![]() |
Aktifitas hukuman bagi siswa Foto diambil tanggal 29 Nov 2013 |
Hukuman memang menjadi suatu hal yang biasa
terjadi dalam instansi pendidikan seperti sekolah, apalagi dalam tingkatan
Sekolah Dasar dan Sekolah menengah, akan sering dijumpai hukuman-hukuman ringan
yang membawa kita kembali pada kenangan masa-masa sekolah. Yap, hampir semua
orang pernah dihukum saat bersekolah, entah dihukum mencabuti rumput halaman
sekolah karena datang terlambat, dihukum karena tidak mengerjakan PR, atau
bahkan satu kelas dihukum dan dimarahi guru karena kesalahan bersama seperti bersikap
gaduh saat pelajaran. Semuanya hal normal yang biasa terjadi dalam dunia
pendidikan.
Saya
sengaja datang dan memotret dua siswa diatas, Radit dan Zidan karena mereka
adalah tetangga saya yang bercerita bahwa hari Jum’at adalah hari hukuman bagi
para siswa yang melanggar aturan dalam satu minggu, jadi di Hari Jumat yang
diceritakan tersebut saya datang ke sekolah mereka, salah satu SD Negeri di
Kabupaten Malang dan menyaksikan hukuman mereka karena ditemukan oleh gurunya
sedang duduk-duduk di sudut sekolah saat upacara bendera di Hari Senin. Setelah
berada di lokasi, alih alih melihat pemandangan mendebarkan dari sebuah
hukuman, justru saya tertawa karena hukuman yang mereka terima sepulang sekolah
memang menggelikan.
Sebenarnya
ada hal lain yang menarik perhatian saya, yakni masalah kebersihan toilet
sekolah, tapi yang sedang saya soroti saat ini adalah fokus tentang hukuman
bagi siswa di sekolah agar pembahasannya tidak melebar. Cukup saya acungi
jempol pada sekolah mereka dalam hal hukum-menghukum, karena hukuman yang
ditimpakan kepada kedua siswa tersebut (setidaknya) adalah hukuman yang
bermanfaat, yakni mereka dihukum mencuci taplak meja guru, korden kelas, serta
setelah itu mereka asyik bermain sambil mencuci tas sekalian.
Hukuman
semacam ini justru akan memberi siswa ruang untuk berpikir dan mempertimbangkan
tindakan sebelum melakukannya, karena mereka secara tidak langsung digiring
untuk berpikir bahwa setiap tindakan yang dilakukan pastilah menimbulkan
konsekuensi.
Di
media massa, dimanapun itu baik di Jawa, Papua, tak terkecuali Aceh yang
terkenal religius itu, semuanya pernah mendapat catatan hitam tentang kekerasan
dalam dunia pendidikan, bahkan baru-baru ini, mahasiswa yang katanya agent of change, ujung tombak
pembangunan, di sebuah Kampus swasta di Kota Malang yang terkenal pula sebagai
kota tujuan pendidikan baru saja mempermalukan sistem pengenalan kampus (ospek)
dengan menggunakan cara kekerasan, dan celakanya mahasiswa yang menjadi korban
kekerasan tersebut nyawanya tidak tertolong.
Kekerasan
bagi saya adalah hal paling idiot jika itu dilakukan di lingkungan pendidikan.
Bahkan jika ada sekolah anak-anak berkebutuhan khusus/difabel, maka pelaku
kekerasan adalah jauh lebih perlu dididik secara khusus daripada kaum difabel.
Pasalnya kekerasan yang sering terjadi di sekolah atau lingkungan pendidikan selain
kasus bully antar siswa adalah kasus kekerasan yang dilakukan oleh
guru/pengajar ataupun senior. Ini keterlaluan, saya juga tidak habis pikir,
kenapa dunia pendidikan yang tujuannya mendidik malah memunculkan guru dan
senior yang malah lebih butuh untuk di didik?
Yang
melatarbelakangi seseorang untuk berbuat kekerasan pertama-tama adalah karakter
dan kepribadian, selanjutnya adalah penegakan hukum. Kita lihat hukum di
Indonesia seperti ini, klise memang, dan banyak orang percaya hukum bisa dibeli
dengan uang. Tengok saja kasius pelajar IPDN yang menjadi korban kekerasan di
dunia pendidikan, mayatnya terbukti mengandung formalin dan terbukti diawetkan,
tapi waktu itu penanganannya sepat bertele-tele. Prediksi saya, kasusnya akan
menguap begitu saja jika saat itu media massa tidak berkoar-koar tentang dugaan
pembunuhan tersebut.
Apapun
alasannya, kekerasan menurut saya adalah tidak bisa dibenarkan, apalagi dalam
dunia pendidikan. Sebaiknya para pelaku kekerasan dalam dunia pendidikan
dijatuhi hukuman berat, karena ini sama sekali bukan masalah sepele. Korupsi
jika dibandingkan dengan masalah kekerasan dalam dunia pendidikan, mungkin
korupsi akan terlihat sebagai masalah besar, dan kasus kekerasan adalah masalah
kecil, tapi justru ini masalah gawat bagi negeri, PR yang belum tuntas bagi
para penguasa dan bagi kita semua.
Kekerasan
dalam dunia pendidikan bukan sekedar mengambil aset negara berupa materi, tapi
kekerasan malah mengambil aset paling berharga dari sebuah negara yakni “tunas
bangsa”. Mereka, para pelaku kekerasan, telah merenggut hak kemanusiaan peserta
didik dan peserta didik adalah masa depan bangsa, jadi singkatnya para pelaku
kekerasan telah mencemari masa depan bangsa. Sama bahayanya dengan koruptor
kelas kakap.
Selain
itu kekerasan yang dilakukan oleh pendidik atau senior adalah mencerminkan
ketidakstabilan kondisi psikologis dan mental pendidik. Dan jika masalah
kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengajar dan senior sudah sedemikian parah,
perlukah adanya tes sakit jiwa bagi para calon pengajar? yang jelas pemerintah
belum merancangnya, dan kalaupun dirancang sebuah tes kesehatan jiwa pastilah
akan memunculkan halaman baru berisi kontroversi berkepanjangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar