Senin, 25 Juli 2016

Incest



"Ini adalah hukum kuno yang maha berat, warisan lama ketika desa-desa di Bali terisolasi satu sama lain" (sebuah kutipan pada paragraf-paragraf pembuka oleh I Wayan Artika)

Pertama kali membaca judul novel ini, yang terlintas di kepalaku adalah hubungan percintaan antara ayah-anak atau ibu-anak, atau hubungan saudara sedarah yang disadari sejak awal namun tetap diperjuangkan. Aku tertarik membacanya karena berharap bisa memahami bagaimana dunia pemikiran dan perasaan subjek-subjek yang terlibat di dalamnya.

Namun, ketika ku baca sedikit sinopsis pada halaman-halaman pertama. Ternyata dugaanku salah besar. Novel yang ditulis oleh I wayan Artika ini memang menceritakan hubungan cinta saudara sedarah yang terjalin antara Gek Bulan Armani dan Putu Geo Antara, mereka anak-anak yang lahir dari masyarakat berdarah Bali, dan mereka adalah sepasang kembar buncing. Tapi, incest yang terjadi bukanlah hal yang mereka sadari sejak awal. Konstruk kultural lah yang memiliki peran besar terkait kejadian tersebut.

Kembar buncing adalah sepasang bayi kembar yang jenis kelaminnya berlainan, Gek Bulan sebagai bayi perempuan, dan Putu Geo sebagai bayi laki-laki. Bagi masyarakat Jelungkap (latar tempat desa dalam novel) kembar buncing adalah suatu aib dan kesalahan yang memalukan dan orangtua kandungnya (Nyoman Sika dan Ketut Artini sebagai orang tua bulan dan geo) harus melakukan upacara pengasingan selama 40 hari di dekat kuburan, disusul dengan ritual-ritual lainnya. Kemudian kembar buncing harus dipisahkan, agar keduanya tidak saling kenal sehingga kelak ketika dewasa keduanya bisa dinikahkan.

Orang-orang Jelungkap percaya bahwa kembar buncing adalah sepasang kekasih bahkan sejak masih berada dalam kandungan, sehingga bagaimanapun keduanya harus disatukan kembali dalam sebuah ikatan perkawinan. Bulan dirawat oleh orang tua kandungnya, sedangkan Geo dirawat oleh teman ayahnya. Namun ketika dewasa, setelah menempuh pendidikan tinggi di Jawa Tengah keduanya bertemu dan saling jatuh cinta. Orang Jelungkap tetap tutup mulut dengan hal tersebut hingga rahasia tersebut terbongkar. Sebagian orang yang tidak percaya pada tradisi tersebut berusaha mencegah hubungan Bulan dan Geo, namun keduanya terlanjur jatuh cinta.

Novel ini pada awalnya memenangkan lomba cerita bersambung di koran Bali post. Tak lama kemudian cerita bersambung yang dimuat koran ini membuat I Wayan Artika diasingkan dari kampungnya dan dilarang kembali selama bertahun-tahun. Ia diinterogasi oleh tetua adat karena dianggap telah mencemarkan nama Jelungkap (nama Jelungkap ini pun sebenarnya adalah nama samaran dari Desa aslinya, penulis pada penerbitan novel ini mengganti nama tersebut karena sadar akan sensitifitas orang-orang di desa X tersebut. Ya, jadi ingat Achdiat K Mihardja yang pernah mengalami peristiwa serupa.

I Wayan Artika mengaku menuliskan novel ini dengan metode etnografi. Sehingga kesalahpahaman yang terjadi, yakni masyarakat adat Jelungkap menempatkan karya ini sebagai fakta, bukan sebagai karya sastra. Di sinilah titik kesalah pahaman tersebut meski sudah diluruskan, penulisnya tetap diusir dari kampung.

Novel ini menurutku cukup bagus untuk menggambarkan masyarakat adat Bali (bagi yang berminat mempelajari Bali). Sedangkan bagi orang sepertiku yang buta dengan adat Bali, novel ini pun cukup mudah dipahami. Meski dalam beberapa titik kemudian akan muncul kebosanan-kebosanan karena banyak dialog yang terlalu bertele-tele, sehingga beberapa kali membuatku melompati halaman-halaman yang seperti itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar