaten Malang, adalah panitia bersama-sama memanggang sate di sisi
masjid setelah kambing disembelih, lengkap dengan nasi hangat, saus kacang,
acar mentimun dan taburan bawangnya. Lebih mirip seperti pesta daripada
essensinya, berbagi pada sesama bukan?
Pernah juga
kudengar bahwa menyembelih dan memakan daging kurban pada dasarnya adalah
penyimbolan untuk membunuh sifat-sifat kebinatangan dalam diri muslim serta
diharuskan untuk selalu bersyukur karena telah menikmati daging yang
disediakan tuhan. Tapi betapa ganjilnya antara realita dan dogma, karena daging
kambing yang dimakan manusia akan meningkatkan tekanan darah dan justru
meningkatkan libido, emosi dan temperamen yang moody, kalau sudah begini
lantas sifat kebinatangan mana yang mau dibunuh??
Ditambah lagi
daging yang dibakar dengan arang (sate) mengandung unsur karsinogenik, sebuah
senyawa yang memicu tumbuhnya kanker. Lalu atas dasar apa manusia diperintahkan
bersyukur setelah mengkonsumsi daging kurban? Merasakan kenikmatan sesaat
karena berhasil memakan makanan borjuis? Terdengar begitu kekanak-kanakan.
Ada lagi cerita
dari daerah Jakarta Selatan, seorang nenek tua yang bekerja sebagai pengumpul
plastik bekas rela menabung selama tujuh tahun untuk membeli seekor kambing
kurban seharga 2 juta rupiah. Usahanya patut diacungi jempol karena dia
menyisihkan Rp 1000 perhari dari penghasilannya yang hanya berkisar antara Rp
5000- Rp 12.000, ada-ada saja pikirku dalam hati. Hal ini menunjukkan
betapa kuatnya pengaruh iklan-iklan politik abal-abal yang kukatakan di
atas dengan cepat menyulap motivasi masyarakat, penduduk yang lemah secara
ekonomi pun akan berusaha keras untuk dapat berkurban.
Hal lain yang
ingin aku kemukakan dari betapa besarnya semangat masyarakat melakukan kurban
adalah betapa besarnya pula kerusakan lingkungan. Sesuai hukum pasar, jika
suatu komoditi banyak diminati maka permintaan akan naik dan produsen akan
berusaha memenuhi permintaan pasar. Nah permintaan hewan kurban yang membludak
tentulah akan membuat produsen dengan berbagai macam caranya meningkatkan
produktivitas. Bisa dibayangkan, sapi, kambing, kerbau adalah binatang seperti
manusia yang menghasilkan banyak karbondioksida setiap menitnya, jika semakin
banyak sapi-sapi, kambing-kambing, kerbau dan onta yang dilahirkan maka semakin
banyak pula karbondioksida yang dihasilkan untuk bumi. Padahal seluruh dunia
juga tahu adanya kerusakan hutan dan penyusutan oksigen di bagian sana-sini di
setiap belahan bumi.
Belum lagi
kotoran yang dihasilkan ternak-ternak tersebut mengandung amoniak, metana serta
dinitrogen oksida yang mengganggu keseimbangan alam. Kekuatan metana yang
dihasilkan oleh peternakan adalah 100 kali lipat lebih kuat daripada
karbondioksida, sedangkan dinitrogen oksida potensinya adalah 300 kali lipat
lebih panas dari karbondioksida dan hingga saat ini peternakan adalah
penyumbang terbesar untuk mempercepat proses pemanasan global beserta
pencairan es di kutub. Berdasarkan penelitian PBB emisi peternakan lebih tinggi
dibandingkan emisi transportasi yang digabungkan dari seluruh kendaraan di
dunia.
Begitu juga
dengan penggunaan air, untuk memproduksi 1 kilogram daging diperlukan sekitar
200.000 liter air, sementara untuk memproduksi 1 kilogram kedelai hanya butuh
2.000 liter, 900 untuk menghasilkan gandum, dan 650 liter untuk menghasilkan
jagung. Industri peternakan adalah industri yang sama sekali tidak hemat energi
dan merusak lingkungan. Oleh karena itu rasanya tidak berlebihan jika saya mengatakan
bahwa para pengonsumsi daging adalah kelompok yang paling pantas dipersalahkan
atas terjadinya kerusakan lingkungan dan percepatan pemanasan global.
Jika saya
seorang theis sejati mungkin saya sudah berdoa kepada tuhan agar menaikkan
harga-harga daging per kilogramnya seharga 10 kali mobil BMW keluaran terbaru
agar harganya tidak terjangkau oleh kebanyakan rakyat dunia. Karena harga itu
cukup pantas untuk mengganti kerusakan dan pencemaran lingkungan yang terjadi
akibat pola pengkonsumsian daging. Tapi itu hanya sebuah ide, yang paling
penting adalah bagaimana kita mulai belajar hidup sebagai vegetarian.
Mulailah dari
hal kecil yang bisa kita lakukan, misalnya saja jika dalam sehari anda
mengkonsumsi 200 gram daging maka turunkan angkanya secara bertahap
mengkonsumsi 200 gram daging setiap dua hari sekali, tiga hari sekali, empat
hari sekali, sampai anda benar-benar jarang memakan daging, kemudian ajaklah
orang-orang disekitar untuk sadar betapa sehatnya sayur dan buah. Jika sudah
melakukan hal tersebut, anda layak untuk disebut sebagai penyelamat kehidupan
di bumi.
Kembali pada
idul adha dan tradisi aqiqah, mungkin anda yang muslim akan bersikukuh untuk
melaksanakan ritual kurban. Saya dapat memahaminya karena konstruksi yang
tercipta memang begitu kuat, hingga kebanyakan masyarakat tidak akan bisa
melepaskan diri dari jerat konstruksi. Tapi coba bayangkan apa yang akan
terjadi 50 tahun ke depan jika kita tetap menjadi seekor omnivora dan cenderung
karnivora, anak cucu kita? Mungkin mereka tidak akan berkesempatan lagi untuk
melihat lucunya pinguin di kutub, karena kutubnya telah mencair dan menggenangi
daratan. Oksigen juga semakin menyusut jika setiap satu orang bersikukuh
mengorbankan seekor kambing tak bersalah atas nama tuhan. Jika sudah terjadi kerusakan
alam akibat pola konsumsi daging, itukah tujuannya?
Kita hidup di
bumi yang sama, kebersihan hati dan pensucian diri dari sifat-sifat kebinatangan
terdapat dalam perilaku kita sendiri, kalaupun penyembelihan hewan kurban
hanyalah simbol untuk membunuh sifat kebinatangan agar kita menjadi lebih
beradab, apakah pembunuhan itu sendiri adalah perilaku yang beradab? Betapa
kontrasnya antara simbol dan tujuan yang ingin dicapai. karena penyimbolannya
saja sudah bertentangan dengan tujuan yang hendak dicapai. Sebagian dari kita
akan mengatakan bahwa kambing itu turut berbahagia karena mereka mati atas
syariat tuhan, nampaknya itu hanya jebakan betmen dari penafsiran-penafsiran
egois yang ingin mencari-cari pembenaran atas tindakan yang secara kasat mata
adalah sadis.
Binatang tentu
memiliki syaraf pusat yang bisa mempersepsikan rasa sakit, berbeda dengan
tanaman yang tidak memiliki syaraf serupa sehingga tanaman tidak akan merasa
kesakitan, itulah yang sejauh ini diketahui oleh ilmu pengetahuan yang
kebenarannya dapat diverifikasi. Masalah apakah kambing-kambing kurban akan
bahagia (meski merasa sakit) sama saja dengan pertanyaan apakah akhirat
benar-benar ada. Sebuah pertanyaan yang tidak akan bisa terjawab setidaknya
saat ini, dan manusia selalu megandalkan tebakan-tebakan idealis laksana undian
berhadiah demi menjustifikasi ide yang secara empiris sama sekali tidak
menguntungkan bagi pihak lain. Jadi apakah kita yang beradab akan tega
menyakiti sesama yang bernyawa hanya untuk sebuah kepuasan diatas piring makan
atau hanya demi sebuah simbol kosong yang jauh dari esensi kehidupan beradab?
Yang kita ketahui secara pasti hingga detik ini hanyalah: binatang merasakan
sakit yang luar biasa ketika disembelih, titik.