Senin, 25 Juli 2016

Spiritualitas Tanpa Tuhan


Ateisme memang banyak menjadi polemik. Beragam jenis ateisme, kategori, klasifikasi, dan pengskalaan dilakukan oleh banyak penulis dan peneliti mulai dari William L Rowe, Dawkins yang mengemukakan 6 skala keateisan, ada juga yang menulis tentang ateisme kuat dan lemah. Dalam epilog buku yang lain saya juga sempat menemukan tulisan Nurcholis Majid tentang ateis polemik dan ateis terselubung.

Berbeda dengan buku Russel "Bertuhan Tanpa Agama" justru dalam buku ini, yang cukup "ganjil" menurut saya adalah, Sponville mencoba memberi kategori yang nampaknya belum disentuh oleh para penulis dan peneliti pendahulunya, dia mencetuskan adanya "Ateis katolik", "Ateis Kristen" dan tentu saja dengan sendirinya membuat saya berkata "Ateis muslim". Asumsi dasar dari posisi ini adalah ketidakpercayaan terhadap eksistensi tuhan tetapi masih terintegrasi dengan kelompok dalam agama.

Dengan begitu, nampaknya agama abrahamik akan memiliki pengkayaan varietas ajaran, atau ateis lah yang mengalami pengkayaan pengkategorian.

Namun selain itu, banyak wacana lain yang disuarakan oleh Sponville, seperti peluang fanatisme (baik teis maupun ateis), kemudian pluralitas, dan yang tak ketinggalan adalah tema besar buku ini, yakni spiritualitas. Tapi bukan itu yang menarik, wacana tentang spiritualitas sudah sedemikian semarak dalam pasar buku dan cenderung memiliki pandangan yang parsial, tidak jauh berbeda dengan buku-buku syariat.

Oh ya, hal lain yang disampaikan Sponville adalah, dia melihat bahwa ateis banyak mengalami "angoisse", anomi dan sejenis kehampaan secara psikis karena tidak ada lagi sosok imajiner yang disembah-sembah. Hal ini didukung oleh beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa ateis memang rentan mengalami stress.

Latar belakang itulah yang membuatnya mencetuskan "ateis beragama" sebagai jalan keluar dari permasalahan yang sering dihadapi oleh ateis.

Upaya religiusasi ateis memang nampak seperti mengembalikan ateisme pada jurang metafisika. Saya jadi teringat para pengkritik Comte, bahwa bagaimanapun kondisi spiritual manusia tidaklah berjalan linear dari teologis menuju positivis. Namun bisa jadi siklus tersebut berlangsung dalam siklus daur ulang atau bahkan arbitrer.

Namun bukan berarti saya ingin mengatakan bahwa buku ini telah melegitimasi ketidaklogisan ateis. Positivisme, saintifik, dan terukur adalah corak yang tetap sangat kental dalam wacana ateisme kekinian. Namun, kebutuhan integrasi dalam suatu kelompok adalah hal lain yang berada di luar pertanyaan logis-tak logis, saintifik-non saintifik, bahkan rasional-irrasional.

Saya rasa buku ini cukup menarik dibaca jika sebelumnya telah membaca para pendahulu Sponville yang menulis tema serupa agar tak terjadi kebingungan. Sebelum membaca buku ini, pastikan setidaknya telah membaca wacana-wacana ateisme dan latar belakang kemunculannya. Karena jika tidak, maka bersiap-siaplah untuk tersesat di tengah-tengah, lalu bosan dan berhenti membaca buku ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar