Minggu, 29 September 2013

Angka Pendapatan Ekonomi, Cerminan Angka Kematian Penduduk


Begitu banyak data-data kependudukan yang disajikan dalam bentuk statistika lengkap dengan angka-angkanya. Sehingga saya anggap angka-angka tersebut adalah bahasa yang menjelaskan fenomena sosial kependudukan, lebih dari itu angka dalam sajian data statistik berbicara banyak tentang hubungannya dengan angka dalam data statistik yang lain, seperti yang sudah saya singgung, misalnya pendapatan ekonomi akan berpengaruh terhadap tinggi rendahnya angka kematian.
Seperti yang kita tahu, Indonesia saat ini memiliki pendapatan per kapita per tahun yang masih cukup rendah dibanding negara lainnya. Serta dengan utang luar negeri sebesar US$ 176, 5 milyar atau sekitar 821 per kapita menunjukkan bahwa setiap orang punya hutang sekitar Rp 8.000.000.[1] Hal tersebut adalah gambaran tentang keadaan ekonomi kita, yang menunjukkan bahwa selain minimnya pendapatan per kapita, ternyata masih juga dibebani oleh hutang warisan generasi terdahulu.
Nah, sekarang beralih ke angka kematian penduduk. Angka kematian penduduk erat kaitannya dengan angka harapan hidup dan  angka harapan hidup dipengaruhi oleh berbagai hal dan keadaan yang terjadi di suatu negara. Seperti kondisi politik, peperangan, keadaan pelayanan kesehatan, budaya dan agama.
Dari 223 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke 137 dengan angka harapan hidup 70,76. Masih tertinggal jauh dengan negara kecil di dekat Sumatra, yakni Singapura yang menempati urutan ke 6 dengan angka harapan hidup 82,14. Apa yang sebenarnya salah sehingga negara kita tidak cukup mampu menekan angka kematian dan menaikkan angka harapan hidup?
Pertama-tama. Pendapatan per kapita adalah salah satu indikator keadaan ekonomi suatu penduduk. Dan semua orang sosiologi tahu bahwa Karl Marx pun dalam materialisme historisnya yang terkenal mengatakan bahwa materi akan selalu mempengaruhi keadaan seseorang, bukan keadaan seseorang yang mempengaruhi kepemilikan materi.
Materi yang terwujud sebagai pendapatan ekonomi penduduk akan mempengaruhi akses-aksesnya terhadap pelayanan publik, seperti akses pendidikan, pangan, mobilitas, dan termasuk juga aspek kesehatan, itulah yang terjadi di Indonesia. Sehingga pasien yang sekarat tidak akan lekas ditangani jika tidak ada jaminan pembayaran administrasi. Saya jadi menarik konklusi yang sebenarnya pahit dan tidak ingin saya katakan “Dalam dunia medis dan pelayanan kesehatan Indonesia, nyawa manusia tidak lebih berharga daripada uang”
Akses dan pelayanan kesehatan yang baik dalam sebuah negara tentu akan meningkatkan kesehatan penduduk yang secara langsung berimbas pada berkurangnya angka kematian. Tapi pendapatan ekonomi yang rendah akan mempersulit akses kesehatan penduduk, dan akses kesehatan yang dipersulit secara signifikan menaikkan angka kematian, itulah mengapa rakyat miskin berkawan baik dengan angka harapan hidup yang rendah. Angka kematian bayi, angka kematian ibu melahirkan, angka gizi buruk, angka pasien yang tidak bisa mengakses pelayanan rawat inap, semua angka-angka berbicara tentang si miskin dan segala cerminan hidupnya.
Kematian sebenarnya memang bukan melulu berhubungan dengan struktur dan pendapatan ekonomi, sebaik apapun pendapatan per kapita suatu penduduk tetap ada juga faktor-faktor lain seperti kecelakaan,bencana alam, wabah penyakit, tapi yang saya soroti memang struktur dan pendapatan ekonomi karena berdasarkan laporan PBB, setiap detik ada 2 orang yang meninggal dunia dan total angka kematian yang terjadi pada tahun 2006 sekitar 62 juta jiwa. Dari 62 juta jiwa, 58% atau 36 juta jiwa meninggal disebabkan oleh kelaparan, penyakit dan kekurangan gizi.[2] Dan setidaknya, pasti penyumbang terbesar dari angka tersebut adalah negara miskin dan negara berkembang, termasuk negara Indonesia yang sedang berkembang. Terjadinya kelaparan dan kekurangan gizi bisa langsung ditebak oleh sebuah masalah klasik bernama kemiskinan. Sedangkan meninggal karena penyakit, selain karena wabah dan pola hidup yang tidak sehat, yang paling mendominasi saya rasa justru pelayanan dan akses kesehatan yang tidak bisa didapat oleh sebagian besar masyarakat karena lagi-lagi mereka berpenghasilan ekonomi rendah.
Secara makro, memang pendapatan ekonomi rakyat yang kemudian mempengaruhi akses kesehatan masyarakat adalah tanggung jawab pemerintah. Misalnya akses informasi tetang ibu hamil, bayi, dan pemenuhan gizi tak bisa lepas dari tanggung jawab penguasa, juga kebijakan-kebijakan hukum dalam penanganan pasien miskin yang dirugikan juga hanya seperti angin lalu yang diabaikan. Masyarakat berpendapatan ekonomi rendah selain tidak mendapat pelayanan yang baik, juga dalam hal penipuan medis seperti malpraktek, dan pengambilan organ tubuh (biasanya ginjal), merekalah yang paling banyak menjadi korban yang terabaikan hukum karena dianggap tidak punya cukup pengaruh untuk melawan, sumbangan lagi untuk alasan mengapa kebanyakan orang miskin cepat mati.
Angka harapan hidup pun bicara soal kematian di setiap negara, mau tak mau harus diakui bahwa angka harapan hidup seolah membenarkan bahwa batas negara memang batas seseorang bisa hidup lebih lama atau tidak. Sederhana saja, mungkin profesi kedua orang sama-sama sebagai pemulung, pemungut sampah yang dalam terminologi manapun diidentikkan sebagai kelas ekonomi lemah. Yang satu berprofesi sebagai pemulung di Indonesia, yang satunya lagi berprofesi pemulung di negara China. Tapi kemungkinan besar pemulung di negara China akan bertahan hidup lebih lama dibanding pemulung di Indonesia, pembedanya adalah, pemulung Indonesia ketika sakit mereka akan diusir dari rumah sakit jika tidak mampu atau tidak ada jaminan sanggup membayar (padahal profesi pemulung rentan dengan penyakit), sedangkan pemulung di China bisa berobat ke rumah sakit karena pemerintahan bertanggung jawab atas kesehatan penduduknya. Jadi sekali lagi, pelayanan dan akses kesehatan memegang peranan penting dalam angka harapan hidup dan angka kematian penduduk suatu negara.
Rumah sakit di Indonesia menurut saya bukan lagi bertujuan menghilangkan sakit bagi masyarakat, tapi sudah berubah mejadi ladang-ladang baru bagi kapitalis. Rumah sakit mewah, rumah sakit bertaraf internasional, rumah sakit dengan tenaga-tenaga medis impor dari luar negeri, semuanya yang berhubungan dengan kesejahteraan medis berbau kapitalis imperialis asing. Dan yang mampu membayar pelayanan kesehatan yang berkualitas adalah segelintir mereka-mereka yang berada di posisi ekonomi atas, sehingga menjadi telak lah, alasan bahwa pendapatan ekonomi-akses kesehatan­­­­­­­-angka harapan hidup-dan angka kematian adalah suatu hal yang berkesinambungan.
Mungkin juga ada alasan lain, misalnya angka harapan hidup dan angka kematian masyarakat tidak hanya dipengaruhi oleh struktur ekonomi (terutama pendapatan ekonomi) tapi bisa saja ditentukan oleh hal lain seperti: masyarakat baik kalangan ekonomi keatas maupun kalangan ekonomi bawah bisa saja menerapkan pola hidup tidak sehat dengan rokok, alkohol, softdrink, dan junkfood yang ditengarai mempercepat kematian. Tapi saya anggap itu alasan individualis yang tidak cukup relevan untuk melawan angka dan data statistik yang jelas-jelas menunjukkan tingginya angka kematian karena struktur sosial ekonomi di Indonesia memarginalkan masyarakat berpenghasilan rendah dalam hal kesehatan.
Memang masyarakat berpenghasilan ekonomi rendah sering dihadapkan pada angka harapan hidup yang rendah saat mereka sakit tapi tidak mendapat pelayanan kesehatan yang cukup baik. Selanjutnya kematian akibat penyakit yang tidak tertangani oleh tenaga medis seolah menjadi agenda biasa bagi rakyat miskin. Tak ayal, pantas saja tingginya angka-angka kematian penduduk dalam statistik diwarnai oleh mereka yang berpendapatan ekonomi rendah.



[1] Rinekso Kartono, 2007, “Beberapa Pemikiran Tentang Pembangunan Kesejahteraan Sosial”, Malang : UMM Press, hal. 17
[2] http://nusantaranews.wordpress.com/2009/10/16/tahun-2010-66-juta-penduduk-meninggal-dunia/


Kedaulatan Pangan Indonesia, Rasionalitas Kebijakan Ekonomi dan Keterlekatan


            Ada yang menarik perhatian saat melintasi Jl. Sudirman, persis di depan lapangan Rampal terdapat baliho superbesar bertuliskan “Parade Pangan Nusantara”. Dibawahnya terdapat tulisan yang tak kalah besar yakni “Indonesia Menuju Kedaulatan Pangan”. Hal yang menarik bagi saya untuk dikaji dan dianalisis lebih dalam, pasalnya acara bertajuk kuliner yang membawa-bawa kedaulatan pangan negara semacam ini belum pernah saya temui sepanjang 20 tahun hidup di Kota Malang.
            Sebenarnya apa yang terjadi, apakah parade ini adalah salah satu upaya serius menuju kedaulatan pangan Indonesia atau malah sebenarnya ini adalah cermin bahwa dependensi pangan kita sudah sedemikian parahnya hingga kedaulatan pangan Indonesia dijadikan sebuah parade dan hanya sebuah parade bagai musim berganti yang berlalu begitu saja tanpa langkah lanjutan? yang jelas tepat esok hari acara ini diselenggarakan, dan sebaiknya tidak dilewatkan.
            Begitu sering saya membaca di media tentang ketergantungan ekonomi dan pangan di Indonesia, lengkap dengan kritik-kritik tajam media terhadap jajaran pemerintah. Terkadang ada benarnya juga apa yang disuarakan oleh media, faktanya sampai hari ini kita masih saja impor sana sini untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri, sudah hal yang lumrah jika kita biasa impor beras dari Thailand, impor buah dari China, impor daging dari Australia dan tak tanggung-tanggung merk dagang (franchise) impor pun ikut diboyong kedalam negeri, memunculkan Mc’D, KFC dan segala jenis pangan dengan brand impor. Kalaupun tidak impor, sebagian besar produk pangan yang beredar di dalam negeri sahamnya dikuasai oleh asing.
            Weber menyatakan dalam kajiannya terdapat 4 jenis rasionalitas, yakni rasionalitas instrumental, orientasi nilai, tradisional dan afeksi[1]. Jika ditinjau dari segi kebijakan yang diambil, menurut saya pemerintah cenderung masuk dalam kategori rasional orientasi nilai, terlihat dari kebijakan impor sana sini yang cenderung menggunakan prinsip “asal terpenuhi” tanpa mempertimbangkan tujuan, essensi dan dampak jangka panjang jika kita selalu melakukan impor.
            Selain faktor rasionalitas dalam kepemimpinan yang menghambat kedaulatan pangan, juga karena adanya faktor lain seperti ketidakstabilan mutu produk yang terjadi karena kuatnya kecenderungan pengusaha lokal untuk mencari keuntungan jangka pendek[2]. Sebenarnya masih berhubungan juga dengan konsep rasionalitas Weber, akan tetapi dalam hal ini permasalahan rasionalitas terletak pada para pengusaha lokal itu sendiri.
            Sedangkan dalam hal lain, saya rasa masyarakat Indonesia sedang dilanda krisis kepercayaan diri, tidak menghargai produk dalam negeri. Itulah mengapa kita tidak bisa menjadi negara yang berdaulat dalam hal pemenuhan pangan rakyat. Bisa dikatakan juga masyarakat Indonesia masih cenderung termasuk kedalam jenis rasionalitas tradisional dan afeksi. Sekali lagi, masyarakat kita mudah terbawa arus prestise. Makan di Mc’D adalah prestise, makan keju impor asal Swedia adalah prestise dan bergengsi, nah hal seperti inilah yang semakin membuat imperialis asing tumbuh subur di nusantara, merenggut kedaulatan kita perlahan-lahan dan menghilangkan jati diri bangsa.
            Mungkin dalam hal ini juga sedikit mengacu dengan apa yang diungkapkan oleh granovetter[3] bahwa apa yang terjadi dalam produksi, distribusi dan konsumsi sangat banyak dipengaruhi oleh keterlekatan orang dalam hubungan sosial.          Mengenai keterlekatan tersebut bisa diamati, pola tindakan ekonomi (dalam hal konsumsi masyarakat) Indonesia saat ini selain selain sebagai pemenuhan terhadap kebutuhan ekonomi sebenarnya juga ditujukan untuk menunjukkan status sosial, sehingga masyarakat cenderung lebih memilih bahan pangan impor dan kurang menghargai produk-produk pangan dalam negeri, terkadang hal ini membuat permintaan pasar lokal menurun sehingga menjadi pukulan telak bagi para petani dalam negeri yang kalah dengan produk impor.
            Ketergantungan/dependensi dan ketidak berdaulatan pangan Indonesia adalah masalah ekonomi-sosial yang krusial. Jadi bagi saya, untuk mencapai kedaulatan pangan Indonesia tidak cukup hanya dengan menyelenggarakan parade pangan nusantara dan acara-acara sejenisnya. Jika dilihat dari segi kebijakan pemerintah yang mengacu pada analisis rasionalitas Weber, maka diperlukan tindakan rasional instrumental yang diterapkan pada setiap kebijakan otoritas legal-formal pemerintah agar kedaulatan pangan sebagai tujuan dapat tercapai. Misalnya dengan tegas melindungi produk-produk lokal dari gusuran produk impor.
            Jika dilihat dari segi masyarakat melalui analisis granoveter, maka dapat saya tarik sebuah titik temu. Jika tindakan ekonomi disituasikan secara sosial dan keduanya melekat, maka sebelum jauh berbicara tentang masalah kedaulatan pangan, diperlukan kajian mendalam untuk memperbaiki fenomena keterlekatan tersebut agar tidak berdampak buruk pada perekonomian Indonesia. Misal: Seperti yang kita tahu, masyarakat berbondong-bondong membeli produk pangan impor, hal itu antara lain adalah untuk menunjukkan status sosial karena sesuatu yang impor masih mendapat citra lux dan selalu kalah dengan kualitas barang apapun dari dalam negeri. Karena pandangan semacam ini masih eksis di masyarakat, maka produk pangan lokal kurang bisa mendongkrak pasar, akibatnya terjadilah kecenderungan impor dan penghargaan yang terlalu tinggi terhadap produk asing.
            Solusinya adalah memperbaiki kualitas dan citra produk pangan dalam negeri. Pemerintah dan penguasa memiliki kekuatan besar untuk membatasi dan mengontrol produk yang masuk, juga memiliki pengaruh yang besar terhadap upaya pencitraan produk dalam negeri. Beberapa tahun silam, kita sempat memiliki slogan “Cintai Produk dalam Negeri” yang membuat bangsa kita memangkitkan kepercayaan diri untuk bersaing. Tapi sekarang slogan itu seolah hilang ditikam badai politik dan pesimistik pembangunan ekonomi.
            Kita hidup di negeri luas dan kaya, bahkan sebuah perumpamaan mengatakan: “Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman”menggambarkan betapa suburnya tanah kita. Tapi ironis, tanah subur dan kaya ini seolah tak berdaya untuk menghidupi rakyatnya. Barangkali kebijakan impor pangan dan menjamurnya franchise-franchise asing di nusantara adalah bukti bahwa kita adalah negara tidak mandiri dalam hal pangan, kalau boleh berkata, saya mengandaikan rakyat Indonesia seperti hampir mati kelaparan di lumbung padi.



[1] Zainuddin Maliki. 2004. Narasi Agung. Surabaya : LPAM. hal. 223
[2] Desta Raharjana. 2003. Ekonomi Moral, Rasional dan Politik. Yogyakarta : Kepel Press hal. 68
[3] Damsar. 1997. Sosiologi Ekonomi. Jakarta : Raja Grafindo hal. 34