Senin, 29 September 2014

Fordisme-Post Fordisme

            Fordisme adalah sebuah model produksi dalam industri kapitalisme yang mencapai kejayaan sekitar tahun 1950-1960, sistem ini pertama kali dipraktekkan oleh Henry Ford, seorang industrialis yang memproduksi mobil bermerk Ford. Henry Ford sendiri sebenarnya mengadopsi gagasan Friedrich Taylor mengenai metode manajemen buruh berdasarkan studi Ilmiah yang ia lakukan.
            Mekanisme yang terdapat dalam fordisme adalah melakukan produksi massal berdasarkan teknik lini perakitan. Bagian-bagian barang yang akan dikomoditikan diproduksi secara terpisah dengan menggunakan pembagian kerja yang mengedepankan rutinitas produksi pada masing-masing bagian yang diproduksi. Jadi, buruh dalam pabrik dipecah-pecah menjadi banyak bagian dan mereka hanya mengerjakan bagian yang sama setiap harinya.
            Sebagai contoh: sebagian buruh hanya akan memproduksi setir mobil setiap harinya, sementara buruh lain dalam pabrik tersebut akan memproduksi kursi mobil, sedangkan buruh lain akan memproduksi ban mobil, dan seterusnya, hingga semua bagian mobil yang akan dirakit dan dikomoditikan menjadi komplit. Dengan cara ini, fordisme menjadi cara yang ampuh untuk menekan biaya produksi (meskipun para pemilik modal juga menaikkan upah para pekerja, tapi hal ini sebenarnya adalah untuk mengingkatkan produktivitas barang  itu sendiri), fordisme waktu itu juga memberikan efisiensi, penghematan waktu, sekaligus dapat memenuhi permintaan pasar dengan lebih cepat.
            Akibat adanya fordisme, barang produksi massal yang dipasarkan menjadi monopoli perusahaan tertentu, sehingga terjadi homogenisasi konsumsi masyarakat. Arena pasar yang berlaku waktu itu didominasi oleh penawaran. Lambat laun sekitar tahun 19701an fordisme pun runtuh, karena pasar jenuh dengan homogenisasi produk dan pasar yang berorientasi penawaran, atas dasar inilah kemudian muncul post fordisme. Hizkia dkk dalam jurnalnya menyebut peralihan dari Fordisme ke post fordisme adalah sebuah mutasi. Hal ini dapat dipahami sebagai upaya kapitalisme untuk merubah sebagian dari dirinya, agar kapitalisme dapat terus bertahan hidup dengan wajah yang baru, yang lebih ramah dan tentu lebih pandai merayu konsumen.
            Kapitalisme seringkali menjadi musuh dan target yang ingin ditumbangkan oleh banyak orang, segelintir orang sebagai pemilik modal dalam sejarah selalu dihadapkan pada pergerakan, perlawanan atau minimal pada sisnisme buruh, pekerja, dan sebagian orang yang sadar akan konstruksi dunia industri kapitalisme. Kapitalisme yang dulu menjelma dalam fordisme dan sempat berhasil meredam sisnisme tersebut akhirnya harus jatuh,dan kini kita sedang menikmati buaian post fordisme, yang tak lain adalah reinkarnasi kapitalisme itu sendiri.
            Sebagai contoh, produk Apple adalah salah satu manifestasi dari gairah jaman post fordisme[1]. Sistem produksi tidak lagi didasari oleh sistem produksi massal, tetapi lebih berorientasi pada permintaan dan era ini adalah era yang sangat respect terhadap permintaan konsumen, karena konsumen membutuhkan barang-barang yang dapat menunjukkan identitasnya sebagai hasil dari relasi sosial. Namun identitas yang dikejar oleh para konsumen pun ini sebenarnya adalah bentukan dari citra ekslusif, lux, dan mahal yang sengaja diciptakan dan dicitrakan oleh kapitalisme agar konsumen membutuhkan identitas tersebut, yang celakanya identitas itu oleh banyak orang dianggap dapat terpenuhi jika dapat membeli produk-produk mahal, eksklusif, serta menampilkan identitas yang diproduksi oleh kapitalisme.
            Dalam post fordisme terjadi perluasan definisi dan pola produksi. Yang dipakai adalah logika citra eksklusif, kepuasan karna mengonsumsi hal yang berbeda agar terus menerus mengkonsumsi, Apple, sebagai penyedia gadget, memiliki reputasi dan citra yang barangkali dianggap terbaik untuk merepresentasikan status ekonomi kelas menengah keatas, citra inilah yang membuat banyak konsumen merasa membutuhkan produk ini sebagai simbol identitasnya atau sekedar bertujuan untuk mencapai standar hidup yang lebih tinggi. Berbeda dengan jaman fordisme yang menekankan produksi secara massal dan berorientasi produksi, di era post fordisme ini lebih menekankan eksklusifisme dan produksi diorientasikan berdasarkan konsumsi.
            Disamping itu juga adanya perluasan definisi dan pola konsumsi. Era produksi telah digantikan oleh era konsumsi, konsumen bukan sekedar memikirkan barang merk apa yang mereka pakai, rumah elit di hunian mana yang mereka tinggali, atau fashion dari brand apa yang mereka kenakan, tapi lebih dari itu, konsumen hari ini juga memikirkan akan dipandang sebagai apa dirinya ketika mengonsumsi dan membeli segala jenis barang-barang yang ada di pasar.
            Citra eksklusif, berbeda, dan konsumen yang haus akan identitas ini linear dengan yang dikatakan Lazzarato mengenai konsep immaterial labour[2]. Pada era fordisme, labour adalah buruh atau pekerja yang memproduksi barang-barang riil, tapi pada era post fordisme dia menambahkan analisis mengenai immaterial labour yang memproduksi citra-citra tersebut agar komoditinya sukses di pasaran. Lagi-lagi Apple harus digunakan sebagai contoh, dalam proses produksinya, produk Apple seperti i-Phone, i-Pad, mac dan lain-lain juga turut melibatkan seniman untuk mendesain produk, tampilan animasi, wallpaper, bungkus produk, hingga iklan yang menuntut para labour untuk menampilkan citra lux, berkelas, unik, berbeda, dan eksklusif. Dalam hal ini para pekerja seni dan orang-orang kreatif yang terlibat dalam proses produksi sebagai immaterial labour telah turut melestarikan rezim kapitalisme di era post fordisme. Karena mereka lah, hingga kini banyak masyarakat masih saja tergila-gila dengan produk Apple, menempatkannya dalam strata tertinggi dalam hal gadget. Implikasi berikutnya adalah, masyarakat berlomba-lomba membeli barang ini agar dapat mengejar citra yang ditawarkan oleh produk tersebut.
            Di hari ini kita dapat mengamati adanya kecenderungan budaya konsumerisme dalam masyarakat, tidak lain hal ini adalah akibat dari pengidentifikasian identitas yang diejawantahkan melalui produk-produk kapitalisme. Kapitalisme post fordisme berwajah lebih ramah, sehingga membuat banyak orang secara sukarela dan tidak sadar mau membuat dirinya membutuhkan apa yang diproduksi oleh kapitalis . Hal ini mengakibatkan munculnya identitas semu. Karena, kapitalis tidak akan berhenti menciptakan produk dan membuat kita selalu merasa membutuhkan lebih banyak benda-benda untuk dibeli.




[1]
Hizkia Yosie Polimpung dkk, Mengapa Steve Jobs Tidak Begitu Inovatif: Kapitalisme Apple®, Pasca-Fordisme, dan Implikasinya, Center for Global Civil Society Studies (Pacivis) Universitas Indonesia, hlm 23
[2] Maurizio Lazzarato, “Immaterial Labor,” terj., P. Colilli & E. Emery, dalam M. Hardt & P. Virno, peny., Radical Thoughts in Italy: A Potential Politics, Minnesota:University of Minnesota Press, 1996, hlm. 133