1. Lintang Kemukus Dini hari
2. Ronggeng Dukuh Paruk
3. Jantera Bianglala
Buku ini sebenarnya adalah trilogi, dengan seri
masing-masing seperti yang ku tulis di atas. Aku pertama kali membacanya ketika
kelas 2 SMP, membaca bagian pertamanya saja “Lintang Kemukus Dini Hari”. Aku
sempat mencari bagian ke dua dan ketiga namun tak menemukannya. Akhirnya pada
saat SMA, aku menemukan tiga novel ini sudah terjilid dalam satu buku berjudul
“Ronggeng Dukuh Paruk”.
Sejak SMP, nama Ahmad Tohari cukup mengena di telingaku, karena
darinyalah aku belajar bagaimana cara menulis dengan metode etnografi (meski
waktu itu aku sama sekali tak mengerti etnografi itu apa), tutur bahasanya
benar-benar rinci, deskriptif dan indah! itulah yang membekas di benakku ketika
pertama kali membaca karyanya. Gara-gara novel ini juga, aku jadi penasaran
dengan karya-karyanya yang lain. Yah, aku menyukai gaya Ahmad Tohari karena
mengalami sebuah ketidaksengajaan, tidak sengaja menemukan bukunya, dan awalnya
hanya iseng membaca karyanya,
Baiklah, langsung saja. Buku ini berkisah tentang kehidupan
di desa terpencil yang memiliki nilai-nilai, norma, dan standar moralitasnya
sendiri, standar yang cukup berbeda dari moralitas pada umumnya, tempat itu
bernama Dukuh Paruk.
Seorang gadis cantik, Srintil namanya, dia menjadi ronggeng
yang diceritakan oleh Ahmad Tohari di Dukuh Paruk dalam novel ini. Sudah sekian
lama di dukuh ini tidak muncul seorang ronggeng pun, (dan ini adalah semacam
kemuraman bagi orang-orang desa). Ronggeng sebenarnya adalah penari bayaran,
dan mereka harus melayani laki-laki yang ingin “tidur” dengan mereka dan tentu
saja harus membayar dengan sejumlah harta. Ronggeng memiliki semacam “pengasuh”
dan digambarkan bahwa pengasuhnya inilah yang punya otoritas lelaki mana yang
boleh memerawani ronggeng untuk pertama kali, dan meniduri ronggeng itu di hari
berikutnya, berikutnya, dan seterusnya, semacam mucikari begitu lah, namun
posisi mucikari itu dibalut atas nama adat-tradisi.
Srintil, sejak sangat belia sebenarnya telah “jatuh cinta”
pada seorang teman sebayanya bernama Rasus, kepadanya lah Srintil menyerahkan
keperawanannya tanpa diketahui oleh Kartareja (mucikari ronggeng). Hingga
dewasa dan matang, Srintil tetap seorang ronggeng, tapi ia diam-diam tetap
mencintai Rasus, terpikir olehnya untuk menjadi istri dan memiliki anak,
membangun rumah tangga dengannya, namun jatuh cinta adalah pantangan bagi
seorang ronggeng, karena ronggeng adalah milik bersama, tidak boleh dimiliki
atau diperistri oleh siapapun. Tubuhnya hanya boleh ditiduri secara bergilir
oleh lelaki yang mampu membayarnya.
Ronggeng dalam konteks setting Dukuh Paruk, bukanlah
pekerjaan hina, justru ronggeng adalah simbol spiritualitas dan kehidupan di
Dukuh tersebut. Seorang istri yang memiliki suami, dan suaminya tidur dengan ronggeng,
bukan sebuah dosa atau pengkhianatan, tapi justru istri-istri di Dukuh Paruk
akan sangat bangga karena suaminya dianggap memiliki kejantanan dan harta yang
cukup untuk dapat menyetubuhi ronggeng. Para istri hanya akan berkata “Eh
suamiku nanti malam akan tidur dengan Srintil loh, suamimu kapan mau
menidurinya??” dengan ekspresi gembira.
Suatu hari, pada puncaknya, Srintil sangat lelah, ia
benar-benar ingin mengakhiri ke-ronggengannya dan ingin menjadi istri Rasus.
Mereka pernah “tidur” bersama untuk kedua kalinya, Srintil merasakan hal yang
berbeda dengan Rasus, tak seperti laki-laki lainnya. Namun Srintil pun bersedih
karena Rasus pada pagi buta telah pergi dari kamar, meninggalkan beberapa uang
di bawah bantal. “Aku tak butuh uangmu Rasus” begitu kira-kira kata Srintil di pagi buta itu, hatinya patah.
Rasus pun sejak semula sebenarnya sudah menaruh hati pada Srintil, namun ia diam saja karena
tak mungkin baginya bisa menikahi seorang ronggeng.
Srintil mengalami dilema, dia banyak menjadi buah bibir
karena keinginannya sudah banyak tersebar di kampung, padahal ronggeng tidak boleh memiliki keinginan untuk berumah tangga. Hingga
pada akhir cerita nanti, Srintil menderita kegilaan karena menunggui cinta Rasus namun ia tak pernah datang, selain itu Srintil juga mengalami penderitaan psikis dan fisik, namun kemudian dalam keadaan gila ia diselamatkan oleh
Rasus. Banyak penggambaran lain yang coba dilukiskan oleh Ahmad Tohari, seperti
gejolak PKI dan politik yang turut mempengaruhi jalannya cerita.
Hal yang paling banyak aku pelajari dari novel ini adalah
pembunuhan standar moralitas universal, melihat sudut moralitas dari mereka
yang sama sekali bertentangan dengan standar moralitas bagi masyarakat
kebanyakan. Kita bisa belajar betapa relatifnya arti sebuah moralitas bagi
setiap masyarakat. Selain itu, novel ini juga menggambarkan bagaimana posisi
laki-laki perempuan dalam masyarakat, bagaimana politik tubuh pun telah berlaku
bukan hanya pada masa belakangan setelah terjadinya era banjir informasi, tapi semenjak
jaman dahulu, di sebuah desa terpencil, mereka melakukan politik tubuh bahkan
dalam arti yang jauh lebih mengerikan bagi masyarakat mainstream perempuan kekinian.