Nasionalisme,
mendengar kata ini mungkin sebagian orang akan bangga dan teringat akan
cintanya pada bangsa dan negara, tapi bagi sebagian yang lain nasionalisme terkadang
terdengar mengerikan. Hidup sebagai warga negara Indonesia dan tinggal di Pulau
Jawa yang secara sah termasuk teritorial Negara Indonesia, bisa diamati kata ‘nasionalisme’
hingga kini menjadi sesuatu yang diagungkan, dibanggakan dan sangat disakralkan
bahkan mungkin adalah hal yang tabu jika ada seseorang yang mencibir
nasionalisme dalam negaranya.
Secara praksis terkadang
nasionalisme memang berguna sebagai benteng perlindungan dari serangan luar,
misalnya di versi buku-buku sejarah Indonesia pada era penjajahan, Indonesia berhasil
mengusir penjajah dari Nusantara karena semangat nasionalisme. Tapi ada
beberapa hal yang menurut saya ganjil dan pantas dijadikan sebagai kritik
terhadap nasionalisme di Indonesia. Akan saya mulai dari Gajahmada yang seringkali
disebut-sebut sebagai embrio nasionalisme Indonesia.
“Sira
Gajahmada lamun huwus kalah Nusantara, ingsun amukti palapa”
begitulah bunyi sumpah palapa yang saya ingat kurang lebih artinya: “Saya
Gajahmada, bila telah berhasil mengalahkan Nusantara baru saya akan berhenti
puasa”. Dengan jelas yang dilakukan Gajahmada adalah proses penaklukan,
ekspansi, dan secara tersirat ada aroma saling kalah-mengalahkan antara
Gajahmada dengan pemerintah kerajaan yang waktu itu mencoba bertahan. Artinya,
nasionalisme yang kita sebut sebagai warisan Gajahmada tersebut awalnya
bukanlah nasionalisme yang terbentuk secara sukarela, melainkan nasionalisme
yang ditempuh melalui peperangan dan pertumpahan darah, nasionalisme yang
berbau politis dan kepentingan bagi yang berpolitik saat itu. Lalu jika hingga
kini sosok Gajahmada masih sering muncul dalam perbincangan mengenai
nasionalisme, masih pantaskah Gajahmada kita anggap sebagai pahlawan
nasionalisme? pahlawan yang menggunakan kekerasan demi tercapainya ekspansi
dengan menafikkan nilai-nilai kemanusiaan. Bagaimana bila esok hari muncul
Gajahmada-gajahmada lain yang melakukan ekspansi, mencaplok wilayah negara lain
demi kepentingannya, masihkah akan kita nobatkan sebagai pahlawan nasionalisme?.
Sejarah mencatat begitu banyak
gerakan separatis yang mencoba memisahkan diri dari NKRI, diantaranya PRRI, Permesta,
GAM, RMS, dan Gerakan Papua Merdeka, yang tak kalah menyakitkan adalah
Timor-timur. Pemerintah Indonesia melakukan invasi besar-besaran dalam
permasalahan di Timor-timur sehingga ratusan ribu nyawa rakyat Timor-timur
melayang atas nama pembelaan terhadap nasionalisme, dan itu sangat tragis. Jika
nasionalisme sudah berdiri diatas rasa manusiawi, maka nyawa tak ada harganya, seolah
nasionalisme selalu meminta tumbal untuk mengorbankan rasa kemanusiaan.
Hampir seluruh gerakan sparatis di
Indonesia ditangani dengan kekerasan agar nasionalisme tidak terkotori oleh
gerakan-gerakan yang ingin memisahkan diri. Menurut saya, nasionalisme semacam
ini hanya mirip dengan pistol yang ditodongkan pada kepala masing-masing orang
agar tidak memberontak, nasionalisme yang tidak jauh berbeda dengan rezim-rezim
fasis yang memaksakan kehendak demokrasi meskipun mereka menyebut dirinya
sebagai bagian dari demokrasi.
Sebenarnya cikal bakal nasionalisme
itu sendiri adalah pembebasan dan pemerdekaan dari suatu penindasan. Jadi jiwa
yang terdalam dari nasionalisme adalah upaya pembebasan dan pemerdekaan itu
sendiri[1].
Jika hari ini kita masih melihat fanatisme terhadap nasionalisme, seringkali
kita menyalahkan daerah-daerah yang melakukan gerakan separatis, tak jarang
kita dan juga media massa menyebut gerakan-gerakan separatis sebagai
pemberontak, pembelot, perusak, pengotor nasionalisme, pemecah kesatuan, dan
segala label buruk lainnya. Maka sepertinya kita terlalu tenggelam dalam nasionalisme
versi kita sendiri, versi orang-orang Jakarta, versi masyarakat Jawa, yang
jelas dengan mudah bicara bahwa nasionalisme adalah kebersatuan cinta terhadap
Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena kita tidak merasakan sakit yang
diderita mereka akibat ketimpangan pembangunan ataupun diskriminasi etnisitas
di sana-sini.
Pernahkah kita mencoba menelaah
nasionalisme dari sisi mereka?. Kembali mempertegas pernyataan Anselmus
Jahaman, jika jiwa yang terdalam dari nasionalisme adalah upaya pembebasan dan
pemerdekaan, maka bagi kelompok-kelompok separatis di Indonesia, gerakan
separatis adalah nasionalisme versi mereka, yakni upaya pembebasan dan
pemerdekaan bangsanya dari ketertindasan Indonesia. Jika dilihat lebih lanjut, menurut
saya yang membuat daerah-daerah berkecamuk melepaskan diri dari Indonesia pada
dasarnya adalah kekecewaan.
“Perlakuan pusat yang tidak adil
kepada daerah, baik di bidang politik, ekonomi, bahkan sosial budaya telah
melahirkan kekecewaan bahkan trauma terhadap negara kesatuan dari sebagian
wilayah[2].
Kekecewaan ini dapat berupa pengerukan kekayaan daerah ke pusat, pembangunan
yang tidak merata, diskriminasi etnis-etnis dominan, atau bahkan hal-hal berbau
agama. Maka untuk mencapai posisi Indonesia bersatu, menurut saya cara yang
perlu ditempuh pemerintah untuk mencegah maupun mengatasi timbulnya
gerakan-gerakan separatis adalah berlaku adil dan mencukupi kesejahteraan,
karena dengan kesejahteraan, rakyat akan merasa terpuaskan dengan kehidupan
bernegara sehingga gerakan-gerakan separatis dapat diminimalisir, dan rasa
nasionalisme yang mengalir dalam setiap darah bangsa dapat lahir dari
kesukarelaan.
Kembali pada nasionalisme dalam
tafsiran mainstream, saya ingat betul
bagaimana calon presiden RI nomor urut 1 dalam penyampaian visi-misinya
berulangkali mengatakan “Saya tidak akan membiarkan sejengkal tanah pun lepas
dari Indonesia!”. Pernyataan ini biasanya mendapat aplause meriah dari para
hadirin, namun saya menangkap bahwa pernyataan ini multitafsir. Yang pertama,
calon presiden ingin melindungi wilayah teritorial indonesia dari klaim-klaim
negara lain agar tidak ada sejengkal tanah pun lepas dari Indonesia.
Yang kedua, calon presiden tidak akan
membiarkan gerakan separatis tumbuh, mereka dihilangkan dengan cara persuasif
menggunakan strategi-strategi seperti pembangunan yang berasaskan keadilan.
Yang ketiga, calon presiden akan menghalalkan segala cara agar apapun yang
terjadi sejengkal tanah pun tidak lepas dari Indonesia, meskipun harus
mengorbankan dan lagi-lagi menumbalkan rasa kemanusiaan demi membela nama
nasionalisme. Agar tidak multitafsir rasanya calon presiden nomor urut 1 perlu
memberikan konfirmasi yang lebih rinci terkait hal tersebut apakah
pernyataannya patut diapresiasi atau justru diwaspadai, sehingga masyarakat
sipil dapat menentukan pilihannya pada pemilu mendatang.