Senin, 29 September 2014

Fordisme-Post Fordisme

            Fordisme adalah sebuah model produksi dalam industri kapitalisme yang mencapai kejayaan sekitar tahun 1950-1960, sistem ini pertama kali dipraktekkan oleh Henry Ford, seorang industrialis yang memproduksi mobil bermerk Ford. Henry Ford sendiri sebenarnya mengadopsi gagasan Friedrich Taylor mengenai metode manajemen buruh berdasarkan studi Ilmiah yang ia lakukan.
            Mekanisme yang terdapat dalam fordisme adalah melakukan produksi massal berdasarkan teknik lini perakitan. Bagian-bagian barang yang akan dikomoditikan diproduksi secara terpisah dengan menggunakan pembagian kerja yang mengedepankan rutinitas produksi pada masing-masing bagian yang diproduksi. Jadi, buruh dalam pabrik dipecah-pecah menjadi banyak bagian dan mereka hanya mengerjakan bagian yang sama setiap harinya.
            Sebagai contoh: sebagian buruh hanya akan memproduksi setir mobil setiap harinya, sementara buruh lain dalam pabrik tersebut akan memproduksi kursi mobil, sedangkan buruh lain akan memproduksi ban mobil, dan seterusnya, hingga semua bagian mobil yang akan dirakit dan dikomoditikan menjadi komplit. Dengan cara ini, fordisme menjadi cara yang ampuh untuk menekan biaya produksi (meskipun para pemilik modal juga menaikkan upah para pekerja, tapi hal ini sebenarnya adalah untuk mengingkatkan produktivitas barang  itu sendiri), fordisme waktu itu juga memberikan efisiensi, penghematan waktu, sekaligus dapat memenuhi permintaan pasar dengan lebih cepat.
            Akibat adanya fordisme, barang produksi massal yang dipasarkan menjadi monopoli perusahaan tertentu, sehingga terjadi homogenisasi konsumsi masyarakat. Arena pasar yang berlaku waktu itu didominasi oleh penawaran. Lambat laun sekitar tahun 19701an fordisme pun runtuh, karena pasar jenuh dengan homogenisasi produk dan pasar yang berorientasi penawaran, atas dasar inilah kemudian muncul post fordisme. Hizkia dkk dalam jurnalnya menyebut peralihan dari Fordisme ke post fordisme adalah sebuah mutasi. Hal ini dapat dipahami sebagai upaya kapitalisme untuk merubah sebagian dari dirinya, agar kapitalisme dapat terus bertahan hidup dengan wajah yang baru, yang lebih ramah dan tentu lebih pandai merayu konsumen.
            Kapitalisme seringkali menjadi musuh dan target yang ingin ditumbangkan oleh banyak orang, segelintir orang sebagai pemilik modal dalam sejarah selalu dihadapkan pada pergerakan, perlawanan atau minimal pada sisnisme buruh, pekerja, dan sebagian orang yang sadar akan konstruksi dunia industri kapitalisme. Kapitalisme yang dulu menjelma dalam fordisme dan sempat berhasil meredam sisnisme tersebut akhirnya harus jatuh,dan kini kita sedang menikmati buaian post fordisme, yang tak lain adalah reinkarnasi kapitalisme itu sendiri.
            Sebagai contoh, produk Apple adalah salah satu manifestasi dari gairah jaman post fordisme[1]. Sistem produksi tidak lagi didasari oleh sistem produksi massal, tetapi lebih berorientasi pada permintaan dan era ini adalah era yang sangat respect terhadap permintaan konsumen, karena konsumen membutuhkan barang-barang yang dapat menunjukkan identitasnya sebagai hasil dari relasi sosial. Namun identitas yang dikejar oleh para konsumen pun ini sebenarnya adalah bentukan dari citra ekslusif, lux, dan mahal yang sengaja diciptakan dan dicitrakan oleh kapitalisme agar konsumen membutuhkan identitas tersebut, yang celakanya identitas itu oleh banyak orang dianggap dapat terpenuhi jika dapat membeli produk-produk mahal, eksklusif, serta menampilkan identitas yang diproduksi oleh kapitalisme.
            Dalam post fordisme terjadi perluasan definisi dan pola produksi. Yang dipakai adalah logika citra eksklusif, kepuasan karna mengonsumsi hal yang berbeda agar terus menerus mengkonsumsi, Apple, sebagai penyedia gadget, memiliki reputasi dan citra yang barangkali dianggap terbaik untuk merepresentasikan status ekonomi kelas menengah keatas, citra inilah yang membuat banyak konsumen merasa membutuhkan produk ini sebagai simbol identitasnya atau sekedar bertujuan untuk mencapai standar hidup yang lebih tinggi. Berbeda dengan jaman fordisme yang menekankan produksi secara massal dan berorientasi produksi, di era post fordisme ini lebih menekankan eksklusifisme dan produksi diorientasikan berdasarkan konsumsi.
            Disamping itu juga adanya perluasan definisi dan pola konsumsi. Era produksi telah digantikan oleh era konsumsi, konsumen bukan sekedar memikirkan barang merk apa yang mereka pakai, rumah elit di hunian mana yang mereka tinggali, atau fashion dari brand apa yang mereka kenakan, tapi lebih dari itu, konsumen hari ini juga memikirkan akan dipandang sebagai apa dirinya ketika mengonsumsi dan membeli segala jenis barang-barang yang ada di pasar.
            Citra eksklusif, berbeda, dan konsumen yang haus akan identitas ini linear dengan yang dikatakan Lazzarato mengenai konsep immaterial labour[2]. Pada era fordisme, labour adalah buruh atau pekerja yang memproduksi barang-barang riil, tapi pada era post fordisme dia menambahkan analisis mengenai immaterial labour yang memproduksi citra-citra tersebut agar komoditinya sukses di pasaran. Lagi-lagi Apple harus digunakan sebagai contoh, dalam proses produksinya, produk Apple seperti i-Phone, i-Pad, mac dan lain-lain juga turut melibatkan seniman untuk mendesain produk, tampilan animasi, wallpaper, bungkus produk, hingga iklan yang menuntut para labour untuk menampilkan citra lux, berkelas, unik, berbeda, dan eksklusif. Dalam hal ini para pekerja seni dan orang-orang kreatif yang terlibat dalam proses produksi sebagai immaterial labour telah turut melestarikan rezim kapitalisme di era post fordisme. Karena mereka lah, hingga kini banyak masyarakat masih saja tergila-gila dengan produk Apple, menempatkannya dalam strata tertinggi dalam hal gadget. Implikasi berikutnya adalah, masyarakat berlomba-lomba membeli barang ini agar dapat mengejar citra yang ditawarkan oleh produk tersebut.
            Di hari ini kita dapat mengamati adanya kecenderungan budaya konsumerisme dalam masyarakat, tidak lain hal ini adalah akibat dari pengidentifikasian identitas yang diejawantahkan melalui produk-produk kapitalisme. Kapitalisme post fordisme berwajah lebih ramah, sehingga membuat banyak orang secara sukarela dan tidak sadar mau membuat dirinya membutuhkan apa yang diproduksi oleh kapitalis . Hal ini mengakibatkan munculnya identitas semu. Karena, kapitalis tidak akan berhenti menciptakan produk dan membuat kita selalu merasa membutuhkan lebih banyak benda-benda untuk dibeli.




[1]
Hizkia Yosie Polimpung dkk, Mengapa Steve Jobs Tidak Begitu Inovatif: Kapitalisme Apple®, Pasca-Fordisme, dan Implikasinya, Center for Global Civil Society Studies (Pacivis) Universitas Indonesia, hlm 23
[2] Maurizio Lazzarato, “Immaterial Labor,” terj., P. Colilli & E. Emery, dalam M. Hardt & P. Virno, peny., Radical Thoughts in Italy: A Potential Politics, Minnesota:University of Minnesota Press, 1996, hlm. 133

Senin, 01 September 2014

Kelulusan dan Budaya Mencoret Seragam

           Ini adalah gambar sekelompok siswa di salah satu Sekolah Menengah Kejuruan Negeri di Kabupaten Malang yang sedang melakukan selebrasi kelulusan. Jika ditelusuri dari sejarahnya, budaya coret-mencoret seragam ini tidak diketahui asal-usulnya, yang jelas para siswa ini hanya mengikuti tradisi yang diwariskan turun temurun dari kakak-kakak kelasnya dan hampir di seluruh pelosok tanah air mengenal budaya ini. Sebagian besar mereka menganggap tidak afdhol  jika tidak melakukan ritual corat-coret seragam karena ini adalah bentuk ekspresi sukacita, euforia,  dan kelulusan setelah menghadapi Ujian Akhir Nasional yang menguras energi, pikiran serta menjadi stressor bagi para siswa. Dan yang biasanya identik dengan tradisi corat-coret seragam adalah konvoi sepanjang jalan dengan menggunakan sepeda motor.
            Banyak yang bisa dianalisis dari tindakan siswa-siswi ini. Yang pertama, mereka melakukan ini tanpa adanya pertimbangan rasionalitas yang matang, dalam kajian Weber dikenal ada 4 jenis rasionalitas yakni rasionalitas instrumental, rasionalitas orientasi nilai, rasionalitas afeksi, dan rasionalitas tradisional. Menurut saya tindakan yang mereka lakukan adalah bentuk dari tindakan rasionalitas tradisional (sebagian orang menyebutnya irrasional) sangat terlihat bahwa mereka hanya melakukannya karena faktor ikut-ikutan tanpa mempertimbangkan essensinya. Dalam hal ini bisa diambil kesimpulan awal bahwa generasi muda kita mudah terpengaruh oleh tradisi turun temurun tanpa mempertimbangkan baik buruknya.
            Yang kedua, dan barangkali sudah sering disinggung oleh para pengkritik budaya coret seragam adalah mereka hanya melakukan budaya hura-hura, pencerminan dari gaya hidup yang boros, alangkah baiknya daripada mencoret-coret seragam lebih baik menyumbangkannya kepada siswa lain yang membutuhkan, karena ribuan siswa di daerah lain terancam putus sekolah karena faktor seragam.
            Ketiga, perayaan yang terkesan liar, mencoret seragam (yang merupakan lambang pendidikan formal) serta konvoi liar yang mengganggu ketertiban umum, mengindikasikan bahwa para siswa sesungguhnya tidak menyukai wajah pendidikan formal Indonesia saat ini. Ada gap antara siswa dengan sistem pendidikan. Beberapa siswa mungkin lelah dengan tuntutan tugas, tes belajar, ulangan, evaluasi, ujian-ujian, dan yang paling parah terutama Ujian Akhir Nasional, serta segala hal yang menjadikan sekolah bukan lagi tempat menimba ilmu, bukan lagi tempat memperbaiki kesalahan-kesalahan, bukan juga tempat untuk mencari tahu, tapi sekolah bagi mereka adalah tempat dimana segala bentuk kecerdasan dan intelegensi diukur dengan nilai ujian nasional yang sangat subjektif. Subjektif, karena kecerdasan dan tingkat intelegensi tidak bisa diukur hanya dengan nilai-nilai akademis mata pelajaran tertentu.
            Saya jadi teringat dengan buku Summer Heel School yang dipresentasikan oleh teman saya di kelas sosiologi pendidikan Bu Kanthi, jadi sah saja jika saya menyimpulkan bahwa sekolah-sekolah formal di Indonesia kini telah berubah menjadi sumber stress bagi para siswa. Alih-alih menuntut ilmu dengan hati legowo atas kesadaran, justru para siswa dipaksa untuk mengikuti ujian-ujian tulis (khususnya Ujian Nasional) hanya demi nilai, yang mungkin tidak bisa mengukur derajat keberhasilan akademik tetapi berdampak psikis yang sangat besar terhadap siswa. Bisa saja siswa pandai, rajin dan berprestasi mendapat nilai UNAS yang kebetulan buruk sehingga tidak lulus dan ia akan merasa depresi. Perjuangan tiga tahun yang dihakimi oleh tiga hari yang menegangkan, kemudian setelahnya para siswa berpesta mencoret seragam, padahal setelah lulus mereka pun banyak yang tidak tahu akan meneruskan perjuangan kemana, perjuangan belum berakhir, masih banyak hal-hal lain yang berhak menghakimi keberhasilan di masa depan.
            Yang lebih parah lagi dari adanya Ujian nasional adalah beredarnya jawaban-jawaban soal ujian nasional, entah itu jawaban asli yang diperjual belikan/bocor, entah jawaban palsu yang disebar oleh pihak tak bertanggung jawab, yang jelas banyak siswa yang rela membayar mahal demi mendapat jawaban soal UNAS. Intinya pendidikan selama bertahun-tahun yag ditempuh bukan lagi untuk mencapai kompetensi yang diinginkan, tapi pendidikan selama bertahun-tahun ditempuh hanya demi mendapat stempel LULUS. Sungguh ironis.
            Saya rasa para pemegang otoritas pendidikan harus secepatnya mengevaluasi sistem yang telah diterapkannya selama bertahun-tahun ini, karena menurut saya menentukan seorang siswa berhasil/tidak hanya dari Ujian Nasional itu sangat absurd, bahkan sangat tidak akurat dalam menyatakan keberhasilan. Dalam hal ini mungkin kita bisa belajar (bukan meniru) sekolah-sekolah kecil yang mencetak orang-orang besar, misalnya di kalangan Yahudi, mereka adalah minoritas, tapi berhasil berkompetensi dengan menciptakan Google, Facebook, Nokia, dan penemuan-penemuan yang melegenda. Nama mereka ada di setiap jajaran sejarah orang-orang hebat. Pertanyaannya, apakah mereka melaksanakan Ujian Nasional Seperti kita?

            Tidak, mereka lulus jika bisa menciptakan produk yang berkualitas, bukan lulus atas dasar nilai di atas kertas yang bisa diperjual belikan dan ditransaksiskan secara diam-diam. Kreatifitas mencipta dan berkarya dihargai sangat tinggi daripada sekedar stempel LULUS. Jika pendidikan kita hanya diukur dari hal tersebut maka tidak mengherankan jika siswa-siswa kita selepas Ujian Nasional berpesta mencoret seragam dan konvoi dengan liar, seperti singa yang lepas dari kandangnya. Karena memang mereka merasa kreatifitasnya terkurung. Terkurung oleh banyaknya tugas-tugas, ujian-ujian, les tambahan belajar dan segala tuntutan yang bagi mereka hanya dianggap sebagai jerat belaka.

Indigenisasi Ilmu-Ilmu Sosial

Ini adalah sedikit hal yang saya pikirkan setelah mengikuti kelas sosiologi Indonesia.
     
        Berkembang pesatnya ilmu pengetahuan di Barat, baik ilmu pengetahuan alam maupun ilmu pengetahuan sosial telah menyumbangkan efek terhadap pola-pola dan model ilmu pengetahuan yang berkembang di negara dunia ketiga, seperti Indonesia. Diawali dari perkembangan teknologi di Inggris yang lantas diiringi dengan perkembangan teknologinya telah memunculkan tatanan sosial yang baru. Banyak orang semakin berlomba-lomba dalam ilmu pengetahuan sehingga cukup masuk akal jika negara-negara barat pernah menjadi tempat bertumbuh suburnya ilmu pengetahuan.
            Pada awalnya ilmu-ilmu alam di negara barat telah menemukan model, metode dan gambaran yang jelas tentang disiplin ilmunya masing-masing, kemudian hal tersebut diadopsi oleh ilmu sosial yang waktu itu masih belum berdiri kokoh seperti layaknya ilmu alam. Hingga perlahan ilmu sosial menemukan pijakan dalam disiplin ilmunya. Tapi hal ini kemudian memunculkan sebuah pertanyaan mendasar. “Jika ilmu sosial di negara di dunia ketiga (seperti Indonesia) diadopsi dari pemikiran-pemikiran barat, lantas apakah hal tersebut relevan jika mengingat lokasi geografis maupun historis serta keadaan sosialnya berbeda?”
            Hal ini menjadi kajian yang menarik, karena seperti yang kita tahu, negara dunia ketiga selalu terkesampingkan. Bisa ditelusuri dari sisi historis, Indonesia pernah dijajah oleh kolonial Belanda (yang pada waktu bersamaan ilmu pengetahuan sedang berkembang pesat di negara Barat). Hemat saya, jika dilihat dari sejarah, bangsa Indonesia mengalami fase penjajahan politik, kemudian penjajahan secara geografis yang diikuti dengan penjajahan ekonomi (tentunya disertai dengan eksploitasi sumber daya alam), kemudian dilanjutkan dengan penjajahan budaya dan akhirnya juga terjadi penjajahan kognitif. Penjajahan kognitif yang dimaksud dalam hal ini khususnya adalah penjajahan orientasi ilmu pengetahuan yang nampaknya cenderung berkiblat ke dunia Barat.
            Jika membahas soal ilmu pengetahuan alam seperti fisika dan kimia, nampaknya kita memang harus tunduk pada klaim universalitas yang telah dibuat, karena alam adalah fenomena yang terukur mutlak dan bisa dibuktikan keuniversalitasannya. Tapi ilmu sosial, seperti ilmu antropologi, sosiologi, ilmu politik dan ilmu hukum tidak bisa diklaim keuniversalitasannya karena setiap daerah di belahan bumi memiliki corak, struktur dan sistem yang berbeda, dan kini ilmuwan sosial di negara dunia ketiga tengah dihadapkan pada pilihan melakukan indigenisasi atau justru larut dalam klaim ilmu sosial yang ‘made in western’ tersebut.
            Saat ilmuwan sosial Indonesia mencoba memahami masalah-masalah dan fenomena sosial yang terjadi di Indonesia mereka mencari literatur dari barat dan mengkaji fenomena-fenomena sosial seperti yang telah dibukukan oleh akademisi-akademisi di barat. Padahal untuk mengaplikasikan model ilmu sosial dari barat tersebut tentu dibutuhkan penyesuaian dan penyelarasan terlebih dahulu dengan daerah lokal. Itulah mengapa muncul indigenisasi karena mempelajari fenomena lokal secara langsung dinilai lebih efisien dan tepat sasaran. Tidak perlu lagi mencari penyelesaian dari dunia akademis barat, karena keadaan sosial di barat dan di negara dunia ketiga sangat berbeda, maka diperlukan penyelesaian yang berasal dari sumber permasalahannya sendiri.
            Iluwan sosial di negara dunia ketiga mulai merasa malu bahwa mereka tak lebih dari sekedar pengekor, menjadi pengikut setia dari penjajahan kognitif  yang dilegitimasi oleh dirinya sendiri. Memang seharusnya begitu, ilmuwan sejati seorang skeptis yang empiris dan positifis, tindakan ilmuwan negara dunia ketiga (selalu mengutip teori barat kemudian dijadikan pedoman menganalisis daerah lokal) adalah bentuk kurangnya empirisme dari ilmuwan sosial negara dunia ketiga.
            Jika indigenisasi telah menjadi wacana yang mulai marak diperbincangkan maka ilmuwan sosial dari negara dunia ketiga sedang dihadapkan pada dua pilihan ; yakni mengabdikan pengetahuannya untuk perbaikan kehidupan masyarakatnya atau mengabdikan hidup untuk meningkatkan perkembangan akademis. Mana yang seharusnya diutamakan, tanggungjawab sosial atau tanggung jawab akademis? Nampaknya sebagian ilmuwan mengatakan sebuah jawaban yakni mewujudkan tanggung jawab sosial dengan cara menerima tanggung jawab akademik.Terdengar filosofis dan berpihak pada tanggung jawab sosial, tapi nampaknya hal ini tidak memecahkan masalah.
            Dalam ilmu-ilmu sosial pengaruh negara barat memang tidak bisa diabaikan, bisa diamati dalam kegiatan kademis sehari-hari, bangku perkuliahan ilmu sosial di Indonesia tak bisa lepas dari teori-teori Karl Marx, Weber, Talcott Parson, dan hal itu selalu menjadi kajian pokok dalam kurikulum, wajib dipahami hingga tuntas meski pada dasarnya tokoh-tokoh terkenal tersebut tidak pernah menyatakan apakah grand teorinya yang dipelajari puluhan ribu mahasiswa di Indonesia tersebut relevan atau tidak.
            Setidaknya ada tiga dimensi dalam ilmu sosial, yakni pertama: ideologi yang mencakup nilai-nilai dan norma-norma yang dipelajari ilmu sosial, kedua adalah teori dan ketiga adalah metodologi. Untuk melakukan indigenisasi rasanya masih bisa untuk melakukan indigenisasi terhadap ideologi dan juga teori karena keduanya bisa digali dari daerah lokal masing-masing di stiap belahan bumi, tapi untuk metodologi sepertinya ilmuwan lokal harus tunduk kepada metodologi yang diciptakan oleh ilmuwan negara barat karena hal ini adalah satu-satunya yang dapat menjamin validitas pengetahuan kita.
            Ditinjau dari sisi yang lain, contoh penelitian yang diutarakan oleh Clifford Geertz, ia menyimpulkan bahwa kemiskinan petani di Jawa diakibatkan oleh sistem kolonialisasi yang pernah berkuasa. Penduduk pribumi telah mengalami penjajahan oleh kolonial sekian lamanya, hingga mereka terbiasa menjadi ‘Objek’ yang dieksploitasi.
            Boeke juga mengatakan bahwa petani Jawa telah lama menderita kemiskinan hingga hilanglah semangat bekerja dan rasa berkuasa atas tanahnya sendiri, hingga hilang pula kepercayaan terhadap diri sendiri dan bertahan sampai generasi terkini. Jika Clifford Geertz sebagai ilmuwan barat saja sudah mengakui dan setidaknya menyiratkan pesan bahwa penduduk pribumi telah lama dijadikan objek, akankah kita akan terus terdiam sebagai objek yang hanya mengikuti arus negara barat yang membuat kita terombang ambing kesana-kemari?


Rabu, 09 Juli 2014

Klise: Siswa Tidur di Kelas

Oleh : Zakiah Fitri          
           
Foto diambil tanggal 20 Januari 2013
   
            Pelajar ini tertidur saat jam istirahat di sebuah SMA Negeri ternama di Kota Malang. Beberapa tahun yang lalu sebelum RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional) dihapus, sekolah ini termasuk kedalam RSBI, dan sempat menjadi pemenang lomba Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) serta mewakili Jawa Timur di UKS tungkat Nasional. Saya sedikit heran, kenapa sekolah yang memenangi Usaha kesehatan sekolah ternyata ada saja sudut-sudut yang menampakkan ketidaksehatan di dalamnya, salah satu contoh adalah gambar diatas. Siswa dengan kaki yang kotor dan tidak memakai alas kaki sedang tertidur pulas di kelas.
            Sekolah ini menerapkan sistem yang berbeda dari sekolah-sekolah lainnya, biasanya Sekolah Menengah Atas pada umumnya masuk di hari Senin-Sabtu dan setiap hari rata-rata masuk pagi jam 06.30 danpulang jam 14.00. Tapi sekolah ini menerapkan sistem yang menurut saya aneh, sekolah masuk di hari Senin-Jum’at, dan selalu masuk di jam 06.30 kemudian pulang di jam 16.00. Bukankah itu waktu yang terlalu panjang untuk menghabiskan waktu di sekolah?
            Para pekerja saja diberi batas waktu kerja sesuai Undang-undang adalah 8 jam per hari, sedangkan para siswa di sekolah ini harus menghabiskan waktu 9,5 jam di sekolah. Ini bukan masalah alienasi/tidak teralienasi, tapi hal ini menurut saya terlalu memberatkan siswa dan membebani mereka, belum lagi akhir pekan yang seharusnya digunakan untuk istirahat dan merefresh otak justru digunakan untuk tugas-tugas dan ujian-ujian yang harus dihadapi. Pantaslah jika siswa ini tertidur begitu pulas, seolah sekolah telah membuatnya sangat lelah.
            Masalah tidur di kelas memang sering menjadi wacana, bahkan di novel-novel dan film populer, budaya tidur di kelas sering diberi citra negatif, misalnya tidur di kelas seringkali diidentiikan dengan begadang untuk main video game, begadang untuk merokok dan miras hingga pagi, begadang untuk balapan liar di tengah malam, dan sejuta stigma negatif lain tentang tidur di kelas. Semua guru di sekolah bahkan sepakat bahwa pelajar yang tidur di kelas adalah tidak baik. Saya rasa itu kesimpulan yang terlalu tergesa-gesa.
            Sebaiknya kita lihat dari dekat sebelum menyalahkan pelajar yang tidur di kelas, sebagian pelajar yang tertidur di kelas memang disebabkan hal-hal negatif seperti diatas, tapi kita perlu tahu terlebih dahulu apa saja yang telah dilewati pelajar dalam kesehariannya, apakah main video game, merokok hingga pagi, balapan liar, atau bahkan mereka begadang karena sekolah yang memaksa mereka untuk begadang?

            Pada dasarnya sekolah adalah bertujuan untuk belajar, menuntut ilmu. Tapi kecenderungan yang terjadi saat ini adalah sekolah sudah berubah menjadi lokasi pemeringkatan, bukan lagi lokasi belajar. Hal ini terlihat dari banyaknya lembaga-lembaga bimbingan belajar yang muncul dengan menjanjikan prestasi akademik siswa meningkat, lulus ujian, mendapat ranking dan sebagainya, bahkan sekolah juga mewajibkan siswanya untuk ikut bimbingan belajar, padahal waktu yang dihabiskan disekolah untuk belajar mata pelajaran-mata pelajaran akademik sudah cukup panjang, haruskah ditambah lagi dengan les tambahan belajar? Jika kebijakan semacam ini tetap berlaku, bahkan ditingkatkan, maka potret seperti siswa diatas juga akan semakin banyak jumlahnya.

Senin, 07 Juli 2014

Hukuman untuk Mendidik, Bukan Melampiaskan

Oleh: Zakiah Fitri

Aktifitas hukuman bagi siswa
Foto diambil tanggal 29 Nov 2013
                Hukuman memang menjadi suatu hal yang biasa terjadi dalam instansi pendidikan seperti sekolah, apalagi dalam tingkatan Sekolah Dasar dan Sekolah menengah, akan sering dijumpai hukuman-hukuman ringan yang membawa kita kembali pada kenangan masa-masa sekolah. Yap, hampir semua orang pernah dihukum saat bersekolah, entah dihukum mencabuti rumput halaman sekolah karena datang terlambat, dihukum karena tidak mengerjakan PR, atau bahkan satu kelas dihukum dan dimarahi guru karena kesalahan bersama seperti bersikap gaduh saat pelajaran. Semuanya hal normal yang biasa terjadi dalam dunia pendidikan.
            Saya sengaja datang dan memotret dua siswa diatas, Radit dan Zidan karena mereka adalah tetangga saya yang bercerita bahwa hari Jum’at adalah hari hukuman bagi para siswa yang melanggar aturan dalam satu minggu, jadi di Hari Jumat yang diceritakan tersebut saya datang ke sekolah mereka, salah satu SD Negeri di Kabupaten Malang dan menyaksikan hukuman mereka karena ditemukan oleh gurunya sedang duduk-duduk di sudut sekolah saat upacara bendera di Hari Senin. Setelah berada di lokasi, alih alih melihat pemandangan mendebarkan dari sebuah hukuman, justru saya tertawa karena hukuman yang mereka terima sepulang sekolah memang menggelikan.
            Sebenarnya ada hal lain yang menarik perhatian saya, yakni masalah kebersihan toilet sekolah, tapi yang sedang saya soroti saat ini adalah fokus tentang hukuman bagi siswa di sekolah agar pembahasannya tidak melebar. Cukup saya acungi jempol pada sekolah mereka dalam hal hukum-menghukum, karena hukuman yang ditimpakan kepada kedua siswa tersebut (setidaknya) adalah hukuman yang bermanfaat, yakni mereka dihukum mencuci taplak meja guru, korden kelas, serta setelah itu mereka asyik bermain sambil mencuci tas sekalian.
            Hukuman semacam ini justru akan memberi siswa ruang untuk berpikir dan mempertimbangkan tindakan sebelum melakukannya, karena mereka secara tidak langsung digiring untuk berpikir bahwa setiap tindakan yang dilakukan pastilah menimbulkan konsekuensi.
            Di media massa, dimanapun itu baik di Jawa, Papua, tak terkecuali Aceh yang terkenal religius itu, semuanya pernah mendapat catatan hitam tentang kekerasan dalam dunia pendidikan, bahkan baru-baru ini, mahasiswa yang katanya agent of change, ujung tombak pembangunan, di sebuah Kampus swasta di Kota Malang yang terkenal pula sebagai kota tujuan pendidikan baru saja mempermalukan sistem pengenalan kampus (ospek) dengan menggunakan cara kekerasan, dan celakanya mahasiswa yang menjadi korban kekerasan tersebut nyawanya tidak tertolong.
            Kekerasan bagi saya adalah hal paling idiot jika itu dilakukan di lingkungan pendidikan. Bahkan jika ada sekolah anak-anak berkebutuhan khusus/difabel, maka pelaku kekerasan adalah jauh lebih perlu dididik secara khusus daripada kaum difabel. Pasalnya kekerasan yang sering terjadi di sekolah atau lingkungan pendidikan selain kasus bully antar siswa adalah kasus kekerasan yang dilakukan oleh guru/pengajar ataupun senior. Ini keterlaluan, saya juga tidak habis pikir, kenapa dunia pendidikan yang tujuannya mendidik malah memunculkan guru dan senior yang malah lebih butuh untuk di didik?
            Yang melatarbelakangi seseorang untuk berbuat kekerasan pertama-tama adalah karakter dan kepribadian, selanjutnya adalah penegakan hukum. Kita lihat hukum di Indonesia seperti ini, klise memang, dan banyak orang percaya hukum bisa dibeli dengan uang. Tengok saja kasius pelajar IPDN yang menjadi korban kekerasan di dunia pendidikan, mayatnya terbukti mengandung formalin dan terbukti diawetkan, tapi waktu itu penanganannya sepat bertele-tele. Prediksi saya, kasusnya akan menguap begitu saja jika saat itu media massa tidak berkoar-koar tentang dugaan pembunuhan tersebut.
            Apapun alasannya, kekerasan menurut saya adalah tidak bisa dibenarkan, apalagi dalam dunia pendidikan. Sebaiknya para pelaku kekerasan dalam dunia pendidikan dijatuhi hukuman berat, karena ini sama sekali bukan masalah sepele. Korupsi jika dibandingkan dengan masalah kekerasan dalam dunia pendidikan, mungkin korupsi akan terlihat sebagai masalah besar, dan kasus kekerasan adalah masalah kecil, tapi justru ini masalah gawat bagi negeri, PR yang belum tuntas bagi para penguasa dan bagi kita semua.
            Kekerasan dalam dunia pendidikan bukan sekedar mengambil aset negara berupa materi, tapi kekerasan malah mengambil aset paling berharga dari sebuah negara yakni “tunas bangsa”. Mereka, para pelaku kekerasan, telah merenggut hak kemanusiaan peserta didik dan peserta didik adalah masa depan bangsa, jadi singkatnya para pelaku kekerasan telah mencemari masa depan bangsa. Sama bahayanya dengan koruptor kelas kakap.
            Selain itu kekerasan yang dilakukan oleh pendidik atau senior adalah mencerminkan ketidakstabilan kondisi psikologis dan mental pendidik. Dan jika masalah kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengajar dan senior sudah sedemikian parah, perlukah adanya tes sakit jiwa bagi para calon pengajar? yang jelas pemerintah belum merancangnya, dan kalaupun dirancang sebuah tes kesehatan jiwa pastilah akan memunculkan halaman baru berisi kontroversi berkepanjangan.

Paper: Konflik Dalam Heterogami dan Perkawinan Beda Kelas

Oleh: Zakiah Fitri
(Program Studi Sosiologi Universitas Brawijaya Malang)

BAB I
PENDAHULUAN

Pemilihan jodoh merupakan sebuah seleksi untuk menentukan individu yang dipandang cocok dengan kriteria sehingga bisa dilanjutkan ke jenjang perkawinan. Dalam kenyataannya, kriteria yang ditetapkan oleh suatu masyarakat akan berbeda dengan kriteria masyarakat lain. Nilai-nilai yang dihargai pun terkadang juga berbeda antara individu yang akan menikah dengan individu-individu lain yang ikut terlibat dalam proses pernikahan tersebut, misalnya orang tua dan keluarga besar.
 Oleh karena itu, suatu perkawinan menimbulkan berbagai macam akibat, yang juga melibatkan banyak sanak keluarga. Tidak jarang dalam sebuah perkawinan disertai dengan konflik-konflik sosial. Saya akan membatasi pembahasan pada konflik yang terjadi pada heterogami dan perkawinan dari status/kelas yang berbeda.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kasus
Seorang pemuda miskin bernama Yogi Prasetyo, berasal dari Purwokerto, Jawa Tengah. Keluarganya adalah keluarga dengan tingkat ekonomi rendah. Ayahnya sehari -hari bekerja sebagai tukang jahit didesanya. Karena kegigihannya, Yogi berhasil kuliah di sebuah Universitas Negeri ternama di Kota Malang walaupun dengan biaya seadanya. Semasa semester 4 di kampus, Yogi jatuh cinta pada seorang gadis bernama Ayu Wulaningrum, juga sama-sama kuliah di fakultas yang sama. Ayu adalah putri seorang bupati ternama di daerah Yogyakarta dan juga masih dekat dengan garis keturunan keraton.
Walaupun secara Ekonomi mereka jauh berbeda namun tidak menghalangi keduanya untuk berencana melanjutkan ke jenjang pernikahan. Keluarga besar dan ayah Ayu yang mengetahui putrinya menjalin hubungan dengan pemuda dari keturunan biasa, tentu saja menolak hubungan itu. Berbagai upaya dan bujukan dilakukan oleh pihak dari calon mempelai putri agar rencana pernikahan tersebut dibatalkan, tapi keduanya bersikeras dan selalu mengatasnamakan “cinta” sehingga pernikahan tersebut tetap dilakukan, meskipun keluarga Ayu melepaskan puterinya dengan sangat terpaksa. Kini mereka memiliki dua orang anak serta tinggal di daerah perumahan, hadiah dari orangtua Ayu Wulaningrum. Orangtua Ayu hingga kini masih sering memberikan hadiah dan uang kiriman meskipun Yogi telah bekerja sebagai pegawai salah satu Bank swasta dan Ayu menjalankan bisnis online nya.
Analisis

2.2 Konsep Pemilihan Jodoh
Salah satu konsep yang dapat digunakan untuk menganalisis kasus perkawian adalah bahwa pada dasarnya proses pemilihan jodoh berlangsung seperti sistem pasar dalam ekonomi. Sistem ini berbeda-beda dari satu masyarakat ke masyarakat lain, tergantung pada siapa yang mengatur transaksinya, bagaimana pertukarannya, dan penilaian yang relatif mengenai berbagai macam kualitas.[1]
2.3 Analisis

2.3.1 Pemicu konflik
Dalam perkawinan heterogami biasanya pihak yang merasa lebih tinggi akan menolak terjadinya perkawinan dengan pihak yang lebih rendah seperti kasus yang terjadi pada Yogi dan Ayu. Orang tua Ayu melarang Ayu menikah dengan pria dari kalangan masyarakat miskin dan biasa. Orang-orang dari kraton akan memiliki kriteria sendiri dalam menentukan jodoh yang ideal, mereka selalu beranggapan bahwa budaya yang berakar dari kraton/istana mempunyai nilai seni tinggi, bersifat halus serta mempunyai cita rasa yang indah. Sebaliknya, budaya yang berkembang di luar kraton/istana adalah budaya Jawa yang bersifat kasar.[2]
Hal-hal tersebut sudah jelas membuktikan adanya perhitungan untung-rugi yang dipertimbangkan oleh keluarga Ayu dan dan jelaslah pula bahwa konsepsi tawar-menawar dalam pasar perkawinan sedang berlaku, meskipun mereka yang terlibat dalam proses tersebut menolak konsepsi pasar tersebut dan mengganti istilahnya menjadi ‘pencarian untuk mendapatkan yang terbaik’. Stereotip keluarga besar keraton Ayu mengenai masyarakat diluar keraton yang memiliki sifat budaya kasar ditambah keadaan ekonomi calon suami yang dianggap tidak terlalu menguntungkan tentu akan menimbulkan konflik status dan perdebatan.

2.3.2 Faktor pendorong heterogami dan perkawinan beda kelas
Berdasarkan analisis, heterogami semacam ini dapat berlangsung karena hal-hal berikut:
  • Pengaruh lingkungan dan pergaulan
Ayu sebagai perempuan yang sempat meninggalkan lingkungan keraton untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi telah keluar dari pemikiran kriteria jodoh yang ideal menurut orang-orang keraton. Lingkungan dan pergaulan yang sempat dia jalani bisa mengubah pemikirannya dalam menentukan jodoh yang dia inginkan, lingkungan-lingkungan luas yang beragam diluar keraton dapat mempengaruhi sebuah cara pandang, katakanlah misalnya Ayu memiliki kegemaran sinematografi atau film, hal tersebut bisa mengubah cara pandangnya terhadap banyak hal, termasuk dalam hal memilih jodoh. Menurut Prof. Dr. Utami Munandar, sesungguhnya seorang anak itu mempunyai kecenderungan mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh dalam sinematografi, pengaruh positif atau negatif terhadap seorang anak tergantung pada karakter dan perilaku yang ditampilkan tokoh tersebut.[3] maka hemat saya, jika Ayu misalnya menyukai film Romeo-Juliette maka terdapat kemungkinan dia juga menyukai sifat serta kenekatan kawin lari yang dilakukan tokoh-tokoh tersebut, sehingga peluang meniru atau mengidentifikasi juga semakin besar.
  • Gender dan pengambilan keputusan
Perubahan jaman memunculkan juga suatu perubahan responsi dari masing-masing perempuan sebagai individu.[4] Pandangan perempuan akan menjadi bergeser seiring dengan perubahan jaman. Pada jaman dahulu perempuan hanya bisa nrimo ing pandum, yakni menerima apapun ketentuan yang diterapkan dan diberlakukan oleh keluarga besarnya, perempuan hanya dipandang sebagai objek yang diatur, dimiliki dan dikuasai, tak ubahnya sebuah benda yang jauh dari penghargaan atas subjektifitas perempuan sebagai manusia yang harus menentukan arah hidupnya sendiri. Untuk menuruti keinginan dan cita-citanya perempuan pada jaman dahulu harus membayar mahal seperti yang pernah dilakukan oleh R.A. Kartini. Tapi kondisi saat ini, gerakan kesetaraan gender, dan mulai bergesernya pandangan masyarakat luas, khususnya anggota keraton mengenai perempuan juga ikut berpengaruh terhadap terjadinya heterogami. Perempuan tak lagi dipaksa untuk harus menuruti ketentuan keluarga besar. Perempuan dengan status sosial seperti Ayu hanya butuh sedikit keberanian untuk keluar dari pemikiran orang-orang keraton mengenai calon yang ideal bagi mereka, karena pada saat ini kemungkinan Ayu diusir atau diputuskan tali kekeluargaan sangat kecil, seiring dengan penghargaan terhadap hak perempuan untuk memutuskan pilihannya.
           
            2.3.3 Cinta sebagai ancaman dan hal yang subversif
Cinta dianggap sebagai suatu ancaman teradap sistem stratifikasi pada banyak masyarakat, dan orang-orang tua mengingatkan untuk tidak menggunakan cinta sebagai dasar pemilihan jodoh.[5] Dari kasus yang saya analisa nampak jelas bahwa orangtua Ayu takut anaknya menikah dengan individu dari strata lain yang lebih rendah. Karena mereka mengasumsikan strata dibawah mereka tentu memiliki kualitas yang tidak cukup baik untuk memasuki kalangan keluarga kaya dan ningrat seperti mereka. Adanya perkawinan dengan strata dibawah mereka dianggap akan merusak tatanan mengenai stratifikasi itu sendiri. Mereka, keluarga besar Ayu ingin di eksklusifkan sebagai kaum dengan ‘harga’ yang tinggi dan tidak sembarang orang bisa masuk menjadi anggota keluarga melalui perkawinan.

2.3.4 Konsep pasar dalam perjodohan selalu berlaku
Dalam kasus tersebut mungkin yang paling terlihat sebagai pelaku yang nampak seperti kegiatan jual-beli dalam pasar adalh orangtua dan keluarga besar Ayu, karena merekalah yang selalu mempermasalahkan harta, kedudukan, strata sosial dan hal-hal yang sering diistilahkan sebagai materialis. Tetapi konsep pasar dalam perjodohan sebenarnya selalu berlaku meskipun para pelaku yang menolak konsepsi pasar tersebut telah menyodorkan berbagai argumen mengenai ketulusan dan atas dasar cinta. Dalam hal ini Ayu mengaku mau menikah dengan laki-laki miskin karena cinta. Ada bermacam-macam tipe cinta, pemilihan jodoh dan perkawinan yang didasarkan atas cinta pada umumnya merupakan tipe cinta erotis, yang menginginkan penyatuan dan peleburan dengan seorang pribadi lain.[6] Meskipun Ayu tidak menggunakan kriteria kekayaan, materi dan kedudukan sosial untuk menikah dengan seseorang, tapi sebenarnya kriteria tersebut digantikan oleh hal lain yang dianggap Ayu lebih bernilai, misalnya seperti kecerdasan, kepribadian dan pola pikir yang dianggapnya jauh akan lebih menguntungkan, membahagiakan dan mempermudah hidupnya. Sementara cinta itu sendiri merupakan kebutuhan akan kepuasan emosional, yang mungkin tidak akan didapatkan Ayu bila ia menikah dengan laki-laki pilihan orang tuanya. Maka jelaslah, bahwa konsepsi tawar-menawar dalam pemilihan jodoh, jual-beli dalam perkawinan selalu bisa dianalogikan sebagai pasar.




[1] William J. Goode, 2004, “Sosiologi Keluarga”, Jakarta : Bumi Aksara, hal. 65
[2] Nurdiyanto dkk, 2002, “Tata Krama Suku Bangsa Jawa di Kabupaten Sleman Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta”, Yogyakarta : Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata, hal. 1
[3] Sumarno dkk, 1997, “Dampak Globalisasi Informasi Terhadap Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat di Daerah Istimewa Yogyakarta”, Yogyakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Yogyakarta, hal. 78
[4] Affandy, 2008, “Gender dan Strategi pengarus, Utamanya di indonesia”, Yogyakarta : Pustaka Belajar, hal. 45
[5] William J. Goode, 2004, “Sosiologi Keluarga”, Jakarta : Bumi Aksara, hal. 76
[6] Habib Mustopo, 1983, “Kumpulan Essay-Manusia dan Budaya”, Surabaya : Usaha Nasional, hal. 78

Minggu, 06 Juli 2014

Menumbalkan Rasa Kemanusiaan Demi Nasionalisme

        Nasionalisme, mendengar kata ini mungkin sebagian orang akan bangga dan teringat akan cintanya pada bangsa dan negara, tapi bagi sebagian yang lain nasionalisme terkadang terdengar mengerikan. Hidup sebagai warga negara Indonesia dan tinggal di Pulau Jawa yang secara sah termasuk teritorial Negara Indonesia, bisa diamati kata ‘nasionalisme’ hingga kini menjadi sesuatu yang diagungkan, dibanggakan dan sangat disakralkan bahkan mungkin adalah hal yang tabu jika ada seseorang yang mencibir nasionalisme dalam negaranya.
            Secara praksis terkadang nasionalisme memang berguna sebagai benteng perlindungan dari serangan luar, misalnya di versi buku-buku sejarah Indonesia pada era penjajahan, Indonesia berhasil mengusir penjajah dari Nusantara karena semangat nasionalisme. Tapi ada beberapa hal yang menurut saya ganjil dan pantas dijadikan sebagai kritik terhadap nasionalisme di Indonesia. Akan saya mulai dari Gajahmada yang seringkali disebut-sebut sebagai embrio nasionalisme Indonesia.
            “Sira Gajahmada lamun huwus kalah Nusantara, ingsun amukti palapa” begitulah bunyi sumpah palapa yang saya ingat kurang lebih artinya: “Saya Gajahmada, bila telah berhasil mengalahkan Nusantara baru saya akan berhenti puasa”. Dengan jelas yang dilakukan Gajahmada adalah proses penaklukan, ekspansi, dan secara tersirat ada aroma saling kalah-mengalahkan antara Gajahmada dengan pemerintah kerajaan yang waktu itu mencoba bertahan. Artinya, nasionalisme yang kita sebut sebagai warisan Gajahmada tersebut awalnya bukanlah nasionalisme yang terbentuk secara sukarela, melainkan nasionalisme yang ditempuh melalui peperangan dan pertumpahan darah, nasionalisme yang berbau politis dan kepentingan bagi yang berpolitik saat itu. Lalu jika hingga kini sosok Gajahmada masih sering muncul dalam perbincangan mengenai nasionalisme, masih pantaskah Gajahmada kita anggap sebagai pahlawan nasionalisme? pahlawan yang menggunakan kekerasan demi tercapainya ekspansi dengan menafikkan nilai-nilai kemanusiaan. Bagaimana bila esok hari muncul Gajahmada-gajahmada lain yang melakukan ekspansi, mencaplok wilayah negara lain demi kepentingannya, masihkah akan kita nobatkan sebagai pahlawan nasionalisme?.
            Sejarah mencatat begitu banyak gerakan separatis yang mencoba memisahkan diri dari NKRI, diantaranya PRRI, Permesta, GAM, RMS, dan Gerakan Papua Merdeka, yang tak kalah menyakitkan adalah Timor-timur. Pemerintah Indonesia melakukan invasi besar-besaran dalam permasalahan di Timor-timur sehingga ratusan ribu nyawa rakyat Timor-timur melayang atas nama pembelaan terhadap nasionalisme, dan itu sangat tragis. Jika nasionalisme sudah berdiri diatas rasa manusiawi, maka nyawa tak ada harganya, seolah nasionalisme selalu meminta tumbal untuk mengorbankan rasa kemanusiaan.
            Hampir seluruh gerakan sparatis di Indonesia ditangani dengan kekerasan agar nasionalisme tidak terkotori oleh gerakan-gerakan yang ingin memisahkan diri. Menurut saya, nasionalisme semacam ini hanya mirip dengan pistol yang ditodongkan pada kepala masing-masing orang agar tidak memberontak, nasionalisme yang tidak jauh berbeda dengan rezim-rezim fasis yang memaksakan kehendak demokrasi meskipun mereka menyebut dirinya sebagai bagian dari demokrasi.
            Sebenarnya cikal bakal nasionalisme itu sendiri adalah pembebasan dan pemerdekaan dari suatu penindasan. Jadi jiwa yang terdalam dari nasionalisme adalah upaya pembebasan dan pemerdekaan itu sendiri[1]. Jika hari ini kita masih melihat fanatisme terhadap nasionalisme, seringkali kita menyalahkan daerah-daerah yang melakukan gerakan separatis, tak jarang kita dan juga media massa menyebut gerakan-gerakan separatis sebagai pemberontak, pembelot, perusak, pengotor nasionalisme, pemecah kesatuan, dan segala label buruk lainnya. Maka sepertinya kita terlalu tenggelam dalam nasionalisme versi kita sendiri, versi orang-orang Jakarta, versi masyarakat Jawa, yang jelas dengan mudah bicara bahwa nasionalisme adalah kebersatuan cinta terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena kita tidak merasakan sakit yang diderita mereka akibat ketimpangan pembangunan ataupun diskriminasi etnisitas di sana-sini.
            Pernahkah kita mencoba menelaah nasionalisme dari sisi mereka?. Kembali mempertegas pernyataan Anselmus Jahaman, jika jiwa yang terdalam dari nasionalisme adalah upaya pembebasan dan pemerdekaan, maka bagi kelompok-kelompok separatis di Indonesia, gerakan separatis adalah nasionalisme versi mereka, yakni upaya pembebasan dan pemerdekaan bangsanya dari ketertindasan Indonesia. Jika dilihat lebih lanjut, menurut saya yang membuat daerah-daerah berkecamuk melepaskan diri dari Indonesia pada dasarnya adalah kekecewaan.
            “Perlakuan pusat yang tidak adil kepada daerah, baik di bidang politik, ekonomi, bahkan sosial budaya telah melahirkan kekecewaan bahkan trauma terhadap negara kesatuan dari sebagian wilayah[2]. Kekecewaan ini dapat berupa pengerukan kekayaan daerah ke pusat, pembangunan yang tidak merata, diskriminasi etnis-etnis dominan, atau bahkan hal-hal berbau agama. Maka untuk mencapai posisi Indonesia bersatu, menurut saya cara yang perlu ditempuh pemerintah untuk mencegah maupun mengatasi timbulnya gerakan-gerakan separatis adalah berlaku adil dan mencukupi kesejahteraan, karena dengan kesejahteraan, rakyat akan merasa terpuaskan dengan kehidupan bernegara sehingga gerakan-gerakan separatis dapat diminimalisir, dan rasa nasionalisme yang mengalir dalam setiap darah bangsa dapat lahir dari kesukarelaan.
            Kembali pada nasionalisme dalam tafsiran mainstream, saya ingat betul bagaimana calon presiden RI nomor urut 1 dalam penyampaian visi-misinya berulangkali mengatakan “Saya tidak akan membiarkan sejengkal tanah pun lepas dari Indonesia!”. Pernyataan ini biasanya mendapat aplause meriah dari para hadirin, namun saya menangkap bahwa pernyataan ini multitafsir. Yang pertama, calon presiden ingin melindungi wilayah teritorial indonesia dari klaim-klaim negara lain agar tidak ada sejengkal tanah pun lepas dari Indonesia.
            Yang kedua, calon presiden tidak akan membiarkan gerakan separatis tumbuh, mereka dihilangkan dengan cara persuasif menggunakan strategi-strategi seperti pembangunan yang berasaskan keadilan. Yang ketiga, calon presiden akan menghalalkan segala cara agar apapun yang terjadi sejengkal tanah pun tidak lepas dari Indonesia, meskipun harus mengorbankan dan lagi-lagi menumbalkan rasa kemanusiaan demi membela nama nasionalisme. Agar tidak multitafsir rasanya calon presiden nomor urut 1 perlu memberikan konfirmasi yang lebih rinci terkait hal tersebut apakah pernyataannya patut diapresiasi atau justru diwaspadai, sehingga masyarakat sipil dapat menentukan pilihannya pada pemilu mendatang.




[1] Jahaman, Anselmus. 2001. Nasionalisme Etnisitas. Yogyakarta: Interfidei. hal. 56
[2] Kabakoran, Abubakar. 2003. Nasionalisme Kaum Pinggiran. Yogyakarta: LKIS. hal 118

Analisis Habitus (Perspektif Bordeau)

Oleh : Zakiah Fitri


Kali ini saya akan membahas mengenai teis dan ateisme, seperti yang kita tahu, belakangan jumlah ateis dan non believer meningkat. Namun bukan itu yang menjadi pokok bahasan saya, melainkan habitus-habitus, capital yang mempengaruhi, dan juga bahasan singkat tentang doxa, orthodoxa dan heterodoxa yang terdapat pada dua kelompok tersebut berdasarkan analisis sederhana yang saya buat.


·         Habitus
        Habitus merupakan hubungan antara struktur dan individu yang bersifat resiprokal yang mencerminkan adanya internalisasi dan eksternalisasi. Dari contoh yang saya kemukakan, bisa dianalisis secara sederhana, bahwa kaum beragama maupun kaum yang memilih untuk tidak beragama biasanya memiliki habitusnya masing-masing, Habitus terbentuk melalui lingkungan dan perjalanan waktu yang di tempuh sehingga mempengaruhi matrix of perception, appreciation dan juga action

1.      Habitus orang yang percaya eksistensi tuhan (Teis)
Matrix of perception:
Seorang teis/orang yang meyakini keberadaan tuhan (terutama tuhan personal dalam agama samawi) dia cenderung akan memandang dunia sebagai hasil ciptaan tuhan dan mempersepsikan bahwa tuhanlah yang menjalankan sekaligus mengendalikan hidupnya, begitu juga setiap ada masalah dalam hidup, pandangannya tidak terlepas dari tuhan dan selalu mengait-ngaitkan bahwa peristiwa apapun yang terjadi dalam hidupnya adalah kehendak/takdir tuhan

Appretiation:
Apresiasi seseorang juga tidak terlepas dari habitus yang ada, saat menemui masalah dalam hidup pada umumnya teis suka jika mendapat motivasi-motivasi berbau religius, misalnya motivasi berbunyi “Tetapkan iman dan keyakinan karena tuhan pasti menolongmu” sebagian besar juga suka dengan hari raya agamanya, atau mungkin ada yang suka datang rutin ke pengajian. Apresiasi/kesukaan yang muncul merupakan cerminan dari habitusnya dan ini terbentuk dari keadaan serta perjalanan sejarah hidupnya.

Action/tindakan:
Tindakan yang dilakukan oleh teis dan ateis juga jelas berbeda, teis biasanya akan melakukan ritual-ritual tertentu dalam agamanya, misalnya berdoa, puasa, sholat, mengaji, atau bagi yang budha melakukan semedhi, yoga, kebaktian, dan lain-lain.

2.      Habitus orang yang tidak percaya eksistensi tuhan (Ateis)
Matrix of perception:
Ateis tidak mempercayai keberadaan tuhan, baginya tuhan hanyalah God Of The Gaps oleh karena itu persepsinya akan berbeda dengan orang yang percaya tuhan. Orang ateis tidak percaya bahwa dunia ini diciptakan oleh tuhan, terlebih jika tuhan yang dimaksud adalah tuhan personal atau tuhan supreme being, sebagian besar ateis akan menjelaskan asal-usul alam semesta dengan probabilitas dan ilmu fisika kuantum yang dipahaminya, begitu juga saat menemui masalah dalam hidup, ateis tidak mengaitkannya dengan takdir tuhan, karena orang ateis menganggap bahwa peristiwa dan masalah yang terjadi adalah sebuah hasil dari probabilitas, bukan kehendak/rencana/takdir tuhan.

Appretiation:
Ateis tidak suka berdoa, tidak suka melakukan ritual-ritual dan cenderung tidak suka motivasi-motivasi berbau religius. Jika dihadapkan pada suatu pertanyaan, mereka pada umumnya cenderung lebih menyukai jawaban-jawaban logis dari penelitian, jurnal ilmiah dan ilmu pengetahuan yang ada daripada jawaban versi agama.

Action/tindakan:
Karena ateis tidak percaya tuhan, maka tindakannya dalam menghadapi suatu masalah juga berbeda dengan orang yang percaya tuhan. Ateis cenderung akan mencari solusi yang dianggapnya real dan masuk akal, misalnya jika sakit langsung saja ke dokter, jika ingin pandai maka belajar, bukan berdoa.

·         Modal (Capital)
Modal/Capital ini dapat mempengaruhi habitus masing-masing orang. Setidaknya ada empat Capital yang bisa dijabarkan.
1.      Cultural Capital :
atau juga disebut modal informasi misalnya adalah pendidikan. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin menurun tingkat keyakinannya terhadap agama[1]. Orang yang berpendidikan tinggi cenderung banyak membaca dan banyak mengetahui isu-isu terkini sekaligus melihatnya dari berbagai sudut pandang. Orang yang rajin membaca buku dan mempelajari banyak ilmu pengetahuan akan mengetahui bahwa dalam sejarah manusia terdapat sekitar 5000 agama yang ada di dunia sehingga pikirannya lebih terbuka. Orang berpendidikan misalnya filsafat juga akan belajar tentang jenis-jenis logica fallacy, sehingga tidak akan mengklaim agamanya yang paling benar. Sementara orang berpendidikan rendah cenderung mengambil kesimpulan bahwa agamanya paling benar karena jarang membaca buku, jarang mempelajari sejarah dan jarang melihat isu-isu terkini dari berbagai sudut pandang.
2.      Social Capital :
Hal ini juga dapat mempengaruhi habitus seseorang. Social Capital ini melingkupi pergaulan, jaringan dan dengan siapa individu tersebut berinteraksi. Jika dikaitkan dengan masalah teis dan ateis, bisa ditarik contoh misalnya: orang yang sehari-harinya hanya bergaul dengan kelompok teis fanatik (misalnya FPI) bisa terpengaruh untuk menjadi fanatik juga, lain halnya dengan orang yang berinteraksi dengan berbagai kelompok, maka pikirannya akan lebih terbuka dengan hal-hal baru yang berbeda. Keputusan seseorang untuk menjadi ateis pun juga tak lepas dari capital social, teman-temannya, dosen-dosennya, perlakuan orang tuanya, dan orang-orang yang berinteraksi dengannya.
3.      Symbolic Capital :
Merupakan sesuatu yang simbolik dan sifatnya sangat berpengaruh. Orang yang fanatik terhadap agamanya akan mudah terpengaruh oleh orang lain dengan simbol-simbol tertentu, misalnya ada ulama yang memfatwa bahwa ateis halal untuk dibunuh, maka orang yang fanatik terhadap agamanya akan dengan mudah mengkafir-kafirkan orang lain, atau bahkan membantai ateis karena ulama tersebut memiliki Symbolic Capital.
4.      Material Capital :
Modal materi dengan segala bentuknya seperti uang, harta benda, rumah dan sebagainya juga merupakan modal yang tak terelakkan dalam mempengaruhi habitus. Dari beberapa negara yang tercatat sebagai negara dengan jumlah prosentase ateis terbanyak, sebagian besar berasal dari negara-negara maju. Seperti Jepang, Perancis, Amerika, Finlandia, China, dan Rusia. kebanyakan dari mereka hidup di negara yang kaya sehingga dapat dengan mudah mengakses pendidikan dan informasi. inilah mengapa material capital juga berpengaruh dalam pembentukan habitus.

·         Field:
Merupakan kumpulan habitus atau tempat dimana habitus saling bertarung untuk mendapat pengaruh. Sebagai ilustrasi: Seseorang yang lahir dari keluarga Islam fanatik awalnya memiliki habitus untuk mengkafir-kafirkan orang lain yang berbeda agama, namun kemudian ia kuliah di sebuah universitas terkemuka yang multikultur ia bertemu dengan banyak orang, belajar menghargai perbedaan dan bersinggungan dengan habitus-habitus lain sehingga habitus-habitus tersebut saling bertarung di dalam field untuk mendapatkan pengaruh.

Doxa, Ortodoxa, Heterodoxa




                  Menurut Bordeau, Field bisa jadi merupakan wilayah dominasi.Opini yang disebut Doxa, dalam hal ini dogma agama mengenai kekuasaan tuhan dan nabi-nabi dapat dikatakan sebagi doxa karena apa yang ada dalam ajaran agama seringkali menjadi sesuatu yang taken for granted, hal itu diterima begitu saja menjadi suatu kebenaran umum tanpa dipertanyakan lagi. Eksistensi dogma agama sebagai doxa didukung oleh adanya lembaga-lembaga yang menyokong seperti adanya kementrian agama, sekolah-sekolah berbasis agama, organisasi-organisasi keagamaan seperti MUI dan lain-lain.

            Tapi di sisi lain muncullah heterodoxa yang berusaha meruntuhkan doxa. Orang-orang ateis, agnostik, skeptis, dan para non believer lainnya memunculkan hetrodoxa. Mereka menawarkan penjelasan-penjelasan ilmiah dan positivis untuk meruntuhkan klaim-klaim agama yang seringkali dianggap tidak ilmiah dan tidak terbukti kebenarannya. Jika angka-angka statistik pada artikel diatas boleh dipakai untuk menyimpulkan analisis saya, maka hemat saya Ateis sebagai heterodoxa hampir berhasil mencapai tujuannya, yakni mengikis doxa.



[1] Shermer, Michael. 1999. How We Believe: Science, Skepticism, and the Search for God. New York: William H Freeman. hlm. pp76–79