Senin, 01 September 2014

Indigenisasi Ilmu-Ilmu Sosial

Ini adalah sedikit hal yang saya pikirkan setelah mengikuti kelas sosiologi Indonesia.
     
        Berkembang pesatnya ilmu pengetahuan di Barat, baik ilmu pengetahuan alam maupun ilmu pengetahuan sosial telah menyumbangkan efek terhadap pola-pola dan model ilmu pengetahuan yang berkembang di negara dunia ketiga, seperti Indonesia. Diawali dari perkembangan teknologi di Inggris yang lantas diiringi dengan perkembangan teknologinya telah memunculkan tatanan sosial yang baru. Banyak orang semakin berlomba-lomba dalam ilmu pengetahuan sehingga cukup masuk akal jika negara-negara barat pernah menjadi tempat bertumbuh suburnya ilmu pengetahuan.
            Pada awalnya ilmu-ilmu alam di negara barat telah menemukan model, metode dan gambaran yang jelas tentang disiplin ilmunya masing-masing, kemudian hal tersebut diadopsi oleh ilmu sosial yang waktu itu masih belum berdiri kokoh seperti layaknya ilmu alam. Hingga perlahan ilmu sosial menemukan pijakan dalam disiplin ilmunya. Tapi hal ini kemudian memunculkan sebuah pertanyaan mendasar. “Jika ilmu sosial di negara di dunia ketiga (seperti Indonesia) diadopsi dari pemikiran-pemikiran barat, lantas apakah hal tersebut relevan jika mengingat lokasi geografis maupun historis serta keadaan sosialnya berbeda?”
            Hal ini menjadi kajian yang menarik, karena seperti yang kita tahu, negara dunia ketiga selalu terkesampingkan. Bisa ditelusuri dari sisi historis, Indonesia pernah dijajah oleh kolonial Belanda (yang pada waktu bersamaan ilmu pengetahuan sedang berkembang pesat di negara Barat). Hemat saya, jika dilihat dari sejarah, bangsa Indonesia mengalami fase penjajahan politik, kemudian penjajahan secara geografis yang diikuti dengan penjajahan ekonomi (tentunya disertai dengan eksploitasi sumber daya alam), kemudian dilanjutkan dengan penjajahan budaya dan akhirnya juga terjadi penjajahan kognitif. Penjajahan kognitif yang dimaksud dalam hal ini khususnya adalah penjajahan orientasi ilmu pengetahuan yang nampaknya cenderung berkiblat ke dunia Barat.
            Jika membahas soal ilmu pengetahuan alam seperti fisika dan kimia, nampaknya kita memang harus tunduk pada klaim universalitas yang telah dibuat, karena alam adalah fenomena yang terukur mutlak dan bisa dibuktikan keuniversalitasannya. Tapi ilmu sosial, seperti ilmu antropologi, sosiologi, ilmu politik dan ilmu hukum tidak bisa diklaim keuniversalitasannya karena setiap daerah di belahan bumi memiliki corak, struktur dan sistem yang berbeda, dan kini ilmuwan sosial di negara dunia ketiga tengah dihadapkan pada pilihan melakukan indigenisasi atau justru larut dalam klaim ilmu sosial yang ‘made in western’ tersebut.
            Saat ilmuwan sosial Indonesia mencoba memahami masalah-masalah dan fenomena sosial yang terjadi di Indonesia mereka mencari literatur dari barat dan mengkaji fenomena-fenomena sosial seperti yang telah dibukukan oleh akademisi-akademisi di barat. Padahal untuk mengaplikasikan model ilmu sosial dari barat tersebut tentu dibutuhkan penyesuaian dan penyelarasan terlebih dahulu dengan daerah lokal. Itulah mengapa muncul indigenisasi karena mempelajari fenomena lokal secara langsung dinilai lebih efisien dan tepat sasaran. Tidak perlu lagi mencari penyelesaian dari dunia akademis barat, karena keadaan sosial di barat dan di negara dunia ketiga sangat berbeda, maka diperlukan penyelesaian yang berasal dari sumber permasalahannya sendiri.
            Iluwan sosial di negara dunia ketiga mulai merasa malu bahwa mereka tak lebih dari sekedar pengekor, menjadi pengikut setia dari penjajahan kognitif  yang dilegitimasi oleh dirinya sendiri. Memang seharusnya begitu, ilmuwan sejati seorang skeptis yang empiris dan positifis, tindakan ilmuwan negara dunia ketiga (selalu mengutip teori barat kemudian dijadikan pedoman menganalisis daerah lokal) adalah bentuk kurangnya empirisme dari ilmuwan sosial negara dunia ketiga.
            Jika indigenisasi telah menjadi wacana yang mulai marak diperbincangkan maka ilmuwan sosial dari negara dunia ketiga sedang dihadapkan pada dua pilihan ; yakni mengabdikan pengetahuannya untuk perbaikan kehidupan masyarakatnya atau mengabdikan hidup untuk meningkatkan perkembangan akademis. Mana yang seharusnya diutamakan, tanggungjawab sosial atau tanggung jawab akademis? Nampaknya sebagian ilmuwan mengatakan sebuah jawaban yakni mewujudkan tanggung jawab sosial dengan cara menerima tanggung jawab akademik.Terdengar filosofis dan berpihak pada tanggung jawab sosial, tapi nampaknya hal ini tidak memecahkan masalah.
            Dalam ilmu-ilmu sosial pengaruh negara barat memang tidak bisa diabaikan, bisa diamati dalam kegiatan kademis sehari-hari, bangku perkuliahan ilmu sosial di Indonesia tak bisa lepas dari teori-teori Karl Marx, Weber, Talcott Parson, dan hal itu selalu menjadi kajian pokok dalam kurikulum, wajib dipahami hingga tuntas meski pada dasarnya tokoh-tokoh terkenal tersebut tidak pernah menyatakan apakah grand teorinya yang dipelajari puluhan ribu mahasiswa di Indonesia tersebut relevan atau tidak.
            Setidaknya ada tiga dimensi dalam ilmu sosial, yakni pertama: ideologi yang mencakup nilai-nilai dan norma-norma yang dipelajari ilmu sosial, kedua adalah teori dan ketiga adalah metodologi. Untuk melakukan indigenisasi rasanya masih bisa untuk melakukan indigenisasi terhadap ideologi dan juga teori karena keduanya bisa digali dari daerah lokal masing-masing di stiap belahan bumi, tapi untuk metodologi sepertinya ilmuwan lokal harus tunduk kepada metodologi yang diciptakan oleh ilmuwan negara barat karena hal ini adalah satu-satunya yang dapat menjamin validitas pengetahuan kita.
            Ditinjau dari sisi yang lain, contoh penelitian yang diutarakan oleh Clifford Geertz, ia menyimpulkan bahwa kemiskinan petani di Jawa diakibatkan oleh sistem kolonialisasi yang pernah berkuasa. Penduduk pribumi telah mengalami penjajahan oleh kolonial sekian lamanya, hingga mereka terbiasa menjadi ‘Objek’ yang dieksploitasi.
            Boeke juga mengatakan bahwa petani Jawa telah lama menderita kemiskinan hingga hilanglah semangat bekerja dan rasa berkuasa atas tanahnya sendiri, hingga hilang pula kepercayaan terhadap diri sendiri dan bertahan sampai generasi terkini. Jika Clifford Geertz sebagai ilmuwan barat saja sudah mengakui dan setidaknya menyiratkan pesan bahwa penduduk pribumi telah lama dijadikan objek, akankah kita akan terus terdiam sebagai objek yang hanya mengikuti arus negara barat yang membuat kita terombang ambing kesana-kemari?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar