Senin, 07 Juli 2014

Hukuman untuk Mendidik, Bukan Melampiaskan

Oleh: Zakiah Fitri

Aktifitas hukuman bagi siswa
Foto diambil tanggal 29 Nov 2013
                Hukuman memang menjadi suatu hal yang biasa terjadi dalam instansi pendidikan seperti sekolah, apalagi dalam tingkatan Sekolah Dasar dan Sekolah menengah, akan sering dijumpai hukuman-hukuman ringan yang membawa kita kembali pada kenangan masa-masa sekolah. Yap, hampir semua orang pernah dihukum saat bersekolah, entah dihukum mencabuti rumput halaman sekolah karena datang terlambat, dihukum karena tidak mengerjakan PR, atau bahkan satu kelas dihukum dan dimarahi guru karena kesalahan bersama seperti bersikap gaduh saat pelajaran. Semuanya hal normal yang biasa terjadi dalam dunia pendidikan.
            Saya sengaja datang dan memotret dua siswa diatas, Radit dan Zidan karena mereka adalah tetangga saya yang bercerita bahwa hari Jum’at adalah hari hukuman bagi para siswa yang melanggar aturan dalam satu minggu, jadi di Hari Jumat yang diceritakan tersebut saya datang ke sekolah mereka, salah satu SD Negeri di Kabupaten Malang dan menyaksikan hukuman mereka karena ditemukan oleh gurunya sedang duduk-duduk di sudut sekolah saat upacara bendera di Hari Senin. Setelah berada di lokasi, alih alih melihat pemandangan mendebarkan dari sebuah hukuman, justru saya tertawa karena hukuman yang mereka terima sepulang sekolah memang menggelikan.
            Sebenarnya ada hal lain yang menarik perhatian saya, yakni masalah kebersihan toilet sekolah, tapi yang sedang saya soroti saat ini adalah fokus tentang hukuman bagi siswa di sekolah agar pembahasannya tidak melebar. Cukup saya acungi jempol pada sekolah mereka dalam hal hukum-menghukum, karena hukuman yang ditimpakan kepada kedua siswa tersebut (setidaknya) adalah hukuman yang bermanfaat, yakni mereka dihukum mencuci taplak meja guru, korden kelas, serta setelah itu mereka asyik bermain sambil mencuci tas sekalian.
            Hukuman semacam ini justru akan memberi siswa ruang untuk berpikir dan mempertimbangkan tindakan sebelum melakukannya, karena mereka secara tidak langsung digiring untuk berpikir bahwa setiap tindakan yang dilakukan pastilah menimbulkan konsekuensi.
            Di media massa, dimanapun itu baik di Jawa, Papua, tak terkecuali Aceh yang terkenal religius itu, semuanya pernah mendapat catatan hitam tentang kekerasan dalam dunia pendidikan, bahkan baru-baru ini, mahasiswa yang katanya agent of change, ujung tombak pembangunan, di sebuah Kampus swasta di Kota Malang yang terkenal pula sebagai kota tujuan pendidikan baru saja mempermalukan sistem pengenalan kampus (ospek) dengan menggunakan cara kekerasan, dan celakanya mahasiswa yang menjadi korban kekerasan tersebut nyawanya tidak tertolong.
            Kekerasan bagi saya adalah hal paling idiot jika itu dilakukan di lingkungan pendidikan. Bahkan jika ada sekolah anak-anak berkebutuhan khusus/difabel, maka pelaku kekerasan adalah jauh lebih perlu dididik secara khusus daripada kaum difabel. Pasalnya kekerasan yang sering terjadi di sekolah atau lingkungan pendidikan selain kasus bully antar siswa adalah kasus kekerasan yang dilakukan oleh guru/pengajar ataupun senior. Ini keterlaluan, saya juga tidak habis pikir, kenapa dunia pendidikan yang tujuannya mendidik malah memunculkan guru dan senior yang malah lebih butuh untuk di didik?
            Yang melatarbelakangi seseorang untuk berbuat kekerasan pertama-tama adalah karakter dan kepribadian, selanjutnya adalah penegakan hukum. Kita lihat hukum di Indonesia seperti ini, klise memang, dan banyak orang percaya hukum bisa dibeli dengan uang. Tengok saja kasius pelajar IPDN yang menjadi korban kekerasan di dunia pendidikan, mayatnya terbukti mengandung formalin dan terbukti diawetkan, tapi waktu itu penanganannya sepat bertele-tele. Prediksi saya, kasusnya akan menguap begitu saja jika saat itu media massa tidak berkoar-koar tentang dugaan pembunuhan tersebut.
            Apapun alasannya, kekerasan menurut saya adalah tidak bisa dibenarkan, apalagi dalam dunia pendidikan. Sebaiknya para pelaku kekerasan dalam dunia pendidikan dijatuhi hukuman berat, karena ini sama sekali bukan masalah sepele. Korupsi jika dibandingkan dengan masalah kekerasan dalam dunia pendidikan, mungkin korupsi akan terlihat sebagai masalah besar, dan kasus kekerasan adalah masalah kecil, tapi justru ini masalah gawat bagi negeri, PR yang belum tuntas bagi para penguasa dan bagi kita semua.
            Kekerasan dalam dunia pendidikan bukan sekedar mengambil aset negara berupa materi, tapi kekerasan malah mengambil aset paling berharga dari sebuah negara yakni “tunas bangsa”. Mereka, para pelaku kekerasan, telah merenggut hak kemanusiaan peserta didik dan peserta didik adalah masa depan bangsa, jadi singkatnya para pelaku kekerasan telah mencemari masa depan bangsa. Sama bahayanya dengan koruptor kelas kakap.
            Selain itu kekerasan yang dilakukan oleh pendidik atau senior adalah mencerminkan ketidakstabilan kondisi psikologis dan mental pendidik. Dan jika masalah kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengajar dan senior sudah sedemikian parah, perlukah adanya tes sakit jiwa bagi para calon pengajar? yang jelas pemerintah belum merancangnya, dan kalaupun dirancang sebuah tes kesehatan jiwa pastilah akan memunculkan halaman baru berisi kontroversi berkepanjangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar