Senin, 01 September 2014

Kelulusan dan Budaya Mencoret Seragam

           Ini adalah gambar sekelompok siswa di salah satu Sekolah Menengah Kejuruan Negeri di Kabupaten Malang yang sedang melakukan selebrasi kelulusan. Jika ditelusuri dari sejarahnya, budaya coret-mencoret seragam ini tidak diketahui asal-usulnya, yang jelas para siswa ini hanya mengikuti tradisi yang diwariskan turun temurun dari kakak-kakak kelasnya dan hampir di seluruh pelosok tanah air mengenal budaya ini. Sebagian besar mereka menganggap tidak afdhol  jika tidak melakukan ritual corat-coret seragam karena ini adalah bentuk ekspresi sukacita, euforia,  dan kelulusan setelah menghadapi Ujian Akhir Nasional yang menguras energi, pikiran serta menjadi stressor bagi para siswa. Dan yang biasanya identik dengan tradisi corat-coret seragam adalah konvoi sepanjang jalan dengan menggunakan sepeda motor.
            Banyak yang bisa dianalisis dari tindakan siswa-siswi ini. Yang pertama, mereka melakukan ini tanpa adanya pertimbangan rasionalitas yang matang, dalam kajian Weber dikenal ada 4 jenis rasionalitas yakni rasionalitas instrumental, rasionalitas orientasi nilai, rasionalitas afeksi, dan rasionalitas tradisional. Menurut saya tindakan yang mereka lakukan adalah bentuk dari tindakan rasionalitas tradisional (sebagian orang menyebutnya irrasional) sangat terlihat bahwa mereka hanya melakukannya karena faktor ikut-ikutan tanpa mempertimbangkan essensinya. Dalam hal ini bisa diambil kesimpulan awal bahwa generasi muda kita mudah terpengaruh oleh tradisi turun temurun tanpa mempertimbangkan baik buruknya.
            Yang kedua, dan barangkali sudah sering disinggung oleh para pengkritik budaya coret seragam adalah mereka hanya melakukan budaya hura-hura, pencerminan dari gaya hidup yang boros, alangkah baiknya daripada mencoret-coret seragam lebih baik menyumbangkannya kepada siswa lain yang membutuhkan, karena ribuan siswa di daerah lain terancam putus sekolah karena faktor seragam.
            Ketiga, perayaan yang terkesan liar, mencoret seragam (yang merupakan lambang pendidikan formal) serta konvoi liar yang mengganggu ketertiban umum, mengindikasikan bahwa para siswa sesungguhnya tidak menyukai wajah pendidikan formal Indonesia saat ini. Ada gap antara siswa dengan sistem pendidikan. Beberapa siswa mungkin lelah dengan tuntutan tugas, tes belajar, ulangan, evaluasi, ujian-ujian, dan yang paling parah terutama Ujian Akhir Nasional, serta segala hal yang menjadikan sekolah bukan lagi tempat menimba ilmu, bukan lagi tempat memperbaiki kesalahan-kesalahan, bukan juga tempat untuk mencari tahu, tapi sekolah bagi mereka adalah tempat dimana segala bentuk kecerdasan dan intelegensi diukur dengan nilai ujian nasional yang sangat subjektif. Subjektif, karena kecerdasan dan tingkat intelegensi tidak bisa diukur hanya dengan nilai-nilai akademis mata pelajaran tertentu.
            Saya jadi teringat dengan buku Summer Heel School yang dipresentasikan oleh teman saya di kelas sosiologi pendidikan Bu Kanthi, jadi sah saja jika saya menyimpulkan bahwa sekolah-sekolah formal di Indonesia kini telah berubah menjadi sumber stress bagi para siswa. Alih-alih menuntut ilmu dengan hati legowo atas kesadaran, justru para siswa dipaksa untuk mengikuti ujian-ujian tulis (khususnya Ujian Nasional) hanya demi nilai, yang mungkin tidak bisa mengukur derajat keberhasilan akademik tetapi berdampak psikis yang sangat besar terhadap siswa. Bisa saja siswa pandai, rajin dan berprestasi mendapat nilai UNAS yang kebetulan buruk sehingga tidak lulus dan ia akan merasa depresi. Perjuangan tiga tahun yang dihakimi oleh tiga hari yang menegangkan, kemudian setelahnya para siswa berpesta mencoret seragam, padahal setelah lulus mereka pun banyak yang tidak tahu akan meneruskan perjuangan kemana, perjuangan belum berakhir, masih banyak hal-hal lain yang berhak menghakimi keberhasilan di masa depan.
            Yang lebih parah lagi dari adanya Ujian nasional adalah beredarnya jawaban-jawaban soal ujian nasional, entah itu jawaban asli yang diperjual belikan/bocor, entah jawaban palsu yang disebar oleh pihak tak bertanggung jawab, yang jelas banyak siswa yang rela membayar mahal demi mendapat jawaban soal UNAS. Intinya pendidikan selama bertahun-tahun yag ditempuh bukan lagi untuk mencapai kompetensi yang diinginkan, tapi pendidikan selama bertahun-tahun ditempuh hanya demi mendapat stempel LULUS. Sungguh ironis.
            Saya rasa para pemegang otoritas pendidikan harus secepatnya mengevaluasi sistem yang telah diterapkannya selama bertahun-tahun ini, karena menurut saya menentukan seorang siswa berhasil/tidak hanya dari Ujian Nasional itu sangat absurd, bahkan sangat tidak akurat dalam menyatakan keberhasilan. Dalam hal ini mungkin kita bisa belajar (bukan meniru) sekolah-sekolah kecil yang mencetak orang-orang besar, misalnya di kalangan Yahudi, mereka adalah minoritas, tapi berhasil berkompetensi dengan menciptakan Google, Facebook, Nokia, dan penemuan-penemuan yang melegenda. Nama mereka ada di setiap jajaran sejarah orang-orang hebat. Pertanyaannya, apakah mereka melaksanakan Ujian Nasional Seperti kita?

            Tidak, mereka lulus jika bisa menciptakan produk yang berkualitas, bukan lulus atas dasar nilai di atas kertas yang bisa diperjual belikan dan ditransaksiskan secara diam-diam. Kreatifitas mencipta dan berkarya dihargai sangat tinggi daripada sekedar stempel LULUS. Jika pendidikan kita hanya diukur dari hal tersebut maka tidak mengherankan jika siswa-siswa kita selepas Ujian Nasional berpesta mencoret seragam dan konvoi dengan liar, seperti singa yang lepas dari kandangnya. Karena memang mereka merasa kreatifitasnya terkurung. Terkurung oleh banyaknya tugas-tugas, ujian-ujian, les tambahan belajar dan segala tuntutan yang bagi mereka hanya dianggap sebagai jerat belaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar