Minggu, 06 Juli 2014

Menumbalkan Rasa Kemanusiaan Demi Nasionalisme

        Nasionalisme, mendengar kata ini mungkin sebagian orang akan bangga dan teringat akan cintanya pada bangsa dan negara, tapi bagi sebagian yang lain nasionalisme terkadang terdengar mengerikan. Hidup sebagai warga negara Indonesia dan tinggal di Pulau Jawa yang secara sah termasuk teritorial Negara Indonesia, bisa diamati kata ‘nasionalisme’ hingga kini menjadi sesuatu yang diagungkan, dibanggakan dan sangat disakralkan bahkan mungkin adalah hal yang tabu jika ada seseorang yang mencibir nasionalisme dalam negaranya.
            Secara praksis terkadang nasionalisme memang berguna sebagai benteng perlindungan dari serangan luar, misalnya di versi buku-buku sejarah Indonesia pada era penjajahan, Indonesia berhasil mengusir penjajah dari Nusantara karena semangat nasionalisme. Tapi ada beberapa hal yang menurut saya ganjil dan pantas dijadikan sebagai kritik terhadap nasionalisme di Indonesia. Akan saya mulai dari Gajahmada yang seringkali disebut-sebut sebagai embrio nasionalisme Indonesia.
            “Sira Gajahmada lamun huwus kalah Nusantara, ingsun amukti palapa” begitulah bunyi sumpah palapa yang saya ingat kurang lebih artinya: “Saya Gajahmada, bila telah berhasil mengalahkan Nusantara baru saya akan berhenti puasa”. Dengan jelas yang dilakukan Gajahmada adalah proses penaklukan, ekspansi, dan secara tersirat ada aroma saling kalah-mengalahkan antara Gajahmada dengan pemerintah kerajaan yang waktu itu mencoba bertahan. Artinya, nasionalisme yang kita sebut sebagai warisan Gajahmada tersebut awalnya bukanlah nasionalisme yang terbentuk secara sukarela, melainkan nasionalisme yang ditempuh melalui peperangan dan pertumpahan darah, nasionalisme yang berbau politis dan kepentingan bagi yang berpolitik saat itu. Lalu jika hingga kini sosok Gajahmada masih sering muncul dalam perbincangan mengenai nasionalisme, masih pantaskah Gajahmada kita anggap sebagai pahlawan nasionalisme? pahlawan yang menggunakan kekerasan demi tercapainya ekspansi dengan menafikkan nilai-nilai kemanusiaan. Bagaimana bila esok hari muncul Gajahmada-gajahmada lain yang melakukan ekspansi, mencaplok wilayah negara lain demi kepentingannya, masihkah akan kita nobatkan sebagai pahlawan nasionalisme?.
            Sejarah mencatat begitu banyak gerakan separatis yang mencoba memisahkan diri dari NKRI, diantaranya PRRI, Permesta, GAM, RMS, dan Gerakan Papua Merdeka, yang tak kalah menyakitkan adalah Timor-timur. Pemerintah Indonesia melakukan invasi besar-besaran dalam permasalahan di Timor-timur sehingga ratusan ribu nyawa rakyat Timor-timur melayang atas nama pembelaan terhadap nasionalisme, dan itu sangat tragis. Jika nasionalisme sudah berdiri diatas rasa manusiawi, maka nyawa tak ada harganya, seolah nasionalisme selalu meminta tumbal untuk mengorbankan rasa kemanusiaan.
            Hampir seluruh gerakan sparatis di Indonesia ditangani dengan kekerasan agar nasionalisme tidak terkotori oleh gerakan-gerakan yang ingin memisahkan diri. Menurut saya, nasionalisme semacam ini hanya mirip dengan pistol yang ditodongkan pada kepala masing-masing orang agar tidak memberontak, nasionalisme yang tidak jauh berbeda dengan rezim-rezim fasis yang memaksakan kehendak demokrasi meskipun mereka menyebut dirinya sebagai bagian dari demokrasi.
            Sebenarnya cikal bakal nasionalisme itu sendiri adalah pembebasan dan pemerdekaan dari suatu penindasan. Jadi jiwa yang terdalam dari nasionalisme adalah upaya pembebasan dan pemerdekaan itu sendiri[1]. Jika hari ini kita masih melihat fanatisme terhadap nasionalisme, seringkali kita menyalahkan daerah-daerah yang melakukan gerakan separatis, tak jarang kita dan juga media massa menyebut gerakan-gerakan separatis sebagai pemberontak, pembelot, perusak, pengotor nasionalisme, pemecah kesatuan, dan segala label buruk lainnya. Maka sepertinya kita terlalu tenggelam dalam nasionalisme versi kita sendiri, versi orang-orang Jakarta, versi masyarakat Jawa, yang jelas dengan mudah bicara bahwa nasionalisme adalah kebersatuan cinta terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena kita tidak merasakan sakit yang diderita mereka akibat ketimpangan pembangunan ataupun diskriminasi etnisitas di sana-sini.
            Pernahkah kita mencoba menelaah nasionalisme dari sisi mereka?. Kembali mempertegas pernyataan Anselmus Jahaman, jika jiwa yang terdalam dari nasionalisme adalah upaya pembebasan dan pemerdekaan, maka bagi kelompok-kelompok separatis di Indonesia, gerakan separatis adalah nasionalisme versi mereka, yakni upaya pembebasan dan pemerdekaan bangsanya dari ketertindasan Indonesia. Jika dilihat lebih lanjut, menurut saya yang membuat daerah-daerah berkecamuk melepaskan diri dari Indonesia pada dasarnya adalah kekecewaan.
            “Perlakuan pusat yang tidak adil kepada daerah, baik di bidang politik, ekonomi, bahkan sosial budaya telah melahirkan kekecewaan bahkan trauma terhadap negara kesatuan dari sebagian wilayah[2]. Kekecewaan ini dapat berupa pengerukan kekayaan daerah ke pusat, pembangunan yang tidak merata, diskriminasi etnis-etnis dominan, atau bahkan hal-hal berbau agama. Maka untuk mencapai posisi Indonesia bersatu, menurut saya cara yang perlu ditempuh pemerintah untuk mencegah maupun mengatasi timbulnya gerakan-gerakan separatis adalah berlaku adil dan mencukupi kesejahteraan, karena dengan kesejahteraan, rakyat akan merasa terpuaskan dengan kehidupan bernegara sehingga gerakan-gerakan separatis dapat diminimalisir, dan rasa nasionalisme yang mengalir dalam setiap darah bangsa dapat lahir dari kesukarelaan.
            Kembali pada nasionalisme dalam tafsiran mainstream, saya ingat betul bagaimana calon presiden RI nomor urut 1 dalam penyampaian visi-misinya berulangkali mengatakan “Saya tidak akan membiarkan sejengkal tanah pun lepas dari Indonesia!”. Pernyataan ini biasanya mendapat aplause meriah dari para hadirin, namun saya menangkap bahwa pernyataan ini multitafsir. Yang pertama, calon presiden ingin melindungi wilayah teritorial indonesia dari klaim-klaim negara lain agar tidak ada sejengkal tanah pun lepas dari Indonesia.
            Yang kedua, calon presiden tidak akan membiarkan gerakan separatis tumbuh, mereka dihilangkan dengan cara persuasif menggunakan strategi-strategi seperti pembangunan yang berasaskan keadilan. Yang ketiga, calon presiden akan menghalalkan segala cara agar apapun yang terjadi sejengkal tanah pun tidak lepas dari Indonesia, meskipun harus mengorbankan dan lagi-lagi menumbalkan rasa kemanusiaan demi membela nama nasionalisme. Agar tidak multitafsir rasanya calon presiden nomor urut 1 perlu memberikan konfirmasi yang lebih rinci terkait hal tersebut apakah pernyataannya patut diapresiasi atau justru diwaspadai, sehingga masyarakat sipil dapat menentukan pilihannya pada pemilu mendatang.




[1] Jahaman, Anselmus. 2001. Nasionalisme Etnisitas. Yogyakarta: Interfidei. hal. 56
[2] Kabakoran, Abubakar. 2003. Nasionalisme Kaum Pinggiran. Yogyakarta: LKIS. hal 118

Analisis Habitus (Perspektif Bordeau)

Oleh : Zakiah Fitri


Kali ini saya akan membahas mengenai teis dan ateisme, seperti yang kita tahu, belakangan jumlah ateis dan non believer meningkat. Namun bukan itu yang menjadi pokok bahasan saya, melainkan habitus-habitus, capital yang mempengaruhi, dan juga bahasan singkat tentang doxa, orthodoxa dan heterodoxa yang terdapat pada dua kelompok tersebut berdasarkan analisis sederhana yang saya buat.


·         Habitus
        Habitus merupakan hubungan antara struktur dan individu yang bersifat resiprokal yang mencerminkan adanya internalisasi dan eksternalisasi. Dari contoh yang saya kemukakan, bisa dianalisis secara sederhana, bahwa kaum beragama maupun kaum yang memilih untuk tidak beragama biasanya memiliki habitusnya masing-masing, Habitus terbentuk melalui lingkungan dan perjalanan waktu yang di tempuh sehingga mempengaruhi matrix of perception, appreciation dan juga action

1.      Habitus orang yang percaya eksistensi tuhan (Teis)
Matrix of perception:
Seorang teis/orang yang meyakini keberadaan tuhan (terutama tuhan personal dalam agama samawi) dia cenderung akan memandang dunia sebagai hasil ciptaan tuhan dan mempersepsikan bahwa tuhanlah yang menjalankan sekaligus mengendalikan hidupnya, begitu juga setiap ada masalah dalam hidup, pandangannya tidak terlepas dari tuhan dan selalu mengait-ngaitkan bahwa peristiwa apapun yang terjadi dalam hidupnya adalah kehendak/takdir tuhan

Appretiation:
Apresiasi seseorang juga tidak terlepas dari habitus yang ada, saat menemui masalah dalam hidup pada umumnya teis suka jika mendapat motivasi-motivasi berbau religius, misalnya motivasi berbunyi “Tetapkan iman dan keyakinan karena tuhan pasti menolongmu” sebagian besar juga suka dengan hari raya agamanya, atau mungkin ada yang suka datang rutin ke pengajian. Apresiasi/kesukaan yang muncul merupakan cerminan dari habitusnya dan ini terbentuk dari keadaan serta perjalanan sejarah hidupnya.

Action/tindakan:
Tindakan yang dilakukan oleh teis dan ateis juga jelas berbeda, teis biasanya akan melakukan ritual-ritual tertentu dalam agamanya, misalnya berdoa, puasa, sholat, mengaji, atau bagi yang budha melakukan semedhi, yoga, kebaktian, dan lain-lain.

2.      Habitus orang yang tidak percaya eksistensi tuhan (Ateis)
Matrix of perception:
Ateis tidak mempercayai keberadaan tuhan, baginya tuhan hanyalah God Of The Gaps oleh karena itu persepsinya akan berbeda dengan orang yang percaya tuhan. Orang ateis tidak percaya bahwa dunia ini diciptakan oleh tuhan, terlebih jika tuhan yang dimaksud adalah tuhan personal atau tuhan supreme being, sebagian besar ateis akan menjelaskan asal-usul alam semesta dengan probabilitas dan ilmu fisika kuantum yang dipahaminya, begitu juga saat menemui masalah dalam hidup, ateis tidak mengaitkannya dengan takdir tuhan, karena orang ateis menganggap bahwa peristiwa dan masalah yang terjadi adalah sebuah hasil dari probabilitas, bukan kehendak/rencana/takdir tuhan.

Appretiation:
Ateis tidak suka berdoa, tidak suka melakukan ritual-ritual dan cenderung tidak suka motivasi-motivasi berbau religius. Jika dihadapkan pada suatu pertanyaan, mereka pada umumnya cenderung lebih menyukai jawaban-jawaban logis dari penelitian, jurnal ilmiah dan ilmu pengetahuan yang ada daripada jawaban versi agama.

Action/tindakan:
Karena ateis tidak percaya tuhan, maka tindakannya dalam menghadapi suatu masalah juga berbeda dengan orang yang percaya tuhan. Ateis cenderung akan mencari solusi yang dianggapnya real dan masuk akal, misalnya jika sakit langsung saja ke dokter, jika ingin pandai maka belajar, bukan berdoa.

·         Modal (Capital)
Modal/Capital ini dapat mempengaruhi habitus masing-masing orang. Setidaknya ada empat Capital yang bisa dijabarkan.
1.      Cultural Capital :
atau juga disebut modal informasi misalnya adalah pendidikan. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin menurun tingkat keyakinannya terhadap agama[1]. Orang yang berpendidikan tinggi cenderung banyak membaca dan banyak mengetahui isu-isu terkini sekaligus melihatnya dari berbagai sudut pandang. Orang yang rajin membaca buku dan mempelajari banyak ilmu pengetahuan akan mengetahui bahwa dalam sejarah manusia terdapat sekitar 5000 agama yang ada di dunia sehingga pikirannya lebih terbuka. Orang berpendidikan misalnya filsafat juga akan belajar tentang jenis-jenis logica fallacy, sehingga tidak akan mengklaim agamanya yang paling benar. Sementara orang berpendidikan rendah cenderung mengambil kesimpulan bahwa agamanya paling benar karena jarang membaca buku, jarang mempelajari sejarah dan jarang melihat isu-isu terkini dari berbagai sudut pandang.
2.      Social Capital :
Hal ini juga dapat mempengaruhi habitus seseorang. Social Capital ini melingkupi pergaulan, jaringan dan dengan siapa individu tersebut berinteraksi. Jika dikaitkan dengan masalah teis dan ateis, bisa ditarik contoh misalnya: orang yang sehari-harinya hanya bergaul dengan kelompok teis fanatik (misalnya FPI) bisa terpengaruh untuk menjadi fanatik juga, lain halnya dengan orang yang berinteraksi dengan berbagai kelompok, maka pikirannya akan lebih terbuka dengan hal-hal baru yang berbeda. Keputusan seseorang untuk menjadi ateis pun juga tak lepas dari capital social, teman-temannya, dosen-dosennya, perlakuan orang tuanya, dan orang-orang yang berinteraksi dengannya.
3.      Symbolic Capital :
Merupakan sesuatu yang simbolik dan sifatnya sangat berpengaruh. Orang yang fanatik terhadap agamanya akan mudah terpengaruh oleh orang lain dengan simbol-simbol tertentu, misalnya ada ulama yang memfatwa bahwa ateis halal untuk dibunuh, maka orang yang fanatik terhadap agamanya akan dengan mudah mengkafir-kafirkan orang lain, atau bahkan membantai ateis karena ulama tersebut memiliki Symbolic Capital.
4.      Material Capital :
Modal materi dengan segala bentuknya seperti uang, harta benda, rumah dan sebagainya juga merupakan modal yang tak terelakkan dalam mempengaruhi habitus. Dari beberapa negara yang tercatat sebagai negara dengan jumlah prosentase ateis terbanyak, sebagian besar berasal dari negara-negara maju. Seperti Jepang, Perancis, Amerika, Finlandia, China, dan Rusia. kebanyakan dari mereka hidup di negara yang kaya sehingga dapat dengan mudah mengakses pendidikan dan informasi. inilah mengapa material capital juga berpengaruh dalam pembentukan habitus.

·         Field:
Merupakan kumpulan habitus atau tempat dimana habitus saling bertarung untuk mendapat pengaruh. Sebagai ilustrasi: Seseorang yang lahir dari keluarga Islam fanatik awalnya memiliki habitus untuk mengkafir-kafirkan orang lain yang berbeda agama, namun kemudian ia kuliah di sebuah universitas terkemuka yang multikultur ia bertemu dengan banyak orang, belajar menghargai perbedaan dan bersinggungan dengan habitus-habitus lain sehingga habitus-habitus tersebut saling bertarung di dalam field untuk mendapatkan pengaruh.

Doxa, Ortodoxa, Heterodoxa




                  Menurut Bordeau, Field bisa jadi merupakan wilayah dominasi.Opini yang disebut Doxa, dalam hal ini dogma agama mengenai kekuasaan tuhan dan nabi-nabi dapat dikatakan sebagi doxa karena apa yang ada dalam ajaran agama seringkali menjadi sesuatu yang taken for granted, hal itu diterima begitu saja menjadi suatu kebenaran umum tanpa dipertanyakan lagi. Eksistensi dogma agama sebagai doxa didukung oleh adanya lembaga-lembaga yang menyokong seperti adanya kementrian agama, sekolah-sekolah berbasis agama, organisasi-organisasi keagamaan seperti MUI dan lain-lain.

            Tapi di sisi lain muncullah heterodoxa yang berusaha meruntuhkan doxa. Orang-orang ateis, agnostik, skeptis, dan para non believer lainnya memunculkan hetrodoxa. Mereka menawarkan penjelasan-penjelasan ilmiah dan positivis untuk meruntuhkan klaim-klaim agama yang seringkali dianggap tidak ilmiah dan tidak terbukti kebenarannya. Jika angka-angka statistik pada artikel diatas boleh dipakai untuk menyimpulkan analisis saya, maka hemat saya Ateis sebagai heterodoxa hampir berhasil mencapai tujuannya, yakni mengikis doxa.



[1] Shermer, Michael. 1999. How We Believe: Science, Skepticism, and the Search for God. New York: William H Freeman. hlm. pp76–79

Analisis Tradisi Kue Apem (Perspektif Peter L Berger)

Oleh : Zakiah Fitri

Asumsi Dasar: 
  • Internalisasi
adalah penyerapan kembali realitas objektif ke dalam kesadaran subjektif manusia. Melalui internalisasi, manusia melakukan proses adaptasi terhadap apa yang telah dibuatnya sendiri. Masyarakat kini berfungsi sebagai pelaku formatif bagi kesadaran individu. Agar tidak menjadi terasing atau teralienasi, manusia harus menyesuaikan diri dengan masyarakat di mana ia berada.

  • Eksternalisasi
adalah sebuah upaya untuk mengaktifkan atau mengeksiskan diri (manusia) terhadap dunia luar, salah satunya di dasari pada sebuah kebutuhan. Atau proses manusia menciptakan sesuatu.

  • Obyektivasi
adalah interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses intitusionalisasi, dan internalisasi adalah individu mengidentifikasi diri di tengah lembaga-lembaga sosial dimana individu tersebut menjadi anggotanya.

Sepenggal Cerita Dibalik Kue Apem

Kue apem adalah salah satu makanan khas di Indonesia, khususnya Jawa. Nampaknya sepele, tapi dibalik kue apem yang nampak sederhana tersebut tersimpan banyak cerita dan filosofi yang dipercaya oleh sebagian masyarakat Jawa. Pada setiap slametan (slametan adalah sebuah budaya dari jawa yang biasanya dilakukan dengan cara membuat makanan-makanan tertentu yang kemudian dibagikan sembari menyertakan doa-doa yang dipanjatkan),
            dalam pengamatan saya di Kota Kelahiran saya, Malang juga tidak lepas budaya menyertakan kue apem, slametan kematian misalnya, kue apem adalah makanan wajib yang tidak boleh dilewatkan. Meski pada dasarnya dalam ajaran Islam tidak pernah ada perintah menyertakan kue apem pada slametan kematian, tetapi masyarakat Islam kota Malang banyak yang menyertakan kue apem pada setiap acara tersebut, akulturasi nampak jelas dalam tradisi ini.
            Kalaulah kemudian ada anggota masyarakat yang dalam pelaksanaan selamatan tidak mampu memberikan hidangan dan kue yang bermacam-macam. Maka sajian kue apem dirasa cukup untuk menggantikan itu semua. Sebaliknya, kalau kemudian ada orang yang mampu menyediakan beragam sajian dan jajanan dalam sebuah selamatan, tapi tidak menyediakan kue apem. Maka ia dianggap menyalahi kebiasaan, ia dianggap tidak memiliki kesadaran kolektif.
            Sehingga wajar jika kemudian banyak orang yang menggunjing perbuatan itu, sebagai sanksi adat, meskipun kue yang disajikan lebih enak dan variatif. Masyarakat menganggap orang yang menyalahi kesadaran kolektif yang demikian itu sebagai orang yang tidak menghargai filosofi yang terkandung di dalam kue apem. Padahal oleh masyarakat setempat filosofi yang demikian itu diyakini akan berbuah konkritisasi.

Analisis
Jika ditelusuri dari logika Peter L Berger, hal ini bisa diuraikan dan dikaji melalui analisis internalisasi, objektifasi dan eksternalisasi yang digagas olehnya, berikut analisisnya:
·         Internalisasi : Saya akan memulai analisis saya dari internalisasi
Masyarakat yang menyertakan kue apem dalam setiap upacara kematian, mendapatkan nilai-nilai tersebut dari nenek moyangnya/lingkungan yang ada. Sehingga dalam proses tersebut, nilai-nilai ditransfer ke dalam individu dan terjadilah internalisasi
·         Objektifasi
Setelah terjadi internalisasi, individu dan masyarakat menilai dan menimbang kembali apa yang telah diinternalisasikan. Nilai-nilai yang ada dipertimbangkan, apakah seharusnya saya menyertakan apem? atau sebaiknya tradisi apem ditinggalkan?. Pertanyaan seperti ini seringkali muncul saat objektivasi sedang berlangsung. Dalam kasus yang saya angkat, masyarakat menerima nilai-nilai tentang penyertaan apem dalam slametan, sehingga nilai tersebut telah diakui masyarakat dan menjadi kesepakatan.
·         Eksternalisasi
Tindakan menyertakan kue apem dalam setiap slametan kematian adalah bentuk eksternalisasi, seperti gambar yang saya pasang diatas, kue apem yang tampak sebagai sajian wajib pada slametan kematian 40 hari merupakan bentuk dari eksternalisasi, sehingga hal tersebut merupakan realitas objektif. Seandainya seseorang melakukan slametan kematian tanpa menyertakan apem, tentu ia akan mendapat sanksi sosial berupa ejekan dan gunjingan. Maka dari itu, masyarakat yang hidup di lingkungan tersebut menyesuaikan diri dengan mengikuti tradisi tersebut agar tidak mendapat sanksi sosial.