Ini adalah sedikit hal yang saya pikirkan setelah mengikuti kelas sosiologi Indonesia.
Berkembang pesatnya ilmu pengetahuan di Barat, baik ilmu pengetahuan alam maupun ilmu pengetahuan sosial telah menyumbangkan efek terhadap pola-pola dan model ilmu pengetahuan yang berkembang di negara dunia ketiga, seperti Indonesia. Diawali dari perkembangan teknologi di Inggris yang lantas diiringi dengan perkembangan teknologinya telah memunculkan tatanan sosial yang baru. Banyak orang semakin berlomba-lomba dalam ilmu pengetahuan sehingga cukup masuk akal jika negara-negara barat pernah menjadi tempat bertumbuh suburnya ilmu pengetahuan.
Berkembang pesatnya ilmu pengetahuan di Barat, baik ilmu pengetahuan alam maupun ilmu pengetahuan sosial telah menyumbangkan efek terhadap pola-pola dan model ilmu pengetahuan yang berkembang di negara dunia ketiga, seperti Indonesia. Diawali dari perkembangan teknologi di Inggris yang lantas diiringi dengan perkembangan teknologinya telah memunculkan tatanan sosial yang baru. Banyak orang semakin berlomba-lomba dalam ilmu pengetahuan sehingga cukup masuk akal jika negara-negara barat pernah menjadi tempat bertumbuh suburnya ilmu pengetahuan.
Pada awalnya ilmu-ilmu alam di
negara barat telah menemukan model, metode dan gambaran yang jelas tentang
disiplin ilmunya masing-masing, kemudian hal tersebut diadopsi oleh ilmu sosial
yang waktu itu masih belum berdiri kokoh seperti layaknya ilmu alam. Hingga
perlahan ilmu sosial menemukan pijakan dalam disiplin ilmunya. Tapi hal ini
kemudian memunculkan sebuah pertanyaan mendasar. “Jika ilmu sosial di negara di
dunia ketiga (seperti Indonesia) diadopsi dari pemikiran-pemikiran barat,
lantas apakah hal tersebut relevan jika mengingat lokasi geografis maupun
historis serta keadaan sosialnya berbeda?”
Hal ini menjadi kajian yang menarik,
karena seperti yang kita tahu, negara dunia ketiga selalu terkesampingkan. Bisa
ditelusuri dari sisi historis, Indonesia pernah dijajah oleh kolonial Belanda
(yang pada waktu bersamaan ilmu pengetahuan sedang berkembang pesat di negara
Barat). Hemat saya, jika dilihat dari sejarah, bangsa Indonesia mengalami fase
penjajahan politik, kemudian penjajahan secara geografis yang diikuti dengan
penjajahan ekonomi (tentunya disertai dengan eksploitasi sumber daya alam),
kemudian dilanjutkan dengan penjajahan budaya dan akhirnya juga terjadi
penjajahan kognitif. Penjajahan kognitif yang dimaksud dalam hal ini khususnya
adalah penjajahan orientasi ilmu pengetahuan yang nampaknya cenderung berkiblat
ke dunia Barat.
Jika membahas soal ilmu pengetahuan
alam seperti fisika dan kimia, nampaknya kita memang harus tunduk pada klaim
universalitas yang telah dibuat, karena alam adalah fenomena yang terukur
mutlak dan bisa dibuktikan keuniversalitasannya. Tapi ilmu sosial, seperti ilmu
antropologi, sosiologi, ilmu politik dan ilmu hukum tidak bisa diklaim
keuniversalitasannya karena setiap daerah di belahan bumi memiliki corak,
struktur dan sistem yang berbeda, dan kini ilmuwan sosial di negara dunia
ketiga tengah dihadapkan pada pilihan melakukan indigenisasi atau justru larut
dalam klaim ilmu sosial yang ‘made in
western’ tersebut.
Saat ilmuwan sosial Indonesia
mencoba memahami masalah-masalah dan fenomena sosial yang terjadi di Indonesia
mereka mencari literatur dari barat dan mengkaji fenomena-fenomena sosial
seperti yang telah dibukukan oleh akademisi-akademisi di barat. Padahal untuk
mengaplikasikan model ilmu sosial dari barat tersebut tentu dibutuhkan
penyesuaian dan penyelarasan terlebih dahulu dengan daerah lokal. Itulah
mengapa muncul indigenisasi karena mempelajari fenomena lokal secara langsung
dinilai lebih efisien dan tepat sasaran. Tidak perlu lagi mencari penyelesaian
dari dunia akademis barat, karena keadaan sosial di barat dan di negara dunia
ketiga sangat berbeda, maka diperlukan penyelesaian yang berasal dari sumber
permasalahannya sendiri.
Iluwan sosial di negara dunia ketiga
mulai merasa malu bahwa mereka tak lebih dari sekedar pengekor, menjadi
pengikut setia dari penjajahan kognitif
yang dilegitimasi oleh dirinya sendiri. Memang seharusnya begitu,
ilmuwan sejati seorang skeptis yang empiris dan positifis, tindakan ilmuwan
negara dunia ketiga (selalu mengutip teori barat kemudian dijadikan pedoman
menganalisis daerah lokal) adalah bentuk kurangnya empirisme dari ilmuwan
sosial negara dunia ketiga.
Jika indigenisasi telah menjadi
wacana yang mulai marak diperbincangkan maka ilmuwan sosial dari negara dunia
ketiga sedang dihadapkan pada dua pilihan ; yakni mengabdikan pengetahuannya
untuk perbaikan kehidupan masyarakatnya atau mengabdikan hidup untuk
meningkatkan perkembangan akademis. Mana yang seharusnya diutamakan,
tanggungjawab sosial atau tanggung jawab akademis? Nampaknya sebagian ilmuwan
mengatakan sebuah jawaban yakni mewujudkan tanggung jawab sosial dengan cara
menerima tanggung jawab akademik.Terdengar filosofis dan berpihak pada tanggung
jawab sosial, tapi nampaknya hal ini tidak memecahkan masalah.
Dalam ilmu-ilmu sosial pengaruh
negara barat memang tidak bisa diabaikan, bisa diamati dalam kegiatan kademis
sehari-hari, bangku perkuliahan ilmu sosial di Indonesia tak bisa lepas dari
teori-teori Karl Marx, Weber, Talcott Parson, dan hal itu selalu menjadi kajian
pokok dalam kurikulum, wajib dipahami hingga tuntas meski pada dasarnya
tokoh-tokoh terkenal tersebut tidak pernah menyatakan apakah grand teorinya
yang dipelajari puluhan ribu mahasiswa di Indonesia tersebut relevan atau
tidak.
Setidaknya ada tiga dimensi dalam
ilmu sosial, yakni pertama: ideologi yang mencakup nilai-nilai dan norma-norma
yang dipelajari ilmu sosial, kedua adalah teori dan ketiga adalah metodologi.
Untuk melakukan indigenisasi rasanya masih bisa untuk melakukan indigenisasi
terhadap ideologi dan juga teori karena keduanya bisa digali dari daerah lokal
masing-masing di stiap belahan bumi, tapi untuk metodologi sepertinya ilmuwan
lokal harus tunduk kepada metodologi yang diciptakan oleh ilmuwan negara barat
karena hal ini adalah satu-satunya yang dapat menjamin validitas pengetahuan
kita.
Ditinjau dari sisi yang lain, contoh
penelitian yang diutarakan oleh Clifford Geertz, ia menyimpulkan bahwa
kemiskinan petani di Jawa diakibatkan oleh sistem kolonialisasi yang pernah
berkuasa. Penduduk pribumi telah mengalami penjajahan oleh kolonial sekian
lamanya, hingga mereka terbiasa menjadi ‘Objek’ yang dieksploitasi.
Boeke juga mengatakan bahwa petani
Jawa telah lama menderita kemiskinan hingga hilanglah semangat bekerja dan rasa
berkuasa atas tanahnya sendiri, hingga hilang pula kepercayaan terhadap diri
sendiri dan bertahan sampai generasi terkini. Jika Clifford Geertz sebagai
ilmuwan barat saja sudah mengakui dan setidaknya menyiratkan pesan bahwa
penduduk pribumi telah lama dijadikan objek, akankah kita akan terus terdiam
sebagai objek yang hanya mengikuti arus negara barat yang membuat kita
terombang ambing kesana-kemari?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar