Senin, 25 Juli 2016

Epistemologi Kiri

Dalam buku berjudul "Epistemologi Kiri" yang ditulis secara kolektif oleh para akademisi dan isinya tak seseram sampulnya ini, dikemukakan bahwa kiri seringkali ditempatkan sebagai hal yang nyleneh, aneh, liyan, radikal dan bahaya. Kiri berisi orang-orang yang melawan arus, menjungkir balikkan sudut pandang mapan, dan dianggap destruktif, hidup dalam idealisme yang sangat mewah. Buku yang cukup "netral" untuk kategori buku yang ngomongin soal kiri.

Ketika SD anak-anak diajarkan bahwa PKI itu jahat, sesat, pembantai masyarakat yang tak kenal ampun, dan celakanya, sejak SD anak-anak diajarkan untuk bersyukur karena para "pahlawan" atau sesuatu yang mereka sebut sebagai pahlawan berhasil membumi hanguskan orang-orang PKI dengan cara yang juga sama sadisnya.

Berbagai teori konspirasi muncul, mulai dari PKI hanyalah alat Soeharto untuk menumbangkan rezim Soekarno, hingga Soekarno lah PKI yang sesungguhnya. Apapun itu, tak lagi penting, baik orang PKI, nasionalis, anti-PKI, anti-nasionalis, bahkan apatis, semuanya adalah manusia. Dengan menyoraki kekalahan PKI berpuluh tahun lalu sambil mengenang jasa "pahlawan" yang dengan biadabnya saling bantai satu sama lain, lalu apa bedanya antara pahlawan dan penjajah?

Penyebutan "pahlawan" dan "penjajah" hanyalah soal sudut pandang. Penjajah bagi kita adalah pahlawan bagi mereka, dan pahlawan bagi kita adalah penjajah bagi mereka. Aku ingat sebuah riwayat sumpah: Sira Gajahmada lamun huwus kalah Nuswantara, ingsun amukti Palapa. Gajahmada, yang namanya seringkali dipuji orang Indonesia, bahkan dijadikan nama Universitas, dia mungkin pahlawan bagi orang sini, tapi penjajah bagi orang sana yang ia kuasai.

Sayang, guru-guru sejak SD sudah memasang kacamata kuda di mata anak-anaknya sehingga tak bisa melihat sudut lain dalam sejarah. PKI, bagaimanapun adalah tindakan paling berani di Indonesia yang mencoba merealisasikan gagasan Marx, kelompok yang mengutuk ketimpangan dan dan ketidakmerataan sumber daya. Tentu saja ideologi dasarnya dimaksudkan untuk kebaikan rakyat.

Apakah dunia sudah terjungkir?
Aku melihat kiri dan komunis berangkat dari Ide belas kasih, baru merealisasikannya. Sementara liberalisme dan berbagai peranakannya merealisasikan dulu, baru mengidealkan realitasnya. Ibaratnya, kadang liberalisme dengan slogan kebebasan bagi individu adalah sebuah justifikasi moral untuk terus menerus melakukan monopoli dan pengerukan sumber daya alam dengan dalih "hak individu untuk berjuang".

Bisa jadi inilah bentuk bucailisme yang paling agung, menilapkan kesadaran manusia hingga tak bisa membedakan mana rayuan, mana kesungguhan.

Bucailisme adalah konsep pencocok-cocokan demi mendapat pembenaran (bukan kebenaran). Jika di ranah agama ada Harun Yahya yang kerap dibully sebagai icon bucailism, maka boleh saja kan kalau dalam ranah ekonomi, Bakrie cs, Hary Tanoe, dan konglomerat pengusung konsep "kebebasan individu" ditempatkan sebagai icon bucailisme politik?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar