Oleh : Zakiah Fitri
Kali ini saya akan membahas mengenai teis dan ateisme, seperti yang kita tahu, belakangan jumlah ateis dan non believer meningkat. Namun bukan itu yang menjadi pokok bahasan saya, melainkan habitus-habitus, capital yang mempengaruhi, dan juga bahasan singkat tentang doxa, orthodoxa dan heterodoxa yang terdapat pada dua kelompok tersebut berdasarkan analisis sederhana yang saya buat.
·
Habitus
Habitus merupakan hubungan antara struktur dan individu
yang bersifat resiprokal yang mencerminkan adanya internalisasi dan
eksternalisasi. Dari contoh yang saya kemukakan, bisa dianalisis secara
sederhana, bahwa kaum beragama maupun kaum yang memilih untuk tidak beragama biasanya
memiliki habitusnya masing-masing, Habitus terbentuk melalui lingkungan dan
perjalanan waktu yang di tempuh sehingga mempengaruhi matrix of perception, appreciation
dan juga action
1. Habitus orang yang percaya
eksistensi tuhan (Teis)
Matrix of perception:
Seorang
teis/orang yang meyakini keberadaan tuhan (terutama tuhan personal dalam agama
samawi) dia cenderung akan memandang dunia sebagai hasil ciptaan tuhan dan
mempersepsikan bahwa tuhanlah yang menjalankan sekaligus mengendalikan
hidupnya, begitu juga setiap ada masalah dalam hidup, pandangannya tidak
terlepas dari tuhan dan selalu mengait-ngaitkan bahwa peristiwa apapun yang
terjadi dalam hidupnya adalah kehendak/takdir tuhan
Appretiation:
Apresiasi
seseorang juga tidak terlepas dari habitus yang ada, saat menemui masalah dalam
hidup pada umumnya teis suka jika mendapat motivasi-motivasi berbau religius, misalnya
motivasi berbunyi “Tetapkan iman dan
keyakinan karena tuhan pasti menolongmu” sebagian besar juga suka dengan hari
raya agamanya, atau mungkin ada yang suka datang rutin ke pengajian.
Apresiasi/kesukaan yang muncul merupakan cerminan dari habitusnya dan ini
terbentuk dari keadaan serta perjalanan sejarah hidupnya.
Action/tindakan:
Tindakan
yang dilakukan oleh teis dan ateis juga jelas berbeda, teis biasanya akan
melakukan ritual-ritual tertentu dalam agamanya, misalnya berdoa, puasa, sholat,
mengaji, atau bagi yang budha melakukan semedhi, yoga, kebaktian, dan
lain-lain.
2.
Habitus
orang yang tidak percaya eksistensi tuhan (Ateis)
Matrix of perception:
Ateis tidak mempercayai keberadaan
tuhan, baginya tuhan hanyalah God Of The
Gaps oleh karena itu persepsinya akan berbeda dengan orang yang percaya
tuhan. Orang ateis tidak percaya bahwa dunia ini diciptakan oleh tuhan,
terlebih jika tuhan yang dimaksud adalah tuhan personal atau tuhan supreme being, sebagian besar ateis akan
menjelaskan asal-usul alam semesta dengan probabilitas dan ilmu fisika kuantum
yang dipahaminya, begitu juga saat menemui masalah dalam hidup, ateis tidak
mengaitkannya dengan takdir tuhan, karena orang ateis menganggap bahwa
peristiwa dan masalah yang terjadi adalah sebuah hasil dari probabilitas, bukan
kehendak/rencana/takdir tuhan.
Appretiation:
Ateis tidak suka berdoa, tidak suka
melakukan ritual-ritual dan cenderung tidak suka motivasi-motivasi berbau
religius. Jika dihadapkan pada suatu pertanyaan, mereka pada umumnya cenderung
lebih menyukai jawaban-jawaban logis dari penelitian, jurnal ilmiah dan ilmu
pengetahuan yang ada daripada jawaban versi agama.
Action/tindakan:
Karena ateis tidak percaya tuhan, maka
tindakannya dalam menghadapi suatu masalah juga berbeda dengan orang yang
percaya tuhan. Ateis cenderung akan mencari solusi yang dianggapnya real dan
masuk akal, misalnya jika sakit langsung saja ke dokter, jika ingin pandai maka
belajar, bukan berdoa.
·
Modal
(Capital)
Modal/Capital ini dapat
mempengaruhi habitus masing-masing orang. Setidaknya ada empat Capital yang
bisa dijabarkan.
1.
Cultural
Capital :
atau juga disebut modal informasi
misalnya adalah pendidikan. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi
pendidikan seseorang maka semakin menurun tingkat keyakinannya terhadap agama[1].
Orang yang berpendidikan tinggi cenderung banyak membaca dan banyak mengetahui
isu-isu terkini sekaligus melihatnya dari berbagai sudut pandang. Orang yang
rajin membaca buku dan mempelajari banyak ilmu pengetahuan akan mengetahui
bahwa dalam sejarah manusia terdapat sekitar 5000 agama yang ada di dunia
sehingga pikirannya lebih terbuka. Orang berpendidikan misalnya filsafat juga
akan belajar tentang jenis-jenis logica
fallacy, sehingga tidak akan mengklaim agamanya yang paling benar. Sementara
orang berpendidikan rendah cenderung mengambil kesimpulan bahwa agamanya paling
benar karena jarang membaca buku, jarang mempelajari sejarah dan jarang melihat
isu-isu terkini dari berbagai sudut pandang.
2.
Social
Capital :
Hal ini juga dapat mempengaruhi habitus
seseorang. Social Capital ini melingkupi pergaulan, jaringan dan dengan siapa
individu tersebut berinteraksi. Jika dikaitkan dengan masalah teis dan ateis,
bisa ditarik contoh misalnya: orang yang sehari-harinya hanya bergaul dengan
kelompok teis fanatik (misalnya FPI) bisa terpengaruh untuk menjadi fanatik
juga, lain halnya dengan orang yang berinteraksi dengan berbagai kelompok, maka
pikirannya akan lebih terbuka dengan hal-hal baru yang berbeda. Keputusan
seseorang untuk menjadi ateis pun juga tak lepas dari capital social,
teman-temannya, dosen-dosennya, perlakuan orang tuanya, dan orang-orang yang
berinteraksi dengannya.
3.
Symbolic
Capital :
Merupakan sesuatu yang simbolik dan
sifatnya sangat berpengaruh. Orang yang fanatik terhadap agamanya akan mudah
terpengaruh oleh orang lain dengan simbol-simbol tertentu, misalnya ada ulama
yang memfatwa bahwa ateis halal untuk dibunuh, maka orang yang fanatik terhadap
agamanya akan dengan mudah mengkafir-kafirkan orang lain, atau bahkan membantai
ateis karena ulama tersebut memiliki Symbolic Capital.
4.
Material
Capital :
Modal materi dengan segala bentuknya
seperti uang, harta benda, rumah dan sebagainya juga merupakan modal yang tak
terelakkan dalam mempengaruhi habitus. Dari beberapa negara yang tercatat
sebagai negara dengan jumlah prosentase ateis terbanyak, sebagian besar berasal
dari negara-negara maju. Seperti Jepang, Perancis, Amerika, Finlandia, China,
dan Rusia. kebanyakan dari mereka hidup di negara yang kaya sehingga dapat
dengan mudah mengakses pendidikan dan informasi. inilah mengapa material
capital juga berpengaruh dalam pembentukan habitus.
·
Field:
Merupakan
kumpulan habitus atau tempat dimana habitus saling bertarung untuk mendapat
pengaruh. Sebagai ilustrasi: Seseorang yang lahir dari keluarga Islam fanatik
awalnya memiliki habitus untuk mengkafir-kafirkan orang lain yang berbeda
agama, namun kemudian ia kuliah di sebuah universitas terkemuka yang
multikultur ia bertemu dengan banyak orang, belajar menghargai perbedaan dan
bersinggungan dengan habitus-habitus lain sehingga habitus-habitus tersebut
saling bertarung di dalam field untuk mendapatkan pengaruh.
Doxa, Ortodoxa, Heterodoxa
Menurut
Bordeau, Field bisa jadi merupakan wilayah dominasi.Opini yang disebut Doxa,
dalam hal ini dogma agama mengenai kekuasaan tuhan dan nabi-nabi dapat
dikatakan sebagi doxa karena apa yang ada dalam ajaran agama seringkali menjadi
sesuatu yang taken for granted, hal
itu diterima begitu saja menjadi suatu kebenaran umum tanpa dipertanyakan lagi.
Eksistensi dogma agama sebagai doxa didukung oleh adanya lembaga-lembaga yang
menyokong seperti adanya kementrian agama, sekolah-sekolah berbasis agama,
organisasi-organisasi keagamaan seperti MUI dan lain-lain.
Tapi di sisi lain muncullah heterodoxa
yang berusaha meruntuhkan doxa. Orang-orang ateis, agnostik, skeptis, dan para
non believer lainnya memunculkan hetrodoxa. Mereka menawarkan
penjelasan-penjelasan ilmiah dan positivis untuk meruntuhkan klaim-klaim agama
yang seringkali dianggap tidak ilmiah dan tidak terbukti kebenarannya. Jika
angka-angka statistik pada artikel diatas boleh dipakai untuk menyimpulkan
analisis saya, maka hemat saya Ateis sebagai heterodoxa hampir berhasil
mencapai tujuannya, yakni mengikis doxa.
[1]
Shermer, Michael. 1999. How We Believe: Science,
Skepticism, and the Search for God. New
York: William H Freeman. hlm. pp76–79
Tidak ada komentar:
Posting Komentar