Begitu banyak
data-data kependudukan yang disajikan dalam bentuk statistika lengkap dengan
angka-angkanya. Sehingga saya anggap angka-angka tersebut adalah bahasa yang
menjelaskan fenomena sosial kependudukan, lebih dari itu angka dalam sajian
data statistik berbicara banyak tentang hubungannya dengan angka dalam data
statistik yang lain, seperti yang sudah saya singgung, misalnya pendapatan
ekonomi akan berpengaruh terhadap tinggi rendahnya angka kematian.
Seperti yang
kita tahu, Indonesia saat ini memiliki pendapatan per kapita per tahun yang
masih cukup rendah dibanding negara lainnya. Serta dengan utang luar negeri
sebesar US$ 176, 5 milyar atau sekitar 821 per kapita menunjukkan bahwa setiap
orang punya hutang sekitar Rp 8.000.000.[1] Hal
tersebut adalah gambaran tentang keadaan ekonomi kita, yang menunjukkan bahwa
selain minimnya pendapatan per kapita, ternyata masih juga dibebani oleh hutang
warisan generasi terdahulu.
Nah, sekarang
beralih ke angka kematian penduduk. Angka kematian penduduk erat kaitannya
dengan angka harapan hidup dan angka harapan hidup dipengaruhi oleh
berbagai hal dan keadaan yang terjadi di suatu negara. Seperti kondisi politik,
peperangan, keadaan pelayanan kesehatan, budaya dan agama.
Dari 223 negara
di dunia, Indonesia menempati urutan ke 137 dengan angka harapan hidup 70,76.
Masih tertinggal jauh dengan negara kecil di dekat Sumatra, yakni Singapura
yang menempati urutan ke 6 dengan angka harapan hidup 82,14. Apa
yang sebenarnya salah sehingga negara kita tidak cukup mampu menekan angka
kematian dan menaikkan angka harapan hidup?
Pertama-tama.
Pendapatan per kapita adalah salah satu indikator keadaan ekonomi suatu
penduduk. Dan semua orang sosiologi tahu bahwa Karl Marx pun dalam materialisme
historisnya yang terkenal mengatakan bahwa materi akan selalu mempengaruhi
keadaan seseorang, bukan keadaan seseorang yang mempengaruhi kepemilikan
materi.
Materi yang
terwujud sebagai pendapatan ekonomi penduduk akan mempengaruhi akses-aksesnya
terhadap pelayanan publik, seperti akses pendidikan, pangan, mobilitas, dan
termasuk juga aspek kesehatan, itulah yang terjadi di Indonesia. Sehingga
pasien yang sekarat tidak akan lekas ditangani jika tidak ada jaminan
pembayaran administrasi. Saya jadi menarik konklusi yang sebenarnya pahit dan
tidak ingin saya katakan “Dalam dunia medis dan pelayanan kesehatan Indonesia,
nyawa manusia tidak lebih berharga daripada uang”
Akses dan
pelayanan kesehatan yang baik dalam sebuah negara tentu akan meningkatkan
kesehatan penduduk yang secara langsung berimbas pada berkurangnya angka
kematian. Tapi pendapatan ekonomi yang rendah akan mempersulit akses kesehatan
penduduk, dan akses kesehatan yang dipersulit secara signifikan menaikkan angka
kematian, itulah mengapa rakyat miskin berkawan baik dengan angka harapan hidup
yang rendah. Angka kematian bayi, angka kematian ibu melahirkan, angka gizi
buruk, angka pasien yang tidak bisa mengakses pelayanan rawat inap, semua
angka-angka berbicara tentang si miskin dan segala cerminan hidupnya.
Kematian
sebenarnya memang bukan melulu berhubungan dengan struktur dan pendapatan
ekonomi, sebaik apapun pendapatan per kapita suatu penduduk tetap ada juga
faktor-faktor lain seperti kecelakaan,bencana alam, wabah penyakit, tapi yang
saya soroti memang struktur dan pendapatan ekonomi karena berdasarkan laporan
PBB, setiap detik ada 2 orang yang meninggal dunia dan total angka kematian
yang terjadi pada tahun 2006 sekitar 62 juta jiwa. Dari 62 juta jiwa, 58% atau
36 juta jiwa meninggal disebabkan oleh kelaparan, penyakit dan kekurangan gizi.[2] Dan setidaknya, pasti penyumbang terbesar dari
angka tersebut adalah negara miskin dan negara berkembang, termasuk negara
Indonesia yang sedang berkembang. Terjadinya kelaparan dan kekurangan gizi bisa
langsung ditebak oleh sebuah masalah klasik bernama kemiskinan. Sedangkan
meninggal karena penyakit, selain karena wabah dan pola hidup yang tidak sehat,
yang paling mendominasi saya rasa justru pelayanan dan akses kesehatan yang
tidak bisa didapat oleh sebagian besar masyarakat karena lagi-lagi mereka
berpenghasilan ekonomi rendah.
Secara makro,
memang pendapatan ekonomi rakyat yang kemudian mempengaruhi akses kesehatan
masyarakat adalah tanggung jawab pemerintah. Misalnya akses informasi tetang
ibu hamil, bayi, dan pemenuhan gizi tak bisa lepas dari tanggung jawab
penguasa, juga kebijakan-kebijakan hukum dalam penanganan pasien miskin yang
dirugikan juga hanya seperti angin lalu yang diabaikan. Masyarakat
berpendapatan ekonomi rendah selain tidak mendapat pelayanan yang baik, juga
dalam hal penipuan medis seperti malpraktek, dan pengambilan organ tubuh
(biasanya ginjal), merekalah yang paling banyak menjadi korban yang terabaikan
hukum karena dianggap tidak punya cukup pengaruh untuk melawan, sumbangan lagi
untuk alasan mengapa kebanyakan orang miskin cepat mati.
Angka harapan
hidup pun bicara soal kematian di setiap negara, mau tak mau harus diakui bahwa
angka harapan hidup seolah membenarkan bahwa batas negara memang batas
seseorang bisa hidup lebih lama atau tidak. Sederhana saja, mungkin profesi
kedua orang sama-sama sebagai pemulung, pemungut sampah yang dalam terminologi
manapun diidentikkan sebagai kelas ekonomi lemah. Yang satu berprofesi sebagai
pemulung di Indonesia, yang satunya lagi berprofesi pemulung di negara China.
Tapi kemungkinan besar pemulung di negara China akan bertahan hidup lebih lama
dibanding pemulung di Indonesia, pembedanya adalah, pemulung Indonesia ketika
sakit mereka akan diusir dari rumah sakit jika tidak mampu atau tidak ada
jaminan sanggup membayar (padahal profesi pemulung rentan dengan penyakit),
sedangkan pemulung di China bisa berobat ke rumah sakit karena pemerintahan
bertanggung jawab atas kesehatan penduduknya. Jadi sekali lagi, pelayanan dan
akses kesehatan memegang peranan penting dalam angka harapan hidup dan angka
kematian penduduk suatu negara.
Rumah sakit di
Indonesia menurut saya bukan lagi bertujuan menghilangkan sakit bagi
masyarakat, tapi sudah berubah mejadi ladang-ladang baru bagi kapitalis. Rumah
sakit mewah, rumah sakit bertaraf internasional, rumah sakit dengan
tenaga-tenaga medis impor dari luar negeri, semuanya yang berhubungan dengan
kesejahteraan medis berbau kapitalis imperialis asing. Dan yang mampu membayar
pelayanan kesehatan yang berkualitas adalah segelintir mereka-mereka yang
berada di posisi ekonomi atas, sehingga menjadi telak lah, alasan bahwa
pendapatan ekonomi-akses kesehatan-angka harapan hidup-dan angka
kematian adalah suatu hal yang berkesinambungan.
Mungkin juga
ada alasan lain, misalnya angka harapan hidup dan angka kematian masyarakat
tidak hanya dipengaruhi oleh struktur ekonomi (terutama pendapatan ekonomi)
tapi bisa saja ditentukan oleh hal lain seperti: masyarakat baik kalangan
ekonomi keatas maupun kalangan ekonomi bawah bisa saja menerapkan pola hidup
tidak sehat dengan rokok, alkohol, softdrink, dan junkfood yang ditengarai
mempercepat kematian. Tapi saya anggap itu alasan individualis yang tidak cukup
relevan untuk melawan angka dan data statistik yang jelas-jelas menunjukkan
tingginya angka kematian karena struktur sosial ekonomi di Indonesia
memarginalkan masyarakat berpenghasilan rendah dalam hal kesehatan.
Memang
masyarakat berpenghasilan ekonomi rendah sering dihadapkan pada angka harapan
hidup yang rendah saat mereka sakit tapi tidak mendapat pelayanan kesehatan
yang cukup baik. Selanjutnya kematian akibat penyakit yang tidak tertangani
oleh tenaga medis seolah menjadi agenda biasa bagi rakyat miskin. Tak ayal,
pantas saja tingginya angka-angka kematian penduduk dalam statistik diwarnai
oleh mereka yang berpendapatan ekonomi rendah.
[1] Rinekso Kartono, 2007, “Beberapa
Pemikiran Tentang Pembangunan Kesejahteraan Sosial”, Malang : UMM Press,
hal. 17