Oleh: Zakiah Fitri
(Program Studi Sosiologi Universitas Brawijaya Malang)
BAB
I
PENDAHULUAN
Pemilihan jodoh
merupakan sebuah seleksi untuk menentukan individu yang dipandang cocok dengan
kriteria sehingga bisa dilanjutkan ke jenjang perkawinan. Dalam kenyataannya,
kriteria yang ditetapkan oleh suatu masyarakat akan berbeda dengan kriteria
masyarakat lain. Nilai-nilai yang dihargai pun terkadang juga berbeda antara
individu yang akan menikah dengan individu-individu lain yang ikut terlibat
dalam proses pernikahan tersebut, misalnya orang tua dan keluarga besar.
Oleh karena itu, suatu perkawinan menimbulkan
berbagai macam akibat, yang juga melibatkan banyak sanak keluarga. Tidak jarang
dalam sebuah perkawinan disertai dengan konflik-konflik sosial. Saya akan
membatasi pembahasan pada konflik yang terjadi pada heterogami dan perkawinan
dari status/kelas yang berbeda.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Kasus
Seorang pemuda miskin
bernama Yogi Prasetyo, berasal dari Purwokerto, Jawa Tengah. Keluarganya adalah
keluarga dengan tingkat ekonomi rendah. Ayahnya sehari -hari bekerja sebagai
tukang jahit didesanya. Karena kegigihannya, Yogi berhasil kuliah di sebuah
Universitas Negeri ternama di Kota Malang walaupun dengan biaya seadanya.
Semasa semester 4 di kampus, Yogi jatuh cinta pada seorang gadis bernama Ayu
Wulaningrum, juga sama-sama kuliah di fakultas yang sama. Ayu adalah putri
seorang bupati ternama di daerah Yogyakarta dan juga masih dekat dengan garis keturunan
keraton.
Walaupun secara Ekonomi
mereka jauh berbeda namun tidak menghalangi keduanya untuk berencana melanjutkan
ke jenjang pernikahan. Keluarga besar dan ayah Ayu yang mengetahui putrinya
menjalin hubungan dengan pemuda dari keturunan biasa, tentu saja menolak
hubungan itu. Berbagai upaya dan bujukan dilakukan oleh pihak dari calon
mempelai putri agar rencana pernikahan tersebut dibatalkan, tapi keduanya
bersikeras dan selalu mengatasnamakan “cinta” sehingga pernikahan tersebut tetap
dilakukan, meskipun keluarga Ayu melepaskan puterinya dengan sangat terpaksa.
Kini mereka memiliki dua orang anak serta tinggal di daerah perumahan, hadiah
dari orangtua Ayu Wulaningrum. Orangtua Ayu hingga kini masih sering memberikan
hadiah dan uang kiriman meskipun Yogi telah bekerja sebagai pegawai salah satu
Bank swasta dan Ayu menjalankan bisnis online
nya.
Analisis
2.2
Konsep Pemilihan Jodoh
Salah satu konsep yang
dapat digunakan untuk menganalisis kasus perkawian adalah bahwa pada dasarnya
proses pemilihan jodoh berlangsung seperti sistem pasar dalam ekonomi. Sistem
ini berbeda-beda dari satu masyarakat ke masyarakat lain, tergantung pada siapa
yang mengatur transaksinya, bagaimana pertukarannya, dan penilaian yang relatif
mengenai berbagai macam kualitas.[1]
2.3
Analisis
2.3.1 Pemicu konflik
Dalam perkawinan heterogami biasanya pihak yang
merasa lebih tinggi akan menolak terjadinya perkawinan dengan pihak yang lebih
rendah seperti kasus yang terjadi pada Yogi dan Ayu. Orang tua Ayu melarang Ayu
menikah dengan pria dari kalangan masyarakat miskin dan biasa. Orang-orang dari
kraton akan memiliki kriteria sendiri dalam menentukan jodoh yang ideal, mereka
selalu beranggapan bahwa budaya yang berakar dari kraton/istana mempunyai nilai
seni tinggi, bersifat halus serta mempunyai cita rasa yang indah. Sebaliknya,
budaya yang berkembang di luar kraton/istana adalah budaya Jawa yang bersifat
kasar.[2]
Hal-hal tersebut sudah jelas membuktikan adanya
perhitungan untung-rugi yang dipertimbangkan oleh keluarga Ayu dan dan jelaslah
pula bahwa konsepsi tawar-menawar dalam pasar perkawinan sedang berlaku,
meskipun mereka yang terlibat dalam proses tersebut menolak konsepsi pasar
tersebut dan mengganti istilahnya menjadi ‘pencarian untuk mendapatkan yang
terbaik’. Stereotip keluarga besar keraton Ayu mengenai masyarakat diluar
keraton yang memiliki sifat budaya kasar ditambah keadaan ekonomi calon suami
yang dianggap tidak terlalu menguntungkan tentu akan menimbulkan konflik status
dan perdebatan.
2.3.2 Faktor pendorong
heterogami dan perkawinan beda kelas
Berdasarkan analisis, heterogami semacam ini dapat
berlangsung karena hal-hal berikut:
- Pengaruh
lingkungan dan pergaulan
Ayu
sebagai perempuan yang sempat meninggalkan lingkungan keraton untuk menempuh
pendidikan di perguruan tinggi telah keluar dari pemikiran kriteria jodoh yang
ideal menurut orang-orang keraton. Lingkungan dan pergaulan yang sempat dia
jalani bisa mengubah pemikirannya dalam menentukan jodoh yang dia inginkan,
lingkungan-lingkungan luas yang beragam diluar keraton dapat mempengaruhi
sebuah cara pandang, katakanlah misalnya Ayu memiliki kegemaran sinematografi
atau film, hal tersebut bisa mengubah cara pandangnya terhadap banyak hal,
termasuk dalam hal memilih jodoh. Menurut Prof. Dr. Utami Munandar,
sesungguhnya seorang anak itu mempunyai kecenderungan mengidentifikasikan
dirinya dengan tokoh dalam sinematografi, pengaruh positif atau negatif
terhadap seorang anak tergantung pada karakter dan perilaku yang ditampilkan
tokoh tersebut.[3] maka hemat
saya, jika Ayu misalnya menyukai film Romeo-Juliette
maka terdapat kemungkinan dia juga menyukai sifat serta kenekatan kawin lari
yang dilakukan tokoh-tokoh tersebut, sehingga peluang meniru atau
mengidentifikasi juga semakin besar.
- Gender dan
pengambilan keputusan
Perubahan
jaman memunculkan juga suatu perubahan responsi dari masing-masing perempuan
sebagai individu.[4]
Pandangan perempuan akan menjadi bergeser seiring dengan perubahan jaman. Pada
jaman dahulu perempuan hanya bisa nrimo
ing pandum, yakni menerima apapun ketentuan yang diterapkan dan
diberlakukan oleh keluarga besarnya, perempuan hanya dipandang sebagai objek
yang diatur, dimiliki dan dikuasai, tak ubahnya sebuah benda yang jauh dari
penghargaan atas subjektifitas perempuan sebagai manusia yang harus menentukan
arah hidupnya sendiri. Untuk menuruti keinginan dan cita-citanya perempuan pada
jaman dahulu harus membayar mahal seperti yang pernah dilakukan oleh R.A.
Kartini. Tapi kondisi saat ini, gerakan kesetaraan gender, dan mulai
bergesernya pandangan masyarakat luas, khususnya anggota keraton mengenai perempuan
juga ikut berpengaruh terhadap terjadinya heterogami. Perempuan tak lagi
dipaksa untuk harus menuruti ketentuan keluarga besar. Perempuan dengan status
sosial seperti Ayu hanya butuh sedikit keberanian untuk keluar dari pemikiran
orang-orang keraton mengenai calon yang ideal bagi mereka, karena pada saat ini
kemungkinan Ayu diusir atau diputuskan tali kekeluargaan sangat kecil, seiring
dengan penghargaan terhadap hak perempuan untuk memutuskan pilihannya.
2.3.3
Cinta sebagai ancaman dan hal yang subversif
Cinta dianggap sebagai suatu ancaman teradap sistem
stratifikasi pada banyak masyarakat, dan orang-orang tua mengingatkan untuk
tidak menggunakan cinta sebagai dasar pemilihan jodoh.[5]
Dari kasus yang saya analisa nampak jelas bahwa orangtua Ayu takut anaknya
menikah dengan individu dari strata lain yang lebih rendah. Karena mereka
mengasumsikan strata dibawah mereka tentu memiliki kualitas yang tidak cukup
baik untuk memasuki kalangan keluarga kaya dan ningrat seperti mereka. Adanya
perkawinan dengan strata dibawah mereka dianggap akan merusak tatanan mengenai
stratifikasi itu sendiri. Mereka, keluarga besar Ayu ingin di eksklusifkan
sebagai kaum dengan ‘harga’ yang tinggi dan tidak sembarang orang bisa masuk
menjadi anggota keluarga melalui perkawinan.
2.3.4
Konsep pasar dalam perjodohan selalu berlaku
Dalam kasus tersebut mungkin yang paling terlihat
sebagai pelaku yang nampak seperti kegiatan jual-beli dalam pasar adalh
orangtua dan keluarga besar Ayu, karena merekalah yang selalu mempermasalahkan
harta, kedudukan, strata sosial dan hal-hal yang sering diistilahkan sebagai
materialis. Tetapi konsep pasar dalam perjodohan sebenarnya selalu berlaku
meskipun para pelaku yang menolak konsepsi pasar tersebut telah menyodorkan
berbagai argumen mengenai ketulusan dan atas dasar cinta. Dalam hal ini Ayu
mengaku mau menikah dengan laki-laki miskin karena cinta. Ada bermacam-macam
tipe cinta, pemilihan jodoh dan perkawinan yang didasarkan atas cinta pada
umumnya merupakan tipe cinta erotis, yang menginginkan penyatuan dan peleburan
dengan seorang pribadi lain.[6]
Meskipun Ayu tidak menggunakan kriteria kekayaan, materi dan kedudukan sosial
untuk menikah dengan seseorang, tapi sebenarnya kriteria tersebut digantikan
oleh hal lain yang dianggap Ayu lebih bernilai, misalnya seperti kecerdasan,
kepribadian dan pola pikir yang dianggapnya jauh akan lebih menguntungkan,
membahagiakan dan mempermudah hidupnya. Sementara cinta itu sendiri merupakan
kebutuhan akan kepuasan emosional, yang mungkin tidak akan didapatkan Ayu bila
ia menikah dengan laki-laki pilihan orang tuanya. Maka jelaslah, bahwa konsepsi
tawar-menawar dalam pemilihan jodoh, jual-beli dalam perkawinan selalu bisa
dianalogikan sebagai pasar.
[1]
William J. Goode, 2004, “Sosiologi Keluarga”,
Jakarta : Bumi Aksara, hal. 65
[2]
Nurdiyanto dkk, 2002, “Tata Krama Suku
Bangsa Jawa di Kabupaten Sleman Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta”, Yogyakarta
: Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata, hal. 1
[3]
Sumarno dkk, 1997, “Dampak Globalisasi Informasi
Terhadap Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat di Daerah Istimewa Yogyakarta”,
Yogyakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Yogyakarta, hal. 78
[4]
Affandy, 2008, “Gender
dan Strategi pengarus, Utamanya di indonesia”, Yogyakarta : Pustaka Belajar, hal. 45
[5]
William J. Goode, 2004, “Sosiologi Keluarga”,
Jakarta : Bumi Aksara, hal. 76
[6]
Habib Mustopo, 1983, “Kumpulan Essay-Manusia dan
Budaya”, Surabaya : Usaha Nasional, hal. 78
Tidak ada komentar:
Posting Komentar