Buku ini berlabel “karya sastra
klasik” ketika aku baru saja menemukannya. Aku cukup antusias untuk membacanya
karena sudah cukup lama aku mengetahui judul novel ini, namun lupa hingga
beberapa tahun kemudian ketika menemukannya langsung saja ku sambar. Penulis
novel ini, Achdiat K. Mihardja sempat diintrogasi gara-gara karya ini. Ia
dituduh berupaya menyebarkan ateisme, meskipun sebenarnya Achdiat K. Mihardja
mengatakan bahwa dirinya adalah seorang Muslim. Karya ini sempat dicekal
peredarannya sehingga menghilang dari pasaran.
Baiklah, langsung saja, sesuai
judulnya buku ini mengisahkan perjalanan spiritual seorang tokoh bernama Hasan
yang berasal dari keluarga muslim religius dan taat, dia pun sempat menjalani
kehidupan di pesantren dan menjadi salah satu siswa yang cukup kaffah dalam
menunaikan ritual serta ajaran-ajaran agama Islam. Kemudian ketika semakin
dewasa, ia dipertemukan kembali dengan teman lamanya bernama Rusli,
yang membawa Hasan pada teman-teman lainnya yang cenderung memiliki
pandangan hidup sekuler dan Marxis, mungkin berkat novel ini pula, asumsi bahwa
ateis = komunis jadi mendapatkan legitimasi yang lebih kuat.
Iman Islam Hasan sebagai tokoh
utama sangat terguncang, ketika secara perlahan-lahan ia diperkenalkan dengan
dunia teman-temannya yang intelek, ia juga sering mengikuti diskusi yang
digelar oleh teman-temannya, terlebih lagi ketika ia berkenalan dan menjadi
dekat dengan seorang perempuan bernama Kartini yang juga sekuler dan dengan
cepat merebut serta mengubah haluan hidup Hasan. Semakin lama, ia semakin tidak
percaya lagi pada keberadaan tuhan, puncaknya, ketika ia kembali ke kampung
untuk menjenguk orang tuanya, ditemani dengan Anwar (salah satu teman Hasan
yang telah lama menjadi ateis dan turut mempengaruhi pikiran Hasan).
Dalam situasi ketika bertemu
dengan orang tuanya, pada awalnya Hasan berusaha menutupi ke-ateisannya demi
menjaga perasaan bapak-ibunya, namun karena merasa disepelekan oleh Anwar
sebagai “ateis munafik”, maka Hasan pun dengan berani mengungkapkan
ketidakpercayaannya terhadap keberadaan tuhan. Orang tuanya pun sontak kaget
dan sangat terpukul, hingga memutuskan hubungan dengan Hasan. Dalam kondisi
demikian, Hasan kembali ke Jakarta, ia telah kehilangan hubungan baik dengan
orang tuanya, setelah kejadian itu pun Hasan menjadi uring-uringan, hubungan
suami-istri dengan Kartini juga semakin memburuk, Hasan mengalami depresi. Pada
suatu hari kemudian ia mencoba untuk meminta maaf kepada orang tuanya, kembali
ke kampung.
Namun ayahnya yang menderita sakit keras belum juga memaafkan
Hasan, dan justru ayah Hasan meminta Hasan pergi agar tidak mengganggu
perjalanan menuju kematiannya yang dirasa telah dekat. Hasan pun kembali sangat
terpukul, seolah seluruh segi hidupnya hancur berantakan.
Kira-kira seperti itulah garis
besar isinya. Nah, karena novel ini berlabel “karya sastra klasik” tentu saja
butuh sedikit usaha untuk memahami dialog dalam kalimat-kalimat yang dituturkan
Achdiat K. Mihardja lewat tokoh-tokohnya, karena dialog orang-orang di masa
lalu dan hari ini sudah cukup berbeda, namun soal ejaan, aku mendapati buku ini
sudah memiliki ejaan yang disempurnakan, bukan “edjaan tjang disempoernakan”, hehehe.
Menurutku, isinya cukup bagus dan masih memiliki relevansi dengan kondisi
ateis-ateis yang saat ini ada di banyak tempat. secara langsung aku ingin
berkata, bahwa karya ini menyiratkan pelajaran tentang apa yang kira-kira akan
terjadi ketika seorang ateis/ seseorang yang secara sembunyi-sembunyi memilih
keyakinan yang berbeda dengan orang tuanya memilih coming out dengan keyakinannya yang berbeda.
Apakah kejujuran memang harus
selalu diungkapkan? untuk apa diungkapkan jika baik diri kita maupun
orang-orang yang kita sayangi harus menanggung beban?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar