Senin, 25 Juli 2016

Lintang Kemukus Dini hari

1. Lintang Kemukus Dini hari
2. Ronggeng Dukuh Paruk
3. Jantera Bianglala


Buku ini sebenarnya adalah trilogi, dengan seri masing-masing seperti yang ku tulis di atas. Aku pertama kali membacanya ketika kelas 2 SMP, membaca bagian pertamanya saja “Lintang Kemukus Dini Hari”. Aku sempat mencari bagian ke dua dan ketiga namun tak menemukannya. Akhirnya pada saat SMA, aku menemukan tiga novel ini sudah terjilid dalam satu buku berjudul “Ronggeng Dukuh Paruk”.

Sejak SMP, nama Ahmad Tohari cukup mengena di telingaku, karena darinyalah aku belajar bagaimana cara menulis dengan metode etnografi (meski waktu itu aku sama sekali tak mengerti etnografi itu apa), tutur bahasanya benar-benar rinci, deskriptif dan indah! itulah yang membekas di benakku ketika pertama kali membaca karyanya. Gara-gara novel ini juga, aku jadi penasaran dengan karya-karyanya yang lain. Yah, aku menyukai gaya Ahmad Tohari karena mengalami sebuah ketidaksengajaan, tidak sengaja menemukan bukunya, dan awalnya hanya iseng membaca karyanya,

Baiklah, langsung saja. Buku ini berkisah tentang kehidupan di desa terpencil yang memiliki nilai-nilai, norma, dan standar moralitasnya sendiri, standar yang cukup berbeda dari moralitas pada umumnya, tempat itu bernama Dukuh Paruk.

Seorang gadis cantik, Srintil namanya, dia menjadi ronggeng yang diceritakan oleh Ahmad Tohari di Dukuh Paruk dalam novel ini. Sudah sekian lama di dukuh ini tidak muncul seorang ronggeng pun, (dan ini adalah semacam kemuraman bagi orang-orang desa). Ronggeng sebenarnya adalah penari bayaran, dan mereka harus melayani laki-laki yang ingin “tidur” dengan mereka dan tentu saja harus membayar dengan sejumlah harta. Ronggeng memiliki semacam “pengasuh” dan digambarkan bahwa pengasuhnya inilah yang punya otoritas lelaki mana yang boleh memerawani ronggeng untuk pertama kali, dan meniduri ronggeng itu di hari berikutnya, berikutnya, dan seterusnya, semacam mucikari begitu lah, namun posisi mucikari itu dibalut atas nama adat-tradisi.

Srintil, sejak sangat belia sebenarnya telah “jatuh cinta” pada seorang teman sebayanya bernama Rasus, kepadanya lah Srintil menyerahkan keperawanannya tanpa diketahui oleh Kartareja (mucikari ronggeng). Hingga dewasa dan matang, Srintil tetap seorang ronggeng, tapi ia diam-diam tetap mencintai Rasus, terpikir olehnya untuk menjadi istri dan memiliki anak, membangun rumah tangga dengannya, namun jatuh cinta adalah pantangan bagi seorang ronggeng, karena ronggeng adalah milik bersama, tidak boleh dimiliki atau diperistri oleh siapapun. Tubuhnya hanya boleh ditiduri secara bergilir oleh lelaki yang mampu membayarnya.

Ronggeng dalam konteks setting Dukuh Paruk, bukanlah pekerjaan hina, justru ronggeng adalah simbol spiritualitas dan kehidupan di Dukuh tersebut. Seorang istri yang memiliki suami, dan suaminya tidur dengan ronggeng, bukan sebuah dosa atau pengkhianatan, tapi justru istri-istri di Dukuh Paruk akan sangat bangga karena suaminya dianggap memiliki kejantanan dan harta yang cukup untuk dapat menyetubuhi ronggeng. Para istri hanya akan berkata “Eh suamiku nanti malam akan tidur dengan Srintil loh, suamimu kapan mau menidurinya??” dengan ekspresi gembira.

Suatu hari, pada puncaknya, Srintil sangat lelah, ia benar-benar ingin mengakhiri ke-ronggengannya dan ingin menjadi istri Rasus. Mereka pernah “tidur” bersama untuk kedua kalinya, Srintil merasakan hal yang berbeda dengan Rasus, tak seperti laki-laki lainnya. Namun Srintil pun bersedih karena Rasus pada pagi buta telah pergi dari kamar, meninggalkan beberapa uang di bawah bantal. “Aku tak butuh uangmu Rasus” begitu kira-kira kata Srintil di pagi buta itu, hatinya patah. Rasus pun sejak semula sebenarnya sudah menaruh hati pada Srintil, namun ia diam saja karena tak mungkin baginya bisa menikahi seorang ronggeng.

Srintil mengalami dilema, dia banyak menjadi buah bibir karena keinginannya sudah banyak tersebar di kampung, padahal ronggeng tidak boleh memiliki keinginan untuk berumah tangga. Hingga pada akhir cerita nanti, Srintil menderita kegilaan karena menunggui cinta Rasus namun ia tak pernah datang, selain itu Srintil juga mengalami penderitaan psikis dan fisik, namun kemudian dalam keadaan gila ia diselamatkan oleh Rasus. Banyak penggambaran lain yang coba dilukiskan oleh Ahmad Tohari, seperti gejolak PKI dan politik yang turut mempengaruhi jalannya cerita.

Hal yang paling banyak aku pelajari dari novel ini adalah pembunuhan standar moralitas universal, melihat sudut moralitas dari mereka yang sama sekali bertentangan dengan standar moralitas bagi masyarakat kebanyakan. Kita bisa belajar betapa relatifnya arti sebuah moralitas bagi setiap masyarakat. Selain itu, novel ini juga menggambarkan bagaimana posisi laki-laki perempuan dalam masyarakat, bagaimana politik tubuh pun telah berlaku bukan hanya pada masa belakangan setelah terjadinya era banjir informasi, tapi semenjak jaman dahulu, di sebuah desa terpencil, mereka melakukan politik tubuh bahkan dalam arti yang jauh lebih mengerikan bagi masyarakat mainstream perempuan kekinian.

Atheis



Buku ini berlabel “karya sastra klasik” ketika aku baru saja menemukannya. Aku cukup antusias untuk membacanya karena sudah cukup lama aku mengetahui judul novel ini, namun lupa hingga beberapa tahun kemudian ketika menemukannya langsung saja ku sambar. Penulis novel ini, Achdiat K. Mihardja sempat diintrogasi gara-gara karya ini. Ia dituduh berupaya menyebarkan ateisme, meskipun sebenarnya Achdiat K. Mihardja mengatakan bahwa dirinya adalah seorang Muslim. Karya ini sempat dicekal peredarannya sehingga menghilang dari pasaran.

Baiklah, langsung saja, sesuai judulnya buku ini mengisahkan perjalanan spiritual seorang tokoh bernama Hasan yang berasal dari keluarga muslim religius dan taat, dia pun sempat menjalani kehidupan di pesantren dan menjadi salah satu siswa yang cukup kaffah dalam menunaikan ritual serta ajaran-ajaran agama Islam. Kemudian ketika semakin dewasa, ia dipertemukan kembali dengan teman lamanya bernama Rusli,  yang membawa Hasan pada teman-teman lainnya yang cenderung memiliki pandangan hidup sekuler dan Marxis, mungkin berkat novel ini pula, asumsi bahwa ateis = komunis jadi mendapatkan legitimasi yang lebih kuat.

Iman Islam Hasan sebagai tokoh utama sangat terguncang, ketika secara perlahan-lahan ia diperkenalkan dengan dunia teman-temannya yang intelek, ia juga sering mengikuti diskusi yang digelar oleh teman-temannya, terlebih lagi ketika ia berkenalan dan menjadi dekat dengan seorang perempuan bernama Kartini yang juga sekuler dan dengan cepat merebut serta mengubah haluan hidup Hasan. Semakin lama, ia semakin tidak percaya lagi pada keberadaan tuhan, puncaknya, ketika ia kembali ke kampung untuk menjenguk orang tuanya, ditemani dengan Anwar (salah satu teman Hasan yang telah lama menjadi ateis dan turut mempengaruhi pikiran Hasan).

Dalam situasi ketika bertemu dengan orang tuanya, pada awalnya Hasan berusaha menutupi ke-ateisannya demi menjaga perasaan bapak-ibunya, namun karena merasa disepelekan oleh Anwar sebagai “ateis munafik”, maka Hasan pun dengan berani mengungkapkan ketidakpercayaannya terhadap keberadaan tuhan. Orang tuanya pun sontak kaget dan sangat terpukul, hingga memutuskan hubungan dengan Hasan. Dalam kondisi demikian, Hasan kembali ke Jakarta, ia telah kehilangan hubungan baik dengan orang tuanya, setelah kejadian itu pun Hasan menjadi uring-uringan, hubungan suami-istri dengan Kartini juga semakin memburuk, Hasan mengalami depresi. Pada suatu hari kemudian ia mencoba untuk meminta maaf kepada orang tuanya, kembali ke kampung. 

Namun ayahnya yang menderita sakit keras belum juga memaafkan Hasan, dan justru ayah Hasan meminta Hasan pergi agar tidak mengganggu perjalanan menuju kematiannya yang dirasa telah dekat. Hasan pun kembali sangat terpukul, seolah seluruh segi hidupnya hancur berantakan.
Kira-kira seperti itulah garis besar isinya. Nah, karena novel ini berlabel “karya sastra klasik” tentu saja butuh sedikit usaha untuk memahami dialog dalam kalimat-kalimat yang dituturkan Achdiat K. Mihardja lewat tokoh-tokohnya, karena dialog orang-orang di masa lalu dan hari ini sudah cukup berbeda, namun soal ejaan, aku mendapati buku ini sudah memiliki ejaan yang disempurnakan, bukan “edjaan tjang disempoernakan”, hehehe.

Menurutku, isinya cukup bagus dan masih memiliki relevansi dengan kondisi ateis-ateis yang saat ini ada di banyak tempat. secara langsung aku ingin berkata, bahwa karya ini menyiratkan pelajaran tentang apa yang kira-kira akan terjadi ketika seorang ateis/ seseorang yang secara sembunyi-sembunyi memilih keyakinan yang berbeda dengan orang tuanya memilih coming out dengan keyakinannya yang berbeda.

Apakah kejujuran memang harus selalu diungkapkan? untuk apa diungkapkan jika baik diri kita maupun orang-orang yang kita sayangi harus menanggung beban?

Spiritualitas Tanpa Tuhan


Ateisme memang banyak menjadi polemik. Beragam jenis ateisme, kategori, klasifikasi, dan pengskalaan dilakukan oleh banyak penulis dan peneliti mulai dari William L Rowe, Dawkins yang mengemukakan 6 skala keateisan, ada juga yang menulis tentang ateisme kuat dan lemah. Dalam epilog buku yang lain saya juga sempat menemukan tulisan Nurcholis Majid tentang ateis polemik dan ateis terselubung.

Berbeda dengan buku Russel "Bertuhan Tanpa Agama" justru dalam buku ini, yang cukup "ganjil" menurut saya adalah, Sponville mencoba memberi kategori yang nampaknya belum disentuh oleh para penulis dan peneliti pendahulunya, dia mencetuskan adanya "Ateis katolik", "Ateis Kristen" dan tentu saja dengan sendirinya membuat saya berkata "Ateis muslim". Asumsi dasar dari posisi ini adalah ketidakpercayaan terhadap eksistensi tuhan tetapi masih terintegrasi dengan kelompok dalam agama.

Dengan begitu, nampaknya agama abrahamik akan memiliki pengkayaan varietas ajaran, atau ateis lah yang mengalami pengkayaan pengkategorian.

Namun selain itu, banyak wacana lain yang disuarakan oleh Sponville, seperti peluang fanatisme (baik teis maupun ateis), kemudian pluralitas, dan yang tak ketinggalan adalah tema besar buku ini, yakni spiritualitas. Tapi bukan itu yang menarik, wacana tentang spiritualitas sudah sedemikian semarak dalam pasar buku dan cenderung memiliki pandangan yang parsial, tidak jauh berbeda dengan buku-buku syariat.

Oh ya, hal lain yang disampaikan Sponville adalah, dia melihat bahwa ateis banyak mengalami "angoisse", anomi dan sejenis kehampaan secara psikis karena tidak ada lagi sosok imajiner yang disembah-sembah. Hal ini didukung oleh beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa ateis memang rentan mengalami stress.

Latar belakang itulah yang membuatnya mencetuskan "ateis beragama" sebagai jalan keluar dari permasalahan yang sering dihadapi oleh ateis.

Upaya religiusasi ateis memang nampak seperti mengembalikan ateisme pada jurang metafisika. Saya jadi teringat para pengkritik Comte, bahwa bagaimanapun kondisi spiritual manusia tidaklah berjalan linear dari teologis menuju positivis. Namun bisa jadi siklus tersebut berlangsung dalam siklus daur ulang atau bahkan arbitrer.

Namun bukan berarti saya ingin mengatakan bahwa buku ini telah melegitimasi ketidaklogisan ateis. Positivisme, saintifik, dan terukur adalah corak yang tetap sangat kental dalam wacana ateisme kekinian. Namun, kebutuhan integrasi dalam suatu kelompok adalah hal lain yang berada di luar pertanyaan logis-tak logis, saintifik-non saintifik, bahkan rasional-irrasional.

Saya rasa buku ini cukup menarik dibaca jika sebelumnya telah membaca para pendahulu Sponville yang menulis tema serupa agar tak terjadi kebingungan. Sebelum membaca buku ini, pastikan setidaknya telah membaca wacana-wacana ateisme dan latar belakang kemunculannya. Karena jika tidak, maka bersiap-siaplah untuk tersesat di tengah-tengah, lalu bosan dan berhenti membaca buku ini.


Epistemologi Kiri

Dalam buku berjudul "Epistemologi Kiri" yang ditulis secara kolektif oleh para akademisi dan isinya tak seseram sampulnya ini, dikemukakan bahwa kiri seringkali ditempatkan sebagai hal yang nyleneh, aneh, liyan, radikal dan bahaya. Kiri berisi orang-orang yang melawan arus, menjungkir balikkan sudut pandang mapan, dan dianggap destruktif, hidup dalam idealisme yang sangat mewah. Buku yang cukup "netral" untuk kategori buku yang ngomongin soal kiri.

Ketika SD anak-anak diajarkan bahwa PKI itu jahat, sesat, pembantai masyarakat yang tak kenal ampun, dan celakanya, sejak SD anak-anak diajarkan untuk bersyukur karena para "pahlawan" atau sesuatu yang mereka sebut sebagai pahlawan berhasil membumi hanguskan orang-orang PKI dengan cara yang juga sama sadisnya.

Berbagai teori konspirasi muncul, mulai dari PKI hanyalah alat Soeharto untuk menumbangkan rezim Soekarno, hingga Soekarno lah PKI yang sesungguhnya. Apapun itu, tak lagi penting, baik orang PKI, nasionalis, anti-PKI, anti-nasionalis, bahkan apatis, semuanya adalah manusia. Dengan menyoraki kekalahan PKI berpuluh tahun lalu sambil mengenang jasa "pahlawan" yang dengan biadabnya saling bantai satu sama lain, lalu apa bedanya antara pahlawan dan penjajah?

Penyebutan "pahlawan" dan "penjajah" hanyalah soal sudut pandang. Penjajah bagi kita adalah pahlawan bagi mereka, dan pahlawan bagi kita adalah penjajah bagi mereka. Aku ingat sebuah riwayat sumpah: Sira Gajahmada lamun huwus kalah Nuswantara, ingsun amukti Palapa. Gajahmada, yang namanya seringkali dipuji orang Indonesia, bahkan dijadikan nama Universitas, dia mungkin pahlawan bagi orang sini, tapi penjajah bagi orang sana yang ia kuasai.

Sayang, guru-guru sejak SD sudah memasang kacamata kuda di mata anak-anaknya sehingga tak bisa melihat sudut lain dalam sejarah. PKI, bagaimanapun adalah tindakan paling berani di Indonesia yang mencoba merealisasikan gagasan Marx, kelompok yang mengutuk ketimpangan dan dan ketidakmerataan sumber daya. Tentu saja ideologi dasarnya dimaksudkan untuk kebaikan rakyat.

Apakah dunia sudah terjungkir?
Aku melihat kiri dan komunis berangkat dari Ide belas kasih, baru merealisasikannya. Sementara liberalisme dan berbagai peranakannya merealisasikan dulu, baru mengidealkan realitasnya. Ibaratnya, kadang liberalisme dengan slogan kebebasan bagi individu adalah sebuah justifikasi moral untuk terus menerus melakukan monopoli dan pengerukan sumber daya alam dengan dalih "hak individu untuk berjuang".

Bisa jadi inilah bentuk bucailisme yang paling agung, menilapkan kesadaran manusia hingga tak bisa membedakan mana rayuan, mana kesungguhan.

Bucailisme adalah konsep pencocok-cocokan demi mendapat pembenaran (bukan kebenaran). Jika di ranah agama ada Harun Yahya yang kerap dibully sebagai icon bucailism, maka boleh saja kan kalau dalam ranah ekonomi, Bakrie cs, Hary Tanoe, dan konglomerat pengusung konsep "kebebasan individu" ditempatkan sebagai icon bucailisme politik?

Incest



"Ini adalah hukum kuno yang maha berat, warisan lama ketika desa-desa di Bali terisolasi satu sama lain" (sebuah kutipan pada paragraf-paragraf pembuka oleh I Wayan Artika)

Pertama kali membaca judul novel ini, yang terlintas di kepalaku adalah hubungan percintaan antara ayah-anak atau ibu-anak, atau hubungan saudara sedarah yang disadari sejak awal namun tetap diperjuangkan. Aku tertarik membacanya karena berharap bisa memahami bagaimana dunia pemikiran dan perasaan subjek-subjek yang terlibat di dalamnya.

Namun, ketika ku baca sedikit sinopsis pada halaman-halaman pertama. Ternyata dugaanku salah besar. Novel yang ditulis oleh I wayan Artika ini memang menceritakan hubungan cinta saudara sedarah yang terjalin antara Gek Bulan Armani dan Putu Geo Antara, mereka anak-anak yang lahir dari masyarakat berdarah Bali, dan mereka adalah sepasang kembar buncing. Tapi, incest yang terjadi bukanlah hal yang mereka sadari sejak awal. Konstruk kultural lah yang memiliki peran besar terkait kejadian tersebut.

Kembar buncing adalah sepasang bayi kembar yang jenis kelaminnya berlainan, Gek Bulan sebagai bayi perempuan, dan Putu Geo sebagai bayi laki-laki. Bagi masyarakat Jelungkap (latar tempat desa dalam novel) kembar buncing adalah suatu aib dan kesalahan yang memalukan dan orangtua kandungnya (Nyoman Sika dan Ketut Artini sebagai orang tua bulan dan geo) harus melakukan upacara pengasingan selama 40 hari di dekat kuburan, disusul dengan ritual-ritual lainnya. Kemudian kembar buncing harus dipisahkan, agar keduanya tidak saling kenal sehingga kelak ketika dewasa keduanya bisa dinikahkan.

Orang-orang Jelungkap percaya bahwa kembar buncing adalah sepasang kekasih bahkan sejak masih berada dalam kandungan, sehingga bagaimanapun keduanya harus disatukan kembali dalam sebuah ikatan perkawinan. Bulan dirawat oleh orang tua kandungnya, sedangkan Geo dirawat oleh teman ayahnya. Namun ketika dewasa, setelah menempuh pendidikan tinggi di Jawa Tengah keduanya bertemu dan saling jatuh cinta. Orang Jelungkap tetap tutup mulut dengan hal tersebut hingga rahasia tersebut terbongkar. Sebagian orang yang tidak percaya pada tradisi tersebut berusaha mencegah hubungan Bulan dan Geo, namun keduanya terlanjur jatuh cinta.

Novel ini pada awalnya memenangkan lomba cerita bersambung di koran Bali post. Tak lama kemudian cerita bersambung yang dimuat koran ini membuat I Wayan Artika diasingkan dari kampungnya dan dilarang kembali selama bertahun-tahun. Ia diinterogasi oleh tetua adat karena dianggap telah mencemarkan nama Jelungkap (nama Jelungkap ini pun sebenarnya adalah nama samaran dari Desa aslinya, penulis pada penerbitan novel ini mengganti nama tersebut karena sadar akan sensitifitas orang-orang di desa X tersebut. Ya, jadi ingat Achdiat K Mihardja yang pernah mengalami peristiwa serupa.

I Wayan Artika mengaku menuliskan novel ini dengan metode etnografi. Sehingga kesalahpahaman yang terjadi, yakni masyarakat adat Jelungkap menempatkan karya ini sebagai fakta, bukan sebagai karya sastra. Di sinilah titik kesalah pahaman tersebut meski sudah diluruskan, penulisnya tetap diusir dari kampung.

Novel ini menurutku cukup bagus untuk menggambarkan masyarakat adat Bali (bagi yang berminat mempelajari Bali). Sedangkan bagi orang sepertiku yang buta dengan adat Bali, novel ini pun cukup mudah dipahami. Meski dalam beberapa titik kemudian akan muncul kebosanan-kebosanan karena banyak dialog yang terlalu bertele-tele, sehingga beberapa kali membuatku melompati halaman-halaman yang seperti itu.

Meruntuhkan Benteng Ateisme Modern

 Judul: Meruntuhkan Benteng Ateisme Modern
Penulis: B.E Matindas
Penerbit: ANDI
Tebal: 240 halaman

Ini adalah buku yang baru saja selesai saya baca beberapa detik yang lalu. Isinya adalah penjelasan tentang ateisme dari para tokoh seperti Hume, Kant, Nietzsche, E.B Taylor, Frazer, Wittgenstein, dan tentu saja Marx, Comte, Feuerbach, dan tidak ketinggalan juga ada pembahasan ateisme Sartre.

Dari judul bukunya saja terlihat jelas ada tendensi tertentu. Yap, ini adalah buku kritik terhadap ateisme. Awalnya saya cukup antusias untuk membacanya, barangkali dalam buku ini bisa saya temui polemik baru tentang ateisme, atau barangkali saya bisa lebih dalam memahami persepsi orang beragama terhadap ateisme, dan tentu saja dengan kacamata "tulisan serius" bukan sekedar ledakan emosional seperti teis yang banyak saya temui di jejaring-jejaring sosial.

Di lembar-lembar awal, penulis mencoba memetakan berbagai jenis ateisme dan urgensinya dalam penulisan buku ini. Kemudian selanjutnya Matindas (sebagai penulis) langsung masuk ke dalam pemikiran tokoh-tokoh ateis, menjabarkan pemikiran tokohnya secara umum, kemudian menjelaskan dimana letak filsafat ateismenya, dan di bagian belakang langsung diberi kritikan pada sertiap tokoh. Tak lupa dicantumkan pula foto-foto tokoh ateis tersebut di akhir setiap bab, satu bab pembahasan berisi satu tokoh beserta kritik Matindas terhadapnya.

Buku ini jelas ditulis dalam rangka apologetika iman Kristen, ya saya paham itu, buku ini semacam "upaya membentengi umat kristen dari hantaman ateisme jaman ini". Mungkin bagi orang-orang kristen buku ini benar-benar memberikan pencerahan, betapa ateisme adalah pemikiran yang bisa dihalau, karena bagaimanapun, sekuat dan se-intelektual, se-logis apapun penjelasannya bisa dikritik oleh Matindas selaku agamawan.

Tapi ketika saya tempatkan diri sebagai seorang muslim, buku ini non sense, hanya terbaca seperti kotbah ajaran umat kristen yang tidak ingin saya campur-urusi. Begitu pula ketika saya coba menempatkan diri sebagai agnostik, sangat terbaca adanya keberpihakan pada agama kristen yang nampak dari penyudutan karakter pemikiran tokoh-tokoh ateis yang menurut saya tidak perlu di lakukan.

Argumen-argumen kritik pun terkesan sangat tergesa-gesa. Bagaimana bisa sederet filsuf yang menulis begitu banyak buku, lantas hanya dikritik dengan beberapa lembar halaman saja?. Rasanya tidak cukup memadai. Namun bagi yang ingin belajar singkat tentang ateisme dari beberapa tokoh ini dengan bahasa yang ringan, saya rasa buku ini perlu untuk dibaca.

Dan satu lagi, saya agak heran kenapa pemikir sekaliber Darwin tidak dicantumkan di buku ini?. Yuri Gagarin dan sederet fisikawan ateis tak pernah dibahas, begitu pula Stephen Hawking juga tidak disentuh sedikitpun. Padahal pengaruhnya sangat besar bagi filsafat ateis kekinian dan perkembangannya jika dibandingkan dengan misalnya Wittgenstein yang ajarannya tidak terlalu mendarah daging pada konsep ateisme kebanyakan.