Minggu, 06 Juli 2014

Analisis Habitus (Perspektif Bordeau)

Oleh : Zakiah Fitri


Kali ini saya akan membahas mengenai teis dan ateisme, seperti yang kita tahu, belakangan jumlah ateis dan non believer meningkat. Namun bukan itu yang menjadi pokok bahasan saya, melainkan habitus-habitus, capital yang mempengaruhi, dan juga bahasan singkat tentang doxa, orthodoxa dan heterodoxa yang terdapat pada dua kelompok tersebut berdasarkan analisis sederhana yang saya buat.


·         Habitus
        Habitus merupakan hubungan antara struktur dan individu yang bersifat resiprokal yang mencerminkan adanya internalisasi dan eksternalisasi. Dari contoh yang saya kemukakan, bisa dianalisis secara sederhana, bahwa kaum beragama maupun kaum yang memilih untuk tidak beragama biasanya memiliki habitusnya masing-masing, Habitus terbentuk melalui lingkungan dan perjalanan waktu yang di tempuh sehingga mempengaruhi matrix of perception, appreciation dan juga action

1.      Habitus orang yang percaya eksistensi tuhan (Teis)
Matrix of perception:
Seorang teis/orang yang meyakini keberadaan tuhan (terutama tuhan personal dalam agama samawi) dia cenderung akan memandang dunia sebagai hasil ciptaan tuhan dan mempersepsikan bahwa tuhanlah yang menjalankan sekaligus mengendalikan hidupnya, begitu juga setiap ada masalah dalam hidup, pandangannya tidak terlepas dari tuhan dan selalu mengait-ngaitkan bahwa peristiwa apapun yang terjadi dalam hidupnya adalah kehendak/takdir tuhan

Appretiation:
Apresiasi seseorang juga tidak terlepas dari habitus yang ada, saat menemui masalah dalam hidup pada umumnya teis suka jika mendapat motivasi-motivasi berbau religius, misalnya motivasi berbunyi “Tetapkan iman dan keyakinan karena tuhan pasti menolongmu” sebagian besar juga suka dengan hari raya agamanya, atau mungkin ada yang suka datang rutin ke pengajian. Apresiasi/kesukaan yang muncul merupakan cerminan dari habitusnya dan ini terbentuk dari keadaan serta perjalanan sejarah hidupnya.

Action/tindakan:
Tindakan yang dilakukan oleh teis dan ateis juga jelas berbeda, teis biasanya akan melakukan ritual-ritual tertentu dalam agamanya, misalnya berdoa, puasa, sholat, mengaji, atau bagi yang budha melakukan semedhi, yoga, kebaktian, dan lain-lain.

2.      Habitus orang yang tidak percaya eksistensi tuhan (Ateis)
Matrix of perception:
Ateis tidak mempercayai keberadaan tuhan, baginya tuhan hanyalah God Of The Gaps oleh karena itu persepsinya akan berbeda dengan orang yang percaya tuhan. Orang ateis tidak percaya bahwa dunia ini diciptakan oleh tuhan, terlebih jika tuhan yang dimaksud adalah tuhan personal atau tuhan supreme being, sebagian besar ateis akan menjelaskan asal-usul alam semesta dengan probabilitas dan ilmu fisika kuantum yang dipahaminya, begitu juga saat menemui masalah dalam hidup, ateis tidak mengaitkannya dengan takdir tuhan, karena orang ateis menganggap bahwa peristiwa dan masalah yang terjadi adalah sebuah hasil dari probabilitas, bukan kehendak/rencana/takdir tuhan.

Appretiation:
Ateis tidak suka berdoa, tidak suka melakukan ritual-ritual dan cenderung tidak suka motivasi-motivasi berbau religius. Jika dihadapkan pada suatu pertanyaan, mereka pada umumnya cenderung lebih menyukai jawaban-jawaban logis dari penelitian, jurnal ilmiah dan ilmu pengetahuan yang ada daripada jawaban versi agama.

Action/tindakan:
Karena ateis tidak percaya tuhan, maka tindakannya dalam menghadapi suatu masalah juga berbeda dengan orang yang percaya tuhan. Ateis cenderung akan mencari solusi yang dianggapnya real dan masuk akal, misalnya jika sakit langsung saja ke dokter, jika ingin pandai maka belajar, bukan berdoa.

·         Modal (Capital)
Modal/Capital ini dapat mempengaruhi habitus masing-masing orang. Setidaknya ada empat Capital yang bisa dijabarkan.
1.      Cultural Capital :
atau juga disebut modal informasi misalnya adalah pendidikan. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin menurun tingkat keyakinannya terhadap agama[1]. Orang yang berpendidikan tinggi cenderung banyak membaca dan banyak mengetahui isu-isu terkini sekaligus melihatnya dari berbagai sudut pandang. Orang yang rajin membaca buku dan mempelajari banyak ilmu pengetahuan akan mengetahui bahwa dalam sejarah manusia terdapat sekitar 5000 agama yang ada di dunia sehingga pikirannya lebih terbuka. Orang berpendidikan misalnya filsafat juga akan belajar tentang jenis-jenis logica fallacy, sehingga tidak akan mengklaim agamanya yang paling benar. Sementara orang berpendidikan rendah cenderung mengambil kesimpulan bahwa agamanya paling benar karena jarang membaca buku, jarang mempelajari sejarah dan jarang melihat isu-isu terkini dari berbagai sudut pandang.
2.      Social Capital :
Hal ini juga dapat mempengaruhi habitus seseorang. Social Capital ini melingkupi pergaulan, jaringan dan dengan siapa individu tersebut berinteraksi. Jika dikaitkan dengan masalah teis dan ateis, bisa ditarik contoh misalnya: orang yang sehari-harinya hanya bergaul dengan kelompok teis fanatik (misalnya FPI) bisa terpengaruh untuk menjadi fanatik juga, lain halnya dengan orang yang berinteraksi dengan berbagai kelompok, maka pikirannya akan lebih terbuka dengan hal-hal baru yang berbeda. Keputusan seseorang untuk menjadi ateis pun juga tak lepas dari capital social, teman-temannya, dosen-dosennya, perlakuan orang tuanya, dan orang-orang yang berinteraksi dengannya.
3.      Symbolic Capital :
Merupakan sesuatu yang simbolik dan sifatnya sangat berpengaruh. Orang yang fanatik terhadap agamanya akan mudah terpengaruh oleh orang lain dengan simbol-simbol tertentu, misalnya ada ulama yang memfatwa bahwa ateis halal untuk dibunuh, maka orang yang fanatik terhadap agamanya akan dengan mudah mengkafir-kafirkan orang lain, atau bahkan membantai ateis karena ulama tersebut memiliki Symbolic Capital.
4.      Material Capital :
Modal materi dengan segala bentuknya seperti uang, harta benda, rumah dan sebagainya juga merupakan modal yang tak terelakkan dalam mempengaruhi habitus. Dari beberapa negara yang tercatat sebagai negara dengan jumlah prosentase ateis terbanyak, sebagian besar berasal dari negara-negara maju. Seperti Jepang, Perancis, Amerika, Finlandia, China, dan Rusia. kebanyakan dari mereka hidup di negara yang kaya sehingga dapat dengan mudah mengakses pendidikan dan informasi. inilah mengapa material capital juga berpengaruh dalam pembentukan habitus.

·         Field:
Merupakan kumpulan habitus atau tempat dimana habitus saling bertarung untuk mendapat pengaruh. Sebagai ilustrasi: Seseorang yang lahir dari keluarga Islam fanatik awalnya memiliki habitus untuk mengkafir-kafirkan orang lain yang berbeda agama, namun kemudian ia kuliah di sebuah universitas terkemuka yang multikultur ia bertemu dengan banyak orang, belajar menghargai perbedaan dan bersinggungan dengan habitus-habitus lain sehingga habitus-habitus tersebut saling bertarung di dalam field untuk mendapatkan pengaruh.

Doxa, Ortodoxa, Heterodoxa




                  Menurut Bordeau, Field bisa jadi merupakan wilayah dominasi.Opini yang disebut Doxa, dalam hal ini dogma agama mengenai kekuasaan tuhan dan nabi-nabi dapat dikatakan sebagi doxa karena apa yang ada dalam ajaran agama seringkali menjadi sesuatu yang taken for granted, hal itu diterima begitu saja menjadi suatu kebenaran umum tanpa dipertanyakan lagi. Eksistensi dogma agama sebagai doxa didukung oleh adanya lembaga-lembaga yang menyokong seperti adanya kementrian agama, sekolah-sekolah berbasis agama, organisasi-organisasi keagamaan seperti MUI dan lain-lain.

            Tapi di sisi lain muncullah heterodoxa yang berusaha meruntuhkan doxa. Orang-orang ateis, agnostik, skeptis, dan para non believer lainnya memunculkan hetrodoxa. Mereka menawarkan penjelasan-penjelasan ilmiah dan positivis untuk meruntuhkan klaim-klaim agama yang seringkali dianggap tidak ilmiah dan tidak terbukti kebenarannya. Jika angka-angka statistik pada artikel diatas boleh dipakai untuk menyimpulkan analisis saya, maka hemat saya Ateis sebagai heterodoxa hampir berhasil mencapai tujuannya, yakni mengikis doxa.



[1] Shermer, Michael. 1999. How We Believe: Science, Skepticism, and the Search for God. New York: William H Freeman. hlm. pp76–79

Tidak ada komentar:

Posting Komentar