Senin, 25 Juli 2016

Atheis



Buku ini berlabel “karya sastra klasik” ketika aku baru saja menemukannya. Aku cukup antusias untuk membacanya karena sudah cukup lama aku mengetahui judul novel ini, namun lupa hingga beberapa tahun kemudian ketika menemukannya langsung saja ku sambar. Penulis novel ini, Achdiat K. Mihardja sempat diintrogasi gara-gara karya ini. Ia dituduh berupaya menyebarkan ateisme, meskipun sebenarnya Achdiat K. Mihardja mengatakan bahwa dirinya adalah seorang Muslim. Karya ini sempat dicekal peredarannya sehingga menghilang dari pasaran.

Baiklah, langsung saja, sesuai judulnya buku ini mengisahkan perjalanan spiritual seorang tokoh bernama Hasan yang berasal dari keluarga muslim religius dan taat, dia pun sempat menjalani kehidupan di pesantren dan menjadi salah satu siswa yang cukup kaffah dalam menunaikan ritual serta ajaran-ajaran agama Islam. Kemudian ketika semakin dewasa, ia dipertemukan kembali dengan teman lamanya bernama Rusli,  yang membawa Hasan pada teman-teman lainnya yang cenderung memiliki pandangan hidup sekuler dan Marxis, mungkin berkat novel ini pula, asumsi bahwa ateis = komunis jadi mendapatkan legitimasi yang lebih kuat.

Iman Islam Hasan sebagai tokoh utama sangat terguncang, ketika secara perlahan-lahan ia diperkenalkan dengan dunia teman-temannya yang intelek, ia juga sering mengikuti diskusi yang digelar oleh teman-temannya, terlebih lagi ketika ia berkenalan dan menjadi dekat dengan seorang perempuan bernama Kartini yang juga sekuler dan dengan cepat merebut serta mengubah haluan hidup Hasan. Semakin lama, ia semakin tidak percaya lagi pada keberadaan tuhan, puncaknya, ketika ia kembali ke kampung untuk menjenguk orang tuanya, ditemani dengan Anwar (salah satu teman Hasan yang telah lama menjadi ateis dan turut mempengaruhi pikiran Hasan).

Dalam situasi ketika bertemu dengan orang tuanya, pada awalnya Hasan berusaha menutupi ke-ateisannya demi menjaga perasaan bapak-ibunya, namun karena merasa disepelekan oleh Anwar sebagai “ateis munafik”, maka Hasan pun dengan berani mengungkapkan ketidakpercayaannya terhadap keberadaan tuhan. Orang tuanya pun sontak kaget dan sangat terpukul, hingga memutuskan hubungan dengan Hasan. Dalam kondisi demikian, Hasan kembali ke Jakarta, ia telah kehilangan hubungan baik dengan orang tuanya, setelah kejadian itu pun Hasan menjadi uring-uringan, hubungan suami-istri dengan Kartini juga semakin memburuk, Hasan mengalami depresi. Pada suatu hari kemudian ia mencoba untuk meminta maaf kepada orang tuanya, kembali ke kampung. 

Namun ayahnya yang menderita sakit keras belum juga memaafkan Hasan, dan justru ayah Hasan meminta Hasan pergi agar tidak mengganggu perjalanan menuju kematiannya yang dirasa telah dekat. Hasan pun kembali sangat terpukul, seolah seluruh segi hidupnya hancur berantakan.
Kira-kira seperti itulah garis besar isinya. Nah, karena novel ini berlabel “karya sastra klasik” tentu saja butuh sedikit usaha untuk memahami dialog dalam kalimat-kalimat yang dituturkan Achdiat K. Mihardja lewat tokoh-tokohnya, karena dialog orang-orang di masa lalu dan hari ini sudah cukup berbeda, namun soal ejaan, aku mendapati buku ini sudah memiliki ejaan yang disempurnakan, bukan “edjaan tjang disempoernakan”, hehehe.

Menurutku, isinya cukup bagus dan masih memiliki relevansi dengan kondisi ateis-ateis yang saat ini ada di banyak tempat. secara langsung aku ingin berkata, bahwa karya ini menyiratkan pelajaran tentang apa yang kira-kira akan terjadi ketika seorang ateis/ seseorang yang secara sembunyi-sembunyi memilih keyakinan yang berbeda dengan orang tuanya memilih coming out dengan keyakinannya yang berbeda.

Apakah kejujuran memang harus selalu diungkapkan? untuk apa diungkapkan jika baik diri kita maupun orang-orang yang kita sayangi harus menanggung beban?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar